SETELAH satu bulan kita dididik oleh bulan Ramadhan (1440) lalu, dan Idul Fitri adalah penanda
sudah tamatnya kita dari proses pendidikan tersebut, kini kita berkewajiban membuktikan hasil pendidikan selama Ramadhan itu. Kita (baca: muslim) selanjutnya akan kembali berjalan di pelataran
tanpa pendidikan Ramadhan. Pendidikan Ramadhan?
Ya. Karena bulan mulia itu juga disebut sebagai Bulan Tarbiyah, bulan
pendidikan, artinya bulan tempat kita melakukan pendidikan. Baik pneidikan untuk diri sendiri maupun pendidikan kepada orang lain. Intinya, semua yang menjadikan Ramadhan sebagai sarana mendidik
dirinya, tepatlah sebutan Bulan Pendidikan untuk bulan Ramadhan. Paling tidak,
Bulan Tarbiyah untuk diri masing-masing kita.
Pertanyaannya, apakah kita memang sudah termasuk yang mengikuti pendidikan
Ramadhan itu dengan baik? Apakah Idul Fitri yang baru saja kita lalui sebagai
bukti kita sudah tamat di dalamnya benar-benar menamatkan pendidikan Ramadhan
dengan benar juga? Atau Ramadhan ternyata terbiar begitu saja. Dia datang, datang sendiri dan dia pergi di Idul Fitri itu, juga pergi sendiri.
Harapan kita, jangan. Jangan sampai begitu posisi Ramadhan bersama kita. Atau benar-benar begitu? Jangan-jangan, ya jangan-jangan kita tertipu atau menipu diri sendiri? Menipu? Ya, menipu karena tidak berbuat dan bersikap sebagai mana seharusnya menyikapi keberadaan Ramadhan. Kita
berniat puasa, misalnya, tapi sebenarnya tidak. Kita disyaratkan jujur, ternyata kita
tetap tak jujur. Diam-diam tetap duduk di warung yang tertutup setengah
pintunya.
Kalau begitu, berarti kita termasuk kategori DO. Kita sudah di-DO-kan
oleh-Nya. Tuhan sudah men-DO-kan kita. Jika Allah men-DO-kan kita itu berarti
kita hanya sekadar mendapat cap lapar dan dahaga saja. Kita tidak dapat apa-apa
di mata-Nya. Sedihnya.***
Catatan yang hampir sama di: https://www.kompasiana.com/mrasyidnur/5cff5b680d82302d933c87e4/semoga-tak-di-do-tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar