INI berita tidak baik buat guru. Ada guru yang tega melepas jilbab
penutup auratnya demi uang sertifikasi. Sebagai muslimah, sejatinya
mempertahankan keyakinan akidah jauh lebih utama dari pada uang tunjangan
profesi itu. Ini jelas cara berpikir dan tindakan tidak baik bagi seorang ibu
guru yang meyakini menutup aurat itu wajib hukumnya.
Penyebab guru muslimah membuka
jilbab ini adalah karena peraturan intern sekolah tempatnya mencari tambahan
jam mengajar yang mengharuskan setiap guru wanita membuka penutup kepala
(jilbab) ketika berada dan mengajar di sekolah tersebut. Yayasan punya aturan
sendiri mengenai berpakaian di sekolah. Tidak dibenarkan wanita mengenakan
pakaian menutp kepala walaupun itu untuk keyakinan guru bersangkutan.
Di satu sisi, ada peraturan yang
mewajibkan setiap guru wajib mengajar minimal 24 jam prlajar per minggu sebagai
syarat pembayaran tunjangan profesi guru. Di sisi lain ada sekolah yang karena
kelebihan guru tidak bisa membagi tugas minimal 24 jam itu kepada semua guru.
Akibatnya guru bersangkutan dipersilakan mencari tambahan jam mengajar di
sekolah lain. Dan karena sekolah yang ada hanya sekolah yang mempunyai
peraturan tak boleh berjilbab maka hanya ada dua pilihan bagi guru ini,
mengambil tambahan jam di sekolah tersebut dengan risiko buka jilbab atau
merelakan tunjangan profesinya tidak diterima.
Bagi guru yang memilih opsi pertama
itulah yang membuat perasaan kita terenyuh dan sedih. Siapakah yang bertanggung
jawab terhadap pengabaian keyakinan akidah seperti itu? Apakah itu sepenuhnya
menjadi tanggung jawab guru bersanglutan, atau menjadi tanggung jawab sekolah
yang tidak bisa memenuhkan jam mengajar gurunya atau bisa jadi tanggung jawab
pemetintah?
Bersempena bulan petingatan hari
PGRI dan HGN 2012 ini sudah seharusnya, ini menjadi perhatian kita sebagai guru
khususnya menjadi poerhatian para pengurus PGRI yang nota bene adalah guru.
Jangan hal seperti ini terjadi terus-menerus tanpa solusi. Sudah saatnya semua
pihak membicarakan masalah ini. Guru kekurangan jam mengajar, pada dasarnya
bukan karena kesalahan guru tersebut. Lebih karena kebijakan sekolah atau kebijakan
Dinas Pendidikan yang membiarkan guru-guru menumpuk di satu sekolah sementara
di sekolah lain kekurangan guru. Semoga hal ini segera ada jalan keluarnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar