SETELAH dua hari, Kamis-Jumat (18-19/ 12) mengikuti Diklat Pembekalan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang diselenggarakan oleh LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan) Provinsi Kepri, banyak pengetahuan dan banyak pula pengalaman yang didapatkan. Dua puluh orang peserta yang serius selama dua hari itu, merasakan betapa pentingnya pelatihan ini.
Selain mempelajari dan mempraktikkan bagaimana menyusun laporan PTK sesungguhnya pelatihan ini sekaligus mengulangcerahkan cara pandang dan cara tindak para guru dalam mengemban tugas dan tranggung jawab. Sesungguhnya perinsip utama dalam penyusunan PTK adalah kejujuran. Seperti tuntutan kepada guru dalam melaksanakan tugas, selain semangat dan motivasi juga integritas dan kejujuran. Begitu kurang lebih diingatkan narasumber dalam pelatihan ini kepada peserta.
Lebih jauh menurut para nara sumber bahwa kejujuran ini pulalah yang menajdi penekanan penting dalam merancang dan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Setiap menjelaskan berbagai teori setiap itu pula persoalan kejujuran diingatkan oleh narasumber. Mengapa demikian?
Karena ternyata masih terdengar sinyalemen kalau sebagian guru --mungkin sebagian kecil atau sebagian besar-- yang tidak atau belum jujur dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Termasuk dalam membuat laporan PTK. Dalam memberi nilai misalnya, masih terdengar sekadar memberi nilai saja tanpa menggambarkan kompetensi peserta didik yang sebenarnya. Konon masih ada, tanpa diperiksa lembaran ujiannya, tiba-tiba muncul nilainya. Nilai rendah malah dinaikkan begitu saja. Dengan alasan menolong siswa, guru memberi nilai tinggi meskipun itu bukan cerminan kemampuannya. Cilakanya terkadang Kepala Sekolah ikut dalam ketidakjujuran ini dengan memaksa guru memberi nilai minimal KKM padahal anaknya belum mampu.
Sesungguhnya, jika target nilai tinggi yang dinginkan tentu saja caranya bukan dengan mengubah atau merekayasa nilai siswa. Seharusnya kepada setiap siswa yang belum kompeten, jalannya adalah dengan mengulang kembali pembelajaran atau pemberian materi dalam satu kegiatan remedial. Bukan dengan serta-merta mengubah nilainya sesuai keinginan. Padahal perinsip pemberian nilai itu adalah faktual dan otentik. Jujur, titik.
Rekasaya nilai seperti itu memang tidak selalu sepenuhnya karena guru saja. Malah terdengar juga atas perintah Kepala Sekolah yang menginginkan seolah-olah siswanya baik-baik saja. Keinginan untuk menghasilkan nilai yang baik bukan saja keinginan Kepala Sekolah tapi juga keinginan semua pemangku kepentingan pendidikan itu sendiri: orang tua, guru dan Kasek serta masyarakat secara umum. Namun cara memperolehnya bukan dengan rekayasa. Merekayasa 'babi-buta' itu kebohongan terencana.
Mengubah sikap inilah yang menurut nara sumber pelatihan PTK perlu menjadi perhatian guru (peserta). Dalam melaksanakan penelitian dan laporan PTK tentu saja akan sangat berbahaya jika tidak didasarkan perinsip kejujuran. Tujuan PTK salah satunya adalah untuk menemukan kekurangan dan kelemahan seorang guru dalam mengelola pembelajaran. Dari pengakuan kelemahan itu pula guru akan mencarikan solusi dalam bentu tindakan. Guru wajib berusaha memperbaiki segala kekurangannya untuk diperolehnya hasil yang baik. Jika laporan PTK-nya tidak jujur, tujuan PTK itu sendiri tidak akan pernah tercapai. Haruskah kebohongan itu akan kita biarkan menjadi catatan hitam selamanya dalam hidup kita?
Sudah pasti, jika kebohongan-kebohongan seperti itu tetap dupertahankan dalam keseharian kita sebagai guru, bagaimana seorang guru akan mampu membuat laporan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) itu sendiri? Saya pikir pesan dari narasumber perihal perlunya kejujuran dalam melaksanakan PTK adalah pesan pokok dari semua materi yang disampaikan. Hanya PTK yang dilaksanakan dengan perinsip kejujuranlah yang akan melahirkan PTK yang bermutu. Bagai bercermin pada kaca yang bersih, akan diketahui keadaan sesungguhnya dengan benar. Semoga!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar