Jumat, 04 September 2020

Cerpen CINTA DI GENGGAMAN BUNDA

AHMADI termenung. Memandang kosong ke arah bola lampu di tiang di ujung jalan . Duduk berdua di bawah teras rumah Teti dia mengucapkan sesuatu di hatinya. "Seperti lingkaran  roda mengitari sumbunya.” Lalu dia membaca puisi yang ditulisnya sendiri.

Laut mana lagi yang mesti kurenangi – Gunung mana lagi yang harus kudaki – Terjal mana lagi yang wajib kujalani – Rasanya, semua derita sudah…Tiba-tiba dia berhenti. Nelangsa. Berharap Teti menolehnya.

Teti tertunduk haru. Di depan sana, gemerisik dedaunan ditiup angin malam bagai ikut merasakan kesedihan mereka. Di taman langit, bintang–bintang tak indah mereka lihat.

Di telaga mata Teti ada butiran bening mengambang. Ahmadi ingin mengecup kening itu. Tapi dia menahan perasaan itu. Dia fokus mengingat pertanyaan yang disampaikannya beberapa hari lalu. “Bagaimana, Ti? Pertanyaan Abang itu belum juga berjawab?”

Teti hanya menatap sebentar, lalu kembali memandang jauh ke arah ujung gang..

“Seandainya masih ada bumi lain, aku akan pergi ke sana dan membawa dirimu. Aku ingin melanjutkan kisah ini hingga kita sampai ke ujung cinta kita. Aku ingin buktikan. Tapi bukan di sini.” Diam sejenak.  “Jadi, bagaimana?” Ahmadi tak ingin terkesan cengeng.

Teti masih membisu. Hatinya juga berkecamuk, akan beterus terang atau tidak?

“Aku merasa di sini tak ada lagi tempat buat kita menyemaikan benih cinta kita. Di sini gersang, sepertinya. Aku khawatir, cinta ini kelak akan kering, layu, dan mati. Teti marah?”  

Teti menggeleng. Pelan. Berusaha setenang mungkin.

Mendadak jantung Ahmadi berdebar. Apa maksudnya, menggeleng? Apakah Teti merelakan aku pergi? Apakah Teti juga sama dengan ibunya? Ahmadi tak dapat meraba makna gelengan kepala Teti. Ahmadi mencoba saja meraba-raba maksudnya.

Kembali Ahmadi menatap wajah Teti. Menikmati wajah teduh yang dikagumi hampir satu tahun ini. Wajah yang dikhayalkan kelak, membawa cahaya sejuk dalam hidupnya. Wajah yang telah dilukisnya sepanjang kampas perasaan cintanya.

Ahmadi masih ingat, sebelum menemukan cinta Teti, dua tahun lamanya dia membenci wanita. Semua wanita yang sempat singgah di hatinya dianggapnya bakal mengecewakan lagi. Ogah untuk bercinta lagi sebelum ada kerja. Dia tak tahu kegagalan cinta untuk pertama, adalah soal biasa bagi setiap remaja. Waktu itu dia benar-benar tidak siap. Perjuangan cintanya terlalu berat menurutnya.

Kehilangan Fatma karena dipaksa kawin keluarganya, membuat Ahmadi kehilangan tempat bergantung. Semangatnya patah. Seleranya hambar. Merasa hidup tak berguna. Sebagai anak yatim, dia merasa memiliki segalanya saat cinta pertamanya diterima Fatma walaupun ayah-emaknya sudah tiada. Ahmadi sudah yatim piatu sejak kecil.

Tapi Fatma membuatnya seperti gila karena memutus cintanya. Fatma dinikahi pemuda yang tak lain adalah temannya atas paksaan orang tuanya. Alasan orang tua Fatma sederhana, jangan sampai anak gadisnya menjadi perawan tua. Ahmadi masih di bangku kuliah, waktu itu. Dianggap belum mampu karena belum bekerja tetap.

Sejak itu Ahmadi berjanji tidak akan main cinta lagi sebelum punya pekerjaan dan kedudukan. Dia seolah buta cinta. Melupakan asmara. Itu perjuangan yang tidak mudah. Sebagai anak miskin, merantau ke kota sebatang kara, harus mencari makan sendiri dan biaya sekolah, tiba-tiba putus cinta pula. Sangat berat menjalani perasaan anak muda dengan keharusan mandiri.

Lama sekali dia menutup pintu cinta. Sampai akhirnya batu hatinya melembut juga. Kecantol dengan seorang gadis berambut sebahu tapi di luar sekolah dia memakai jilbab. Masih di SMA, kelas tiga. Teti anak Pak Mukhtar. Bapak Teti ternyata sangat baik. Beberapa kali dia minta bantuan Ahmadi dan memberinya uang dengan jumlah lumayan besar.

Ketika cintanya bersambut, berbarengan pula dengan dia diterima bekerja di instansi Pemerintah, yakinlah Ahmadi, Teti adalah bidadari yang dikirimkan Tuhan untuknya. Bunga-bunga cintanya dipupuk subur dan akan dibiarkan mekar. Teti mungkin jodohku. Pak Mukhtar juga baik orangnya. Ahmadi menghayal begitu.

Sayangnya, kini ada tembok besar yang harus didobrak. Ibunda Teti, Bu Meri, ternyata tidak kunjung menunjukkan restu terhadap hubungannya. Dengan alasan Teti masih sekolah, sejuta larangan diberlakukan kepada Teti. Ahmadi malah menduga, ibu Meri tidak setuju karena dia hanya tenaga honorer. Bu Meri memang materialis, . kata orang-orang di situ.

“Engkaulah wanita yang bisa mengisi hatiku, Ti.”

“Jangan-jangan itu hanya rayuan gombal Abang saja.” Teti menjawab singkat.

“Aku benar, Ti,” sedikit Ahmadi menggeser kursinya ke kiri. “Teti meragukannya?”.

“Aku bukan main-main, Ti. Apakah kau masih ragu?” Ahmadi melanjutkan karena Teti masih diam.

Keduanya saling pandang.

“Jawablah, Ti. Aku ingin kepastianmu”.

“Tapi….tt….tapi aku masiiih,” suaranya terputus.

“Masih apa? Masih meragukannya, gitu?”

“Aku masih sekolah, kata Mama.”

Ahmadi terkesiap, disebut-sebut Mama begitu. Justeru Bu Meri itulah yang dianggapnaya tembok penghalang cinta keduanya saat ini.

“Apakah Bang Madi tidak terlalu lama menunggu nanti?”

Kini Ahmadi yang tiba-tiba kelu lidahnya. Dia tidak yakin kalau alasan sekolah adalah alasan sebenarnya. Ahmadi sebenarnya akan sabar menunggu sekolah Teti tamat. Tapi apakah ibu Teti akan merestui cinta mereka?

Ahmadi kembali menjelaskan bahwa awal bulan nanti dia harus berangkat. Dia dimutasi ke kantor lain. Kita harus berjauhan, katanya pekan lalu menjelaskan. Perjalanan cinta kita akan kian berat di genggaman ibumu. Itu dia sampaikan beberapa hari lalu. Itu pula misi kedatangannya malam ini ke rumah Teti. Malam ini dia beranikan datang ke rumah Teti untuk minta jawaban pasti kekasihnya itu. Bolehkah berangkat demi cita-cita atau berhenti bekerja demi cinta? Ah sungguh berat, katanya di hati.

Untuk beberapa saat hening lagi. Ahmadi bergeser lagi sedikit. Agak mendekat. Bertambah dekat ke kursi Teti.

“Ti.” Dengan nada yang sedikit bergetar di dadanya, dia memberanikan meletakkan tangan kirinya ke atas bahu Teti. Selanjutnya, refleks kedua tangan Ahmadi melingkar di leher Teti.

“Abang mengerti dengan perasaanmu. Tapi abang juga percaya, sesungguhnya tak ada gunanya bersedih. Toh ibumu seperti tidak bakal merestui hubungan kita. Kita harus memutuskan berdua jalan ini. Kita harus pilih yang mana.”  

“Bang Madi benci sama Mama?”.

“Kalau Mama tidak bisa menerima, kita harus membuat pilihan, Ti.”

“Pilihannya apa? Abang tetap akan meninggalkan Teti?” Badan keduanya masih seolah bersatu walaupun pada kursi yang berbeda.

 “Abang memang akan meninggalkan Teti karena tugas itu. Meninggalkan daerah ini. Tapi tidak akan meninggalkan cinta kita. Seperti sudah Abang sampaikan, kebetulan untuk beberapa bulan, atau mungkin bisa lebih dari satu tahun, beberapa orang tenaga honorer akan dipindahkan. Termasuk Abang. Kita akan berjauhan. Itu salah satu pilihan yang tidak Abang inginkan. Tapi demi pekerjaan, harus, kan?.”

“Tapi kenapa,” Teti memotong. ”Abang  seperti telah berubah?”

“Untuk pilihan terbaik. Ini hanya soal pilihan, Sayang. Abang memilih cita-cita sekaligus cinta kita. Teti keberatan?” Diam sebentar. Lalu, “Abang khawatir Ibu Teti saja jika Teti sudah memberi kepastiannya.”

 Saat asyik-maksyuk begitu, Ahmadi mendengar seseorang batuk dari dalam rumah. Suara wanita. Pasti Bu Meri, desisnya sambil degup jantungnya tiba-tiba meningkat. Ahmadi buru-buru melepaskan tangannya yang melingkar di atas bahu Teti. Keduanya kembali duduk seperti tadi. Di kursi masing-masing. Bu Meri benar-benar muncul dari dalam rumah. Mengeluarkan setengah badannya dari balik pintu yang dibukanya sendiri.

“Hei Teti, anak Mama, ngobrolnya kok di teras?” Lalu dia berbalik badan dan kembali masuk ke dalam rumah. Hanya satu kalimat itu saja yang diucapkannya. Ahmadi yang tampak ketakutan ketika melihat bunda Teti muncul, menjadi salah tingkah. Hatinya bergoncang bagai diterpa gempa. Takut. Heran juga. Seribu pertanyaan memenuhi kerongkongannya. Antara takut, ragu dan senang juga, Ahmadi terpana saja melihat Bu Meri kembali masuk ke dalam rumah. Setujukah dia hubungan kami? Pertanyaan itu mendesaknya, tiba-tiba. Ingin diajukan juga ke Teti, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

Ahmadi berdiri. Teti juga ikut berdiri tanpa disuruh siapapun.

“Teti, izin Abang permisi. Abang pulang dulu, ya? Perut Abang terasa…” Ahmadi tidak meneruskan kalimat itu. Dia ingin mencium kening Teti, tapi tidak juga berani. Dia ulurkan saja tangannya. “Da da, Abang izin, ya?” Ahmadi berlalu menuju motornya yang diparkir di sudut pekarangan rumah mewah itu. Teti hanya seperti melongo saja mengikuti langkah Ahmadi hingga menghilang di ujung jalan yang rada gelap..***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Catatan Kunjungan FKUB Batam di FKUB Karimun

BEBERAPA hari menjelang rencana kedatangannya ke Kabupaten Karimun salah seorang pengurus FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Batam me...