AHMADI termenung. Memandang kosong ke arah bola lampu di tiang di ujung
jalan . Duduk berdua di bawah teras rumah Teti dia mengucapkan sesuatu di
hatinya. "Seperti lingkaran roda mengitari sumbunya.” Lalu dia
membaca puisi yang ditulisnya sendiri.
Laut mana lagi yang mesti kurenangi – Gunung mana lagi yang harus kudaki – Terjal mana lagi yang wajib kujalani – Rasanya, semua derita sudah…Tiba-tiba dia berhenti. Nelangsa. Berharap Teti menolehnya.
Teti tertunduk haru. Di depan sana, gemerisik dedaunan ditiup
angin malam bagai ikut merasakan kesedihan mereka. Di taman langit, bintang–bintang
tak indah mereka lihat.
Di telaga mata Teti ada butiran bening mengambang. Ahmadi ingin
mengecup kening itu. Tapi dia menahan perasaan itu. Dia fokus mengingat
pertanyaan yang disampaikannya beberapa hari lalu. “Bagaimana, Ti? Pertanyaan
Abang itu belum juga berjawab?”
Teti hanya menatap sebentar, lalu kembali memandang jauh ke arah
ujung gang..
“Seandainya masih ada bumi lain, aku akan pergi
ke sana dan membawa dirimu. Aku ingin melanjutkan kisah ini hingga
kita sampai ke ujung cinta kita. Aku ingin buktikan. Tapi bukan di sini.” Diam
sejenak. “Jadi, bagaimana?” Ahmadi tak
ingin terkesan cengeng.
Teti masih membisu. Hatinya juga berkecamuk, akan beterus terang
atau tidak?
“Aku merasa di sini tak ada lagi tempat buat kita menyemaikan
benih cinta kita. Di sini gersang, sepertinya. Aku khawatir, cinta ini kelak
akan kering, layu, dan mati. Teti marah?”
Teti menggeleng. Pelan. Berusaha setenang mungkin.
Mendadak jantung Ahmadi berdebar. Apa maksudnya, menggeleng?
Apakah Teti merelakan aku pergi? Apakah Teti juga sama dengan ibunya? Ahmadi
tak dapat meraba makna gelengan kepala Teti. Ahmadi mencoba saja meraba-raba maksudnya.
Kembali Ahmadi menatap wajah Teti. Menikmati wajah teduh yang dikagumi
hampir satu tahun ini. Wajah yang dikhayalkan kelak, membawa cahaya sejuk dalam
hidupnya. Wajah yang telah dilukisnya sepanjang kampas perasaan cintanya.
Ahmadi masih ingat, sebelum menemukan cinta Teti, dua tahun
lamanya dia membenci wanita. Semua wanita yang sempat singgah di hatinya dianggapnya
bakal mengecewakan lagi. Ogah untuk bercinta lagi sebelum ada kerja. Dia tak
tahu kegagalan cinta untuk pertama, adalah soal biasa bagi setiap remaja. Waktu
itu dia benar-benar tidak siap. Perjuangan cintanya terlalu berat menurutnya.
Kehilangan Fatma karena
dipaksa kawin keluarganya, membuat Ahmadi kehilangan tempat bergantung. Semangatnya patah. Seleranya hambar. Merasa
hidup tak berguna. Sebagai anak yatim, dia merasa memiliki segalanya saat cinta
pertamanya diterima Fatma walaupun ayah-emaknya sudah tiada. Ahmadi sudah yatim
piatu sejak kecil.
Tapi Fatma membuatnya seperti gila karena memutus cintanya. Fatma
dinikahi pemuda yang tak lain adalah temannya atas paksaan orang tuanya. Alasan
orang tua Fatma sederhana, jangan sampai anak gadisnya menjadi perawan tua.
Ahmadi masih di bangku kuliah, waktu itu. Dianggap belum mampu karena belum
bekerja tetap.
Sejak itu Ahmadi berjanji
tidak akan main cinta lagi sebelum punya pekerjaan dan kedudukan. Dia
seolah buta cinta. Melupakan asmara. Itu perjuangan yang tidak mudah. Sebagai anak miskin, merantau ke kota sebatang
kara, harus mencari makan sendiri dan biaya sekolah, tiba-tiba putus cinta pula.
Sangat berat menjalani perasaan anak muda dengan keharusan mandiri.
Lama sekali dia menutup pintu cinta. Sampai akhirnya batu
hatinya melembut juga. Kecantol dengan seorang gadis berambut sebahu tapi di
luar sekolah dia memakai jilbab. Masih di SMA, kelas tiga. Teti anak Pak
Mukhtar. Bapak Teti ternyata sangat baik. Beberapa kali dia minta bantuan
Ahmadi dan memberinya uang dengan jumlah lumayan besar.
Ketika cintanya bersambut, berbarengan pula dengan dia diterima
bekerja di instansi Pemerintah, yakinlah Ahmadi, Teti adalah bidadari yang
dikirimkan Tuhan untuknya. Bunga-bunga cintanya dipupuk subur dan akan
dibiarkan mekar. Teti mungkin jodohku. Pak Mukhtar juga baik orangnya. Ahmadi
menghayal begitu.
Sayangnya, kini ada tembok besar yang harus didobrak. Ibunda Teti,
Bu Meri, ternyata tidak kunjung menunjukkan restu terhadap hubungannya. Dengan
alasan Teti masih sekolah, sejuta larangan diberlakukan kepada Teti. Ahmadi
malah menduga, ibu Meri tidak setuju karena dia hanya tenaga honorer. Bu Meri
memang materialis, . kata orang-orang di situ.
“Engkaulah wanita yang bisa mengisi hatiku, Ti.”
“Jangan-jangan itu hanya rayuan gombal Abang saja.” Teti menjawab
singkat.
“Aku
benar, Ti,” sedikit Ahmadi menggeser kursinya ke kiri. “Teti
meragukannya?”.
“Aku bukan main-main, Ti. Apakah kau masih ragu?” Ahmadi melanjutkan karena Teti masih
diam.
Keduanya saling pandang.
“Jawablah, Ti. Aku ingin kepastianmu”.
“Tapi….tt….tapi aku masiiih,” suaranya terputus.
“Masih apa? Masih meragukannya, gitu?”
“Aku masih sekolah, kata Mama.”
Ahmadi terkesiap, disebut-sebut Mama begitu. Justeru Bu Meri
itulah yang dianggapnaya tembok penghalang cinta keduanya saat ini.
“Apakah Bang Madi tidak terlalu lama menunggu nanti?”
Kini Ahmadi yang tiba-tiba kelu lidahnya. Dia tidak yakin kalau
alasan sekolah adalah alasan sebenarnya. Ahmadi sebenarnya akan sabar menunggu
sekolah Teti tamat. Tapi apakah ibu Teti akan merestui cinta mereka?
Ahmadi kembali menjelaskan bahwa awal bulan nanti dia harus
berangkat. Dia dimutasi ke kantor lain. Kita harus berjauhan, katanya pekan
lalu menjelaskan. Perjalanan cinta kita akan kian berat di genggaman ibumu. Itu
dia sampaikan beberapa hari lalu. Itu pula misi kedatangannya malam ini ke
rumah Teti. Malam ini dia beranikan datang ke rumah Teti untuk minta jawaban pasti
kekasihnya itu. Bolehkah berangkat demi cita-cita atau berhenti bekerja demi
cinta? Ah sungguh berat, katanya di hati.
Untuk beberapa saat hening lagi. Ahmadi bergeser lagi
sedikit. Agak mendekat. Bertambah dekat ke kursi Teti.
“Ti.” Dengan nada yang
sedikit bergetar di dadanya, dia memberanikan meletakkan tangan kirinya ke atas
bahu Teti. Selanjutnya, refleks
kedua tangan Ahmadi melingkar di leher Teti.
“Abang mengerti dengan
perasaanmu. Tapi abang juga percaya,
sesungguhnya tak ada gunanya bersedih. Toh ibumu seperti tidak bakal merestui
hubungan kita. Kita harus memutuskan berdua jalan ini. Kita harus pilih yang
mana.”
“Bang Madi benci sama Mama?”.
“Kalau Mama tidak bisa
menerima, kita harus membuat pilihan, Ti.”
“Pilihannya apa? Abang tetap akan meninggalkan Teti?” Badan
keduanya masih seolah bersatu walaupun pada kursi yang berbeda.
“Abang memang akan
meninggalkan Teti karena tugas itu. Meninggalkan daerah ini. Tapi tidak akan
meninggalkan cinta kita. Seperti sudah Abang sampaikan, kebetulan untuk
beberapa bulan, atau mungkin bisa lebih dari satu tahun, beberapa orang tenaga
honorer akan dipindahkan. Termasuk Abang. Kita akan berjauhan. Itu salah satu
pilihan yang tidak Abang inginkan. Tapi demi pekerjaan, harus, kan?.”
“Tapi kenapa,” Teti memotong. ”Abang seperti telah
berubah?”
“Untuk pilihan terbaik. Ini hanya soal pilihan, Sayang. Abang
memilih cita-cita sekaligus cinta kita. Teti keberatan?” Diam sebentar. Lalu,
“Abang khawatir Ibu Teti saja jika Teti sudah memberi kepastiannya.”
Saat asyik-maksyuk begitu,
Ahmadi mendengar seseorang batuk dari dalam rumah. Suara wanita. Pasti Bu Meri,
desisnya sambil degup jantungnya tiba-tiba meningkat. Ahmadi buru-buru
melepaskan tangannya yang melingkar di atas bahu Teti. Keduanya kembali duduk
seperti tadi. Di kursi masing-masing. Bu Meri benar-benar muncul dari dalam
rumah. Mengeluarkan setengah badannya dari balik pintu yang dibukanya sendiri.
“Hei Teti, anak Mama, ngobrolnya kok di teras?” Lalu dia berbalik
badan dan kembali masuk ke dalam rumah. Hanya satu kalimat itu saja yang
diucapkannya. Ahmadi yang tampak ketakutan ketika melihat bunda Teti muncul,
menjadi salah tingkah. Hatinya bergoncang bagai diterpa gempa. Takut. Heran
juga. Seribu pertanyaan memenuhi kerongkongannya. Antara takut, ragu dan senang
juga, Ahmadi terpana saja melihat Bu Meri kembali masuk ke dalam rumah.
Setujukah dia hubungan kami? Pertanyaan itu mendesaknya, tiba-tiba. Ingin diajukan
juga ke Teti, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.
Ahmadi berdiri. Teti juga ikut berdiri tanpa disuruh siapapun.
“Teti, izin Abang permisi. Abang pulang dulu, ya? Perut Abang terasa…” Ahmadi tidak meneruskan kalimat itu. Dia ingin mencium kening Teti, tapi tidak juga berani. Dia ulurkan saja tangannya. “Da da, Abang izin, ya?” Ahmadi berlalu menuju motornya yang diparkir di sudut pekarangan rumah mewah itu. Teti hanya seperti melongo saja mengikuti langkah Ahmadi hingga menghilang di ujung jalan yang rada gelap..***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar