ADA banyak cara yang dipakai sekolah untuk membuat warganya
berdisiplin seperti hadir tepat waktu. Melihat peserta didik masih banyak yang
terlambat, terkadang sekolah menggunakan pendekatan tegas dengan menutup pintu
pagar --misalnya-- pada jam yang sudah
ditentukan. Tapi bagi sekolah yang belum atau tidak berpagar tentu saja cara
ini tidak mungkin.
Persoalan kurang disiplin kehadiran di sekolah ternyata
tidak selalu hanya monopoli peserta didik (siswa). Ternyata pendidik (guru)
atau tenaga kependidikan (pegawai) juga ada yang tidak atau belum disiplin.
Masih banyak yang sering suka datang terlambat dan pulang ke rumah lebih cepat.
Tidak sesuai jadwal. Sedihnya, ketika mengisi daftar hadir (absesnsi) banyak
pula para pendidik dan atau tenaga kependikan ini yang tidak jujur. Misalnya,
datang terlambat tapi tetap diisi jam datangnya dengan waktu seolah-olah tepat
waktu. Begitu pula ketika kembali pulang. Sudah nyata duluan ngacir pulang,
tapi di daftar hadir tetap saja diisi jam sebagaimana mestinya alaias
seolah-olah tidak terlambat.
Karena gagal, lalu sekolah membuat kebijakan baru dengan
mengganti buku tanda tangan/ paraf daftar hadir dengan bentuk lain. Kini bukti
tanda tangan datang dan pulang tidak lagi menggunakan buku absensi. Sudah
diganti dengan penggunaan kartu absensi. Setiap guru wajib memasukkan kartu
kehadirannya ke mesin absensi yang akan mencatat secara otomatis kapan seorang
guru/ pegawai datang atau kembali pulang. Jadi, tidak lagi memakai tanda tangan
atau paraf. Sudah disiplin? Ternyata belum juga.
Terbukti ada pula guru atau pegawai yang kartu identitas
untuk bukti hadirnya tidak dimasukkan sendiri. Ada guru atau pegawai lain yang
memabantunya untuk mencolokkan kartu itu ke mesin absensi. Begitu juga ketika
akan pulang ke rumah. Bersekongkol dengan piket atau penjaga mesin absensi
adalah penyebab utama kegagalan caqra ini. Guru atau pegawai yang curang tetap
saja melakukan pelanggaran dengan datang terlambat atau kembali ke rumah lebih
awal dari jam yang sudah ditentukan.
Lalu sekolah membuat gebrakan baru. Mesin absensi diganti
dengan model 'cap jempol'. Artinya para guru/ pegawai tidak bisa lagi
mewakilkan absensinya kepada guru atau pegawai lain. Cap jempol tidak bisa
dikirim atau diwakilkan. Tapi apakah sudah akan disiplin? Belum tentu juga.
Bagi guru atau pegawai yang memang tidak mau disiplin tetap saja cara absensi
seperti ini tidak akan efektif. Dia akan tetap mencari celah untuk tidak berada
di sekolah walaupun mungkin saja cap jempolnya sudah diisi.
Biasanya para guru/ pegawai yang curang ini akan tetap saja
mencari jalan bagaimana untuk tidak berada di sekolah. Masih banyak alasan yang
bisa dibuat: entah mengirimkan surat, mencari alasan-alasan dan banyak lainnya.
Intinya memang tidak akan bisa disiplin walau dengan model absensi apapun.
Sesungguhnya disiplin itu ada di hati. Artinya absensi yang
akan membuat seseorang itu berdisiplin atau tidak, sebenarnya akan ditentukan
oleh hati masing-masing. Absensi itu sebenarnya memang hanya bisa dengan hati,
bukan dengan absensi. Tidak ada pada kertas, kartu atau pada model cap jempol
itu. Maka jika sekolah ingin warganya (siswa, guru dan pegawai) berdisiplin
maka disiplinkanlah hatinya. Hanya hati masing-masinglah yang akan mampu
mengatur diri masing-masing pula. Mengatur dan memimpin diri sendiri jauh lebih
mudah dari pada memimpin orang lain. Ingin disiplin? Disiplinkanlah hati
masing-masing. Sekolah tidak perlu membuat berbagai instrumen untuk memastikan
kehadiran guru atau pegawai. Hatinyalah yang perlu dibersihkan agar mau
melakukan yang baik dan benar. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar