Kamis, 07 Januari 2021

Menjadi GP itu Mutlak, Jangn Ditolak

TENTANG GP (baca GePe) yang selama ini familiar dengan kita guru adalah Guru Pebelajar. Tapi singkatan GP jauh sebelum dipakai untuk kepanjangan Guru Pembelajar ternyata sudah dipakai pula untuk istilah dalam balapan, Grand Prix. Muncullah kosa kata Moto GP atau Grand Prix Motor yang berarti balap motor. Sedangkan GP lainnya, kita dengan adalah istilah GP yang beredar di kalangan ‘ahli hisab’ ahli perokok. Mereka menyebut GP untuk satu merek rokok yang mereka hisap, Gudang Garam Filter.

Istilah GP untuk yang terakhir ini sepertinya tiaklah tepat betul. Karena, meskipun di kalangan perokok itu ada istilah GP, ternyata maksudnya adalah untuk menyingkat merek rokok Gudang Garam Filtar. Kalau mau disingkat harusnya disingkat dengan GGF atau GF saja. Namun, dengan istilah GP mereka lebih memahaminya. Jadi, setidak-tidaknya ada tiga GP yang masuk ke telinga kita. Atau masih ada singkatan GP lainnya, gatal perut, ganja potong, dll.

Kok saya tiba-tiba membualkan masalah GP? Saya teringat, saat awal Program Guru Pembelajar diluncurkan, Mendikbud (waktu itu, Anies Baswedan) istilah GP mulai merambah ke kalangan guru. Namun, ternyata Pak Mendikbud, konon tidak suka frase 'guru pembelajar' itu disingkat menjadi GP. Apakah kaena GP sudah merupakan trade mark balapan atau karena sudah dipakai oleh perokok, saya tidak tahu. Yang saya tahu dan ingat, ketika saya mengikuti pelatihan Calon IN (Instruktur Nasional) Guru Pembelajar di Semarang (17 s.d. 27 Juni 2016 yang lalu), itu salah seorang narasumber menjelaskan penegasan itu. "Pak Menteri kita (maksudnya Anies Baswedan itu) tidak suka Guru Pembelajar disingkat menjadi GP," katanya setengah bergurau. Saya pikir dia hanya guyon saja. Kami para peserta tidak terlalu mempermasalahkan singkatan itu.

Untuk mengulang ingat saja, program GP adalah program dengan maksud agar para guru (pendidik) di negeri ini menjadi guru yang rajin dan aktif belajar sebagai tanggung jawab selain mengajar. Guru pembelajar tidak hanya guru yang mengelola pembelajaran untuk maksud mengajar para siswa (peserta didik) saja, tapi juga ikut melaksanakan aktivitas belajar itu untuk dirinya sendiri. Jadi, proses belajar itu juga menjadi kewajiban dan tanggung jawab guru itu sendiri dalam usaha untuk menambah ilmunya. Jadi, belajar sepanjang masa itu wajib bagi guru.

Progrom GP karena mengacu kepada hasil UKG (Uji Kompetensi Guru) tahun 2015 yang baru di angka 5,5 berbanding 4,2 tahun sebelumnya. Artinya peningkatannya sangatlah rendah. Maka para guru diwajibkan untuk mengikuti program GP dengan Pemerintah membuat programnya. Sebagian guru yang mampu meraih hasil UKG di atas angka 7,1 dijadikan instruktur untuk menularkan program ini kepada para guru lainnya. Pemerintah berharap hasil UKG guru Indonesia minimal --waktu itu-- adalah di angka 6,5. Untuk mengejar angka ini diperlukan kesiapan guru. Lahirlah program GP itu.

Saya ingat, dalam keikutsertaan guru menjadi GP, ada tiga moda program yang akan diikuti guru. Selain moda Tatap Muka (TM) dan Moda Daring (Dalam Jaringan) juga ada kombinasi Moda TM dan Moda Daring. Jumlah modul yang wajib dipelajari juga bervariasi sesuai hasil UKG yang sudah ada itu. Akan ada guru yang diwajibkan mempelajari dua modul saja (untuk IN) yang sudah ditetapkan. Ada pula guru yang wajib mempelajari 8 s.d. 10 modul karena nilai capaian UKG-nya yang masih jauh dari harapan nilai yang ditentukan.

Satu hal yang menjadi kunci dari program ini adalah sikap guru sendiri yang harus mau belajar dan terus belajar meningkatkan kompetensinya tanpa harus disuruh-suruh atau dipaksa-paksa. Artinya para guru haruslah bersikap mau belajar dimana dan kapanpun juga agar kemampuannya terus meningkat sesuai perkembangan yang diperlukan oleh sekolah atau peserta didik.

Sesungguhnya GP, itu tidak penting diperdebatkan kepanjangannya yang beraneka itu. Bagi guru, hanya ada satu makna yang penting, Guru Pembelajar. Hanya dengan status pembelajar pula kita akan mampu menyesuaikan bahkan melebihi kemajuan yang saat ini ada. Guru Pembelajar alias GP memang mutlak. Jangan pernah menolak. Menolak belajar, artinya menolak mengajar. Mari, mari kita terus belajar sebagaimana selama ini sudah kita lakukan. Berkarya dan membuat hasil karya di ranah literasi adalah bukti kita adalah guru pembelajar. ***

1 komentar:

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Di Jepang Tidak Ada Hari Guru

Aku menemukan tulisan ini ..... (Iman Arifandy) DI JEPANG, TIDAK ADA HARI GURU Sekali saya bertanya kepada kolega Jepang saya, Guru Yamamoto...