Rabu, 05 Desember 2012

Membuka Jilbab di Depan Siswa, Salahkah?


BERITA seperti ini adalah berita yang tidak baik buat guru, menurut saya. "Ada guru tega melepas jilbab penutup auratnya demi uang sertifikasi". Sebagai muslimah, sejatinya mempertahankan keyakinan akidah jauh lebih utama dari pada uang tunjangan profesi. Membuka penutup aurat, apalagi di depan peserta didik setingkat SLTA yang akan diajar dan dididik, sungguh kekeliruan yang menyesakkan. Memang hak pribadi tapi jika memaksa diri hanya karena uang sertifikasi, wah tidak adakah jalan lain lagi?

Penyebab guru muslimah membuka jilbab ini adalah karena peraturan intern sebuah sekolah yang mengharuskan membuka penutup kepala (jilbab) bagi wanita ketika berada di sekolah. Yayasan pengelola sekolah punya aturan sendiri mengenai berpakaian di sekolah ni. Tidak dibenarkan wanita mengenakan pakaian menutp kepala alias jilbab. Itu saja. Jangan ditawar-tawar. Padahal si muslimah ini harus mengajar di sekolah tersebut demi mencukupkan jumlah jam mengajarnya.

Mengapa harus mengajar di sekolah ini padahal sesungguhnya si muslimah ini adalah guru yang berinduk di sekolah negeri? Di satu sisi, ada ketentuan yang mewajibkan setiap guru mesti mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu sebagai syarat pembayaran tunjangan profesi guru. Di sisi lain ada sekolah yang karena kelebihan guru tidak bisa membagi tugas minimal 24 jam itu kepada semua guru. Akibatnya guru bersangkutan dipersilakan mencari tambahan jam mengajar di sekolah lain. Dan karena sekolah yang ada, dekat dan membutuhkan hanya sekolah yang mempunyai peraturan 'tak boleh berjilbab' maka hanya ada dua pilihan, mengambil tambahan jam di sekolah tersebut atau merelakan tunjangan profesinya tidak dibayarkan. Sungguh musykil.

Bagi guru yang memilih opsi pertama itulah yang membuat perasaan kita terenyuh dan sedih. Sebagai seorang muslim rasanya geram mendengar berita seorang muslimah harus membuka auratnya di hadapan orang ramai. Siswanya pula. Siapakah yang bertanggung jawab terhadap pengabaian keyakinan akidah seperti itu? Apakah itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru bersangkutan, atau menjadi tanggung jawab sekolah yang tidak bisa memenuhkan jam mengajar gurunya? Atau bisa jadi itu adalah tanggung jawab pemetintah?

Masalah yang mungkin sepele tapi pelik ini sudah seharusnya menjadi perhatian kita sebagai guru. Bagi sebagian orang bisa saja tidak ada masalah. Tapi sebagai Negara berpenduduk mayoritas muslim, ditambah sudah begitu banyaknya aturan yang mengharuskan setiap orang menghargai keyakinan seseorang, maka 'keterpaksaan' membuka jilbab ini tidak dapat dianggap angin lalu saja. Keterpaksaan mencari tambahan jam mengajar di satu sisi dan keterpaksaan membuka aurat sebagai konsekuensi mencari tambahan jam mengajar di sisi lain, adalah realita pahit yang menyesakkan dan menjadi perhatian.

Pantaskah seorang guru wanita yang selama ini sudah memakai jilbab dalam kesehariannya, tiba-tiba harus membukanya di hadapan puluhan bahkan ratusan siswa hanya karena mempertahankan 'haknya' mendapatkan tunjangan profesi? Jika saja si muslimah ini memang belum berjilbab sebelumnya, tidaklah ada persoalan. Bahwa dia mempertahankan 'haknya' itu tidak juga salah. Masalahnya, jika hak itu masih terkait dengan kewajiban mencukupkan jam di sekolah lain. Apalagi sekolah lain itu mewajibkan membuka pakaian yang mencerminkan pengamalan akidah yang  dianut, itulah masalahnya.

Diskusi pantas-tak pantas membuka jilbab di sebuah sekolah yang mengharuskan membuka jilbab, sebenarnya bukan diskusi yang produktif. Perbedaan pandangan karena perbedaan keyakinan adalah sesutau yang nyata ada. Satu pihak akan menyalahkan si guru yang tega-teganya membuka aurat sekedar mengejar uang itu. Tapi pasti juga ada yang akan menyalahkan sekolah yang diskriminasi. Padahal sekolahnya merasa benar dengan ketentuan yang dibuatnya. Namanya juga ketentuan intern.

Hanya, sebagai seorang muslimah, sejatinya pertanyaan boleh atau tidak bolehnya memakai atau membuka jilbab di depan peserta didik, jawabannya tidak ada keraguan: tidak boleh. Selama itu bukan muhrim, ya tidak dibenarkan membuka jilbab di depan mereka. Itu tegas dikatakan sebagai pelanggaran akidah beragama. Jadi, guru bersangkutanlah yang wajib berpikir dan memutuskan bahwa untuk mendapatkan hak tunjangan profesi itu tidak perlu mengorbankan akidah. Wallohua'lam.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Catatan Kunjungan FKUB Batam di FKUB Karimun

BEBERAPA hari menjelang rencana kedatangannya ke Kabupaten Karimun salah seorang pengurus FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Batam me...