Kamis, 10 September 2020

Hujan Pagi Memantik Emosi Bermain Literasi

SAAT tulisan ini dibuat, di luar ada bentangan hujan digelar. Tuhan menurunkan anugerah rahmat-Nya. Pukul 05.20 saat ini. Baru saja sampai di rumah, setelah menunaikan kewajiban di rumah-Nya. 
Turun pertama kali di sini, di Wonosari Meral, ini tadi saat kami masih di Masjid Al-Ubudiyah. Itulah masjid terdekat dengan rumah saya. Entah perasaan itu telah mengganggu khusyuknya solat subuh karena tiba-tiba suara hujan menimpa atap dan terdengar juga di telinga, entahlah. Maafkan kami (jika jamaah lainnya juga merasa hal yang sama) ya Allah atas ketidakkhusyukan itu.

Dengan menahan siraman hujan yang awal itu tidak begitu lebat, sampai juga ke rumah. Saat sampai di rumah, ternyata hujannya bertambah. Dan tulisan ini menjadi saksi timbulnya perasaan (emosi) literasi. Maka lahirlah catatan pagi ini.

Tidak ada yang akan menolak turunnya hujan ini. Jika pun itu membuat banjir --sebentar-- atau membuat jalan becek --karena jalan ke rumah belum beraspal-- atau masuknya genangan air ke dalam rumah karena rendahnya tanah perumahan di sekitar tempat kita tinggal, semua itu pasti akan kita terima dengan sabar saja. Hujan tetaplah satu rahmat yang turunnya juga tidak selalu. Tidak juga akan turun sebagaimana kita inginkan.

Rasa syukur kepada-Nya, bukti kita menerima apa adanya, itulah cara terbaik kita lakukan menyambutnya. Bahkan untuk setiap akibat yang ditimbulkan hujan ini pasti ada hikmah di baliknya selain hujan itu sendiri yang dapat langsung kita nikmati. Sumur kita akan bertambah airnya. Tanaman kita akan lebih subur sesudahnya. Cucian kita juga akan lebih leluasa menggunakan air untuknya.

Untuk kesulitan --sementara-- yang ditimbulkannya, pun akan ada hikmah di baliknya. Jika, misalnya jalan rumah kita menjadi becek, pasti kita akan berpikir bagaimana jalan ini diperbaiki nantinya. Mungkin dengan mengusulkan ke Pemerintah untuk dibangun jalan beraspal. Atau bersama masyarakat jalan itu akan disemen secara swadaya.

Jika air masuk ke rumah kita, membuat kita harus bekerja keras menguras atau membersihkan rumah yang digenangi air banjir, pasti keadaan itu akan kembali membuat pikiran kita untuk mencari jalan agar air tidak lagi nantinya ke rumah kita. Mungkin kita akan memperbaiki jalan air (parit dan gorong-gorong) yang melewati rumah kita. Atau boleh jadi kita akan mengubah-suai pondasi rumah kita. Semua itu adalah pemikiran baru yang datang setelah datangnya risiko hujan.

Jadi, tetap saja hujan ini akan kita syukuri sebagai nikmat dari Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Di luar itu, hujan pagi ini boleh jadi juga telah memantik emosi (perasaan) kita untuk memnberi arti waktu ini di ranah literasi.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...