BERITA seperti ini adalah berita yang tidak baik buat guru,
menurut saya. "Ada guru tega melepas jilbab penutup auratnya demi uang
sertifikasi". Sebagai muslimah, sejatinya mempertahankan keyakinan akidah
jauh lebih utama dari pada uang tunjangan profesi. Membuka penutup aurat,
apalagi di depan peserta didik setingkat SLTA yang akan diajar dan dididik,
sungguh kekeliruan yang menyesakkan. Memang hak pribadi tapi jika memaksa diri
hanya karena uang sertifikasi, wah tidak adakah jalan lain lagi?
Penyebab guru muslimah membuka
jilbab ini adalah karena peraturan intern sebuah sekolah yang mengharuskan
membuka penutup kepala (jilbab) bagi wanita ketika berada di sekolah. Yayasan
pengelola sekolah punya aturan sendiri mengenai berpakaian di sekolah ni. Tidak
dibenarkan wanita mengenakan pakaian menutp kepala alias jilbab. Itu saja.
Jangan ditawar-tawar. Padahal si muslimah ini harus mengajar di sekolah
tersebut demi mencukupkan jumlah jam mengajarnya.
Mengapa harus mengajar di sekolah
ini padahal sesungguhnya si muslimah ini adalah guru yang berinduk di sekolah
negeri? Di satu sisi, ada ketentuan yang mewajibkan setiap guru mesti mengajar
minimal 24 jam pelajaran per minggu sebagai syarat pembayaran tunjangan profesi
guru. Di sisi lain ada sekolah yang karena kelebihan guru tidak bisa membagi
tugas minimal 24 jam itu kepada semua guru. Akibatnya guru bersangkutan
dipersilakan mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain. Dan karena sekolah
yang ada, dekat dan membutuhkan hanya sekolah yang mempunyai peraturan 'tak
boleh berjilbab' maka hanya ada dua pilihan, mengambil tambahan jam di sekolah
tersebut atau merelakan tunjangan profesinya tidak dibayarkan. Sungguh musykil.
Bagi guru yang memilih opsi pertama
itulah yang membuat perasaan kita terenyuh dan sedih. Sebagai seorang muslim
rasanya geram mendengar berita seorang muslimah harus membuka auratnya di
hadapan orang ramai. Siswanya pula. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap
pengabaian keyakinan akidah seperti itu? Apakah itu sepenuhnya menjadi tanggung
jawab guru bersangkutan, atau menjadi tanggung jawab sekolah yang tidak bisa
memenuhkan jam mengajar gurunya? Atau bisa jadi itu adalah tanggung jawab
pemetintah?
Masalah yang mungkin sepele tapi
pelik ini sudah seharusnya menjadi perhatian kita sebagai guru. Bagi sebagian
orang bisa saja tidak ada masalah. Tapi sebagai Negara berpenduduk mayoritas
muslim, ditambah sudah begitu banyaknya aturan yang mengharuskan setiap orang
menghargai keyakinan seseorang, maka 'keterpaksaan' membuka jilbab ini tidak dapat
dianggap angin lalu saja. Keterpaksaan mencari tambahan jam mengajar di satu
sisi dan keterpaksaan membuka aurat sebagai konsekuensi mencari tambahan jam
mengajar di sisi lain, adalah realita pahit yang menyesakkan dan menjadi
perhatian.
Pantaskah seorang guru wanita yang
selama ini sudah memakai jilbab dalam kesehariannya, tiba-tiba harus membukanya
di hadapan puluhan bahkan ratusan siswa hanya karena mempertahankan 'haknya'
mendapatkan tunjangan profesi? Jika saja si muslimah ini memang belum berjilbab
sebelumnya, tidaklah ada persoalan. Bahwa dia mempertahankan 'haknya' itu tidak
juga salah. Masalahnya, jika hak itu masih terkait dengan kewajiban mencukupkan
jam di sekolah lain. Apalagi sekolah lain itu mewajibkan membuka pakaian yang
mencerminkan pengamalan akidah yang dianut, itulah masalahnya.
Diskusi pantas-tak pantas membuka
jilbab di sebuah sekolah yang mengharuskan membuka jilbab, sebenarnya bukan
diskusi yang produktif. Perbedaan pandangan karena perbedaan keyakinan adalah
sesutau yang nyata ada. Satu pihak akan menyalahkan si guru yang tega-teganya
membuka aurat sekedar mengejar uang itu. Tapi pasti juga ada yang akan
menyalahkan sekolah yang diskriminasi. Padahal sekolahnya merasa benar dengan
ketentuan yang dibuatnya. Namanya juga ketentuan intern.
Hanya, sebagai seorang muslimah,
sejatinya pertanyaan boleh atau tidak bolehnya memakai atau membuka jilbab di
depan peserta didik, jawabannya tidak ada keraguan: tidak boleh.
Selama itu bukan muhrim, ya tidak dibenarkan membuka jilbab di depan mereka.
Itu tegas dikatakan sebagai pelanggaran akidah beragama. Jadi, guru
bersangkutanlah yang wajib berpikir dan memutuskan bahwa untuk mendapatkan hak
tunjangan profesi itu tidak perlu mengorbankan akidah. Wallohua'lam.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar