Tiba-tiba saya teringat orang tua saya, ayah yang sudah berpulang
ke rahmatullah pada tahun 1990 lalu. Ada satu kalimat dari ayah saya yang
diucapkannya pada tahun 1970 silam. Sudah sangat lama. Saya masih mengingatnya
karena saat itu menjelang saya akan tamat SD (Sekolah Dasar). Kami di kampung,
waktu itu masih menyebut SR (Sekolah Rakyat) untuk Sekolah Dasar itu.
Ucapannya itu –dalam bahasa Indonesia--, “Syid, engkau
jangan seperti ayah. Ayah tidak bisa menulis dan membaca. Nanti tamat,
lanjutkan sekolahnya,” katanya. Saya tahu, orang tua (laki-laki) saya memang
tidak pernah sekolah, katanya. Katanya dia lahir pada tahun 1901, berarti
seumur Sukarno. Pada itu umur ayah saya sudah 70-an tahun. Katanya dia hanya
bisa menulis huruf Jawi alias Arab Melayu. Itupun sedikit-sedikit.
Setelah tamat SD pada tahun 1971, kalimat itulah yang saya
ingat dan saya, meskipun ketika tamat itu tidak akan mudah untuk melanjutkan,
namun saya benar-benar bertekad untuk melanjutkan Sekolah Dasar saya itu ke
jenjang berikutnya. Itulah yang
mengantarkan saya masuk ke PGA Rumbio, Kecamatan Kampar. Di Desa Rumbio (waktu
itu masih berstatus desa) ada sekolah setingkat SLTP, namanya sekolah PGA
(Pendidikan Guru Agama) yang nanti jika tamat kelas 6 (enam) bisa langsung diangkat menjadi guru
negeri, sebagai Guru Pendidikan Agama.
Benar sekali, jika peribahasa yang menyatakan bahwa setiap
orang tua tidak ingin anaknya seperti mereka karena mereka ingin anaknya lebih
baik dari pada mereka. Saya mendengar dan saya merasakan itu. Jika saja ayah
saya, dan ibu saya tidak mendorong saya untuk meneruskan sekolah saya, maka
pada tahun itu tentu saja akan bekerja membantu orang tua di kampong. Mungkin
ke sawah, ke kebun atau membantu bekerja apa saja untuk mencari makan.
Dengan sikap orang tua yang ingin anaknya bersekolah
(lanjut) maka sayapun melneruskan sekolah saya. Empat tahun di PGA P, itu saya
melanjutkan ke PGA A di Pekanbaru. Dan saya ingat, seperti apa semangat orang
tua saya untuk anaknya tetap bersekolah. Mengingat di Kecamatan Kampar belum
ada sambungan PGAP maka saya harus ke Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Jarak kampung
saya, Kampung Kabun Desa Akirtiris, Kecamatan Kampar (waktu itu) ke Pekanbaru
kurang lebih 60 km. Tapi saya harus ke Pekanbaru untuk melanjutkan sekolah.
Akhirnya saya diantarkan oleh ayah saya ke Pekanbaru dengan
mendayung sepeda. Ayah saya bersepeda sendiri sedangkan saya juga mendayung
sepeda sendiri. Kami beriringan menyusuri jalan dari Kabun Airtiris ke
Pekanbaru. Hanya satu kali kami berhenti di sepanjang jalan yang sangat jauh
itu. Ingat saya, kami berhenti di rerimbun pokok getah (parah) yang memenuhi
kiri-kanan jalan dari Tambang hingga ke batas Pekanbaru sana.
Saya ingin mengatakan bahwa semangat dan harapan orang tua
agar anaknya lebih baik dari pada dirinya, itu benar-benar ada dan benar adanya. Saya merasakan itu. Dan saya percaya, kita semua pasti tahu dan pasti juga merasakan itu. Jika pun ada orang tua yang tidak mengucapkannya seperti yang diucapkan orang tua saya, tapi pasti orang membuktikannya dalam bentuk lainnya. Sebutlah, ketika orang tua bersusah-susah menyekolah kita. Atau tindakan lain yang mungkin lebih berat dilakukan orang tua demi anak-anaknya.
Jadi, jika kita ingin mengukur seberapa besar atau seberapa luas harapan orang tua kepada anaknya untuk lebih baik, pasti kita tidak akan mampu mengukurnya. Baik diucapkan mau tidak, sesungguhnya begitu besar harapan kedua orang tua kita agar kita bisa lebih baik dari pada mereka.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar