Senin, 25 Oktober 2010

Cerpen: PENGINAPAN AYAH

BERKALI-KALI ayah mencoba merekonstruksi peristiwa itu dalam pikirannya. Bagaimana bisa berlaku begitu saja. Begitu mudah. Aneh. Diingat-ingatnya satu per satu urutan kejadiannya. Tapi ia tetap tak mampu mengumpulkan serpihan kekecewaan yang amat mendalam itu.

Aku seperti kehilangan kesadaran, keluh ayah suatu pagi. Dia termenung sendiri. Mengapa begitu mudah, itu berlaku. Tak dapat aku memahaminya, gumamnya di hati. Ayah masih dengan mimik amat menyesal dan sedih.

“Saya benar-benar tolol. Goblok,” sambil memukulkan tinju ke atas meja di depannya.

“Apa saja yang dibawanya kabur, Ayah?” Saya menyela setelah hampir setengah jam ayah berkicau seperti orang kesurupan.

“Duit saya amblas. Duit kontan lagi. Kalau sewa kamar, cuci pakaiannya dan lain-lain tetek bengek itu, saya tak begitu kesal. Tapi simpanan setahun itu begitu saja saya menyerahkannya. Goblok. Tolol. Benar-benar tolol saya ini.” Ayah tampak geram.

Sebenarnya saya tak ingin mencampuri masalah ayah. Dari dulu, ayah tak pernah bisa menerima apa saja dari kami, anak-anaknya. Ayah selalu membanggakan kemandiriannya. Mampu mengumpulkan dan mengembangkan uangnya. Mampu hidup ‘membujang’ di kapal perang dalam waktu yang sangat panjang. Mampu membesarkan dan menyulap kami yang sembilan orang ini menjadi ‘orang’. Tentang yang satu ini saya memang salut sekali kepadanya. Semua kami sekolah sampai minimal sarjana muda. Dan banyak lagi yang selalu dibanggakannya kepada kami.

Kecuali saya yang masih menunggu proses pengangkatan di Depdiknas, semua kakak dan abang saya telah lama mandiri di berbagai instansi dan departemen. Malah hampir semua mereka sukses dalam karir masing-masing. Hanya Kak Ana yang tetap menjadi guru Taman Kanak-kanak. Tapi keluarganya pun bukanlah orang rendahan. Suaminya Kapolsek. Jadi, sayalah satu-satunya yang masih ting-ting.

Semua kakak dan abang saya sangat sayang kepada ayah. Termasuk saya juga sayang kepada ayah, tentu. Terlebih-lebih sejak ayah pensiun dari dinas sebagai tentara di laut. Tapi ayah tetap tabu menerima pemberian anak-anaknya. Dia tidak bisa mengubah perinsip itu. Jangan kan menerima berupa materi, sedangkan saran saja dia tidak mudah menerima. Ayah memang egois.

Begitu bangganya dia dengan sikapnya itu, sampai ia pensiun pun ia mengatakan untuk tidak minta apa-apa dari kami, anak-anaknya. Saya sanggup ’mencari’ sendiri, katanya selalu. Tidak usah kalian risaukan. Biasakanlah hidup berdikari. Berdiri di atas kaki sendiri. Bahagiakanlah keluarga dan anak-anak kalian. Begitu selalu ayah menasehati kami. Ayah akan berusaha tidak menyusahkan kalian, katanya berulang-ulang.

Itulah sebabnya ayah menyulap sederet rumah petaknya menjadi penginapan, tidak lama setelah pensiun. Lalu dia menjadi manajer sekaligus sebagai pesuruh di penginapan itu. Ibu yang sukses menjadi ibu kost dari hampir seratus pekerja di Batam juga atas izin ayah. Ibu sejak dulu juga diajar sibuk mengurus bermacam usaha untuk mendatangkan uang. Kini pun menjalani hidup mandiri dengan usaha kateringnya di Batam. Ayah jarang sekali meminta ibu pulang untuk bersama mengurus penginapan itu.

Ayah selalu mengatakan mampu mengelola penginapan sendirian. Apalagi ini kan hanya kota kecamatan, katanya suatu hari kepada kami, putra-putrrinya. Kami memang keberatan kalau ayah harus ‘membujang’ lagi justeru pada saat rambut sudah ubanan. Cukuplah ayah membujang ketika dulu harus mengikuti petualangan antar negara di kapal perang karena dinas demi negara. Sekarang janganlah lagi. Tapi ayah tetap ayah. Pendiriannya tak mudah goyah.

“Sayang kamu tak kenal lelaki kurus penipu itu.” Suara ayah sebagian tertelan oleh rasa kesal dan sedihnya. Ayah seperti enggan menatap saya.

“Saya memang terlambat sampai ke sini. Tadinya saya mampir di Batam, ke tempat ibu. Abang juga melarang saya ke sini dulu sambil menunggu SK itu. Tapi akhirnya dia belikan juga tiket pesawat Surabaya–Batam PP,” kata saya menjelaskan mengapa saya agak lambat sampai dari Surabaya.

“Itulah. Coba kamu datang lebih awal ke sini, kamu akan tahu penipu iblis itu. Orangnya begitu kelihatan jujur dan baik”

Saya diam. Kamar tamu penginapan itu juga diam.

“Dua pekan dia menginap di sini. Hanya empat hari pertama yang telah dibayarnya. Masih sebelas hari lagi, kan? Coba kalian bayangkan. Ditambah bon-bonannya yang lain, sudah berapa itu kerugian saya?”

“Jadi sewa kamar belum dibayarnya? Apakah…”

“Itu tidak saya sesalkan, sebenarnya,” ayah memotong. “Uang kontan saya itu yang membuat saya setengah gila. Jumlahnya sepuluh kali atau bahkan belasan kali utangnya itu jumlahnya. Itu kan simpanan satu tahun. Rencananya uang itu untuk penambah kamar mandi bagian atas.” Ayah memperlihatkan gambar rencana pembuatan kamar mandi yang dibuatnya sendiri. “Lama saya membuat gambar ini,” lanjutnya seperti membanggakan.

Saya ingin bertanya banyak kepada ayah mengenai kasus penipuan itu. Bagaimana mulanya; apakah ayah tak curiga sama sekali dengan gerak-gerik dan bicara orang itu. Sebagai pensiunan angkatan laut yang masa emasnya kenyang menjelajahi negeri Beruang Merah yang terkenal dengan KGB-nya itu, kok begitu mudah tertipu tamu sendiri. Bukankah ayah adalah orang yang tak mudah begitu saja menerima ucapan orang? Dimana keteguhannya selama ini? Hati saya juga galau.

Ingin juga saya bertanya apakah saya harus menghubungi seluruh abang dan kakak-kakak yang lain untuk memberi tahu kasus ini? Saya yakin, lebih banyak dari itu anak-anaknya yang bertaburan di berbagai kota –bukan hanya kota-kota besar di Indonesia, juga ada yang di Hongkong, Johor Baru dan Los Angeles– akan mampu menebus uang ayah yang raib itu. Sepuluh kali jumlah itu pun pasti mampu mereka kumpulkan. Tapi apakah ayah mau?

“Apakah uang itu perlu sekali, ayah?”

“Pertanyaan bodoh. Ya perlu, toh?”

“Maksud saya, apakah kami harus meggantinya? Biar saya kasih tahu…”

“Nah, kamu menambah problem saya. Jangan. Jangan. Kamu jangan coba-coba beri tahu mereka. Aku tak suka. Kamu tahu, itu kan?”

Saya terperangah. Ternyata peristiwa itu tak mampu menggeser batu karang pendirian yang begitu kokoh menginap di hatinya.

“Ibumu juga jangan kau beritahu. Itu memalukan.”

“Kalau begitu... Mungkin belum rezeki, yah. Boleh jadi Tuhan sedang menegur.” Suara saya, saya usahakan serendah mungkin. Saya khawatir ayah salah tangkap. Sesungguhnya saya ingin mengatakan apa yang selalu disampaikan pak Ustaz atau para khatib di mesjid sebelah rumah sekaligus penginapan ayah.

Kalau punya harta jangan lupa di dalamnya ada hak orang lain. Jangan dimakan semua. Ibarat membeli ikan, jangan dimakan sampai tahi dan tulang-tulangnya. Kalau tahi dan tulang dimakan juga alamat akan dapat bahaya. Begitu Pak Ustaz memberi perumpamaan. Jangan-jangan itu adalah hak orang lain. Ah, tapi saya takut menyebutnya. Saya tidak berani menyampaikan itu kepada ayah.

“Ha?” ayah menatap saya. Tajam sekali.

Saya berusaha menghindari tusukan matanya yang tajam itu. Saya khawatir ayah tersinggung karena salah pengertian oleh ucapan saya.

“Apa kata kamu? Tidak rejeki? Jadi uang itu bukan rejeki, begitu?” Suaranya agak tinggi.

“Itu kan hasil keringat saya. Jerih payah saya di penginapan ini? Kamu tahu, itu bukan hasil korupsi atau manipulasi jabatan seperti yang sibuk di koran-koran itu? Itu uang halal. Kamu jangan bodoh, hah?.” Ayah tampak emosi. Matanya merah. Mungkin dia tersinggung, karena saya menghubung-hubungkan persoalan itu dengan nama Tuhan. Hal yang selama ini selalu tak disukainya.

Saya tahu, ayah percaya kepada Tuhan. Tapi ayah tidak pernah berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan rumah ibadah yang pagarnya berbatasan dengan penginapan ini pun amat jarang didatangi ayah. Terkadang saya malu juga mendengar gunjingan masyarakat sini. Sudah bau tanah belum juga hendak ke masjid, kata mereka.

“Maksud saya, mungkin kita kurang waspada dan terlalu terbuai oleh nomor itu, ayah.” Saya ingat cerita ayah, gara-gara nomor Si Ji alias judi togel itulah ayah tertipu. Saya juga tahu kalau ayah diam-diam memang sering membeli kartu putih itu, selama ini.

Ayah menatap saya sekali lagi. Tapi tidak setajam pandangan pertama tadi. Ada butiran embun mengambang di tepi telaga mata itu, saya lihat. Air matanya berderai. Ayah menangis. Saya menjadi serba salah menyaksikan peristiwa yang menurut saya lebih dramatis dari kasus penipuan itu. Saya kira, seumur-umur saya inilah pertama kali ayah meneteskan air mata oleh suatu masalah. Menyesal?

Adakah ayah telah mendapat sesuatu yang lebih mahal dibandingkan uangnya yang hilang itu? Adakah batu karang yang begitu lama bercokol di hatinya akan mencair? Saya melihat ayah mengusap matanya yang basah.

“Mungkin juga,” tiba-tiba dia memecah kesunyian. “Saya mungkin telah begitu lengah. Dan Si Ji ini…” ayah mengeluarkan beberapa lembar kertas putih ukuran kecil yang hanya tertulis pena biasa tanpa cap dan tanpa kop. Padahal dulu dia selalu merahasiakannya.

“Si Ji ini telah membuat saya begitu mudah terbius omongan orang licik itu,” sambil mengakui dengan jujur kalau ayah sudah begitu banyak menghabiskan uang untuk membeli lotere Singapura yang telah begitu merasuk masyarakat pulau tempat tinggalnya itu.

“Saya ingat, ya saya ingat, ketika bajingan itu datang ke penginapan ini dua minggu lalu.“ Ayah kembali menceritakan kisah tragis itu.

“Mula-mula dia datang, katanya dia sudah untuk kedua kali menginap di sini. Badannya memang kurus. Tapi pakaiannya tampak parlente. Necis. Namanya A Siong. Katanya touke dari Singapura. Saya percaya sekali dengan suaranya yang begitu terdengar jujur.”

Diam sebentar.

“Selama lima hari pertama dia menginap dia sudah begitu akrab dengan saya. Segala rahasia perdagangan dan kesuksesannya dia ceritakan kepada saya. Kebetulan kapalnya rusak dan menjangkar di ujung pulau sana, maka dia menginap di sini sambil menunggu kapal itu kelar. Begitu pengakuannya. Kamu tahu, masih ada tiga kapalnya yang lain yang tengah dikendalikannya.” Ayah begitu bersemangat menceritakan bualan penipu itu.

”Dia juga minta saya bekerja sama mengendalikan kapal itu. Dia mau dua kapalnya dicatat di Puskopal. Dia tahu kalau saya ikut pengurus di koperasi itu. Dia juga minta saya carikan seorang tekong untuk menyelundup ke seberang sana. Dia bisa gaji seribu dolar, katanya.” Diam sebentar.

“Kontan saja saya minta Andrianto berhenti di pabrik es milik Hok Bun itu. Kini dia tak kerja sambil menanti tugas baru. Ee…. tahu-tahu begini.”

“Terus?”

“Hari kelima itu dia bayar sewa kamar dan bon lainnya untuk empat hari. Malah saya diberi uang kopi segala. Tentulah saya senang.”

“Besoknya dia cerita lagi. Kali ini dia setengah mati memuji penginapan ini. Katanya nomor kamar yang dihuninya itu bertuah. Dulu dia katanya pernah menang nomor Si Ji ketika menginap di sini. Sekarang ini dapat lagi setelah nomor kamar dulu dan yang sekarang dia sewa digabungkan menjadi nomor pilihannya. Saya lihat langsung, ketika nomor 1724 keluar. Dia malah dapat dua hadiah yang kalau diuangkan bisa puluhan juta uang kita. Padahal saya sudah lama ikut main tak pernah sekalipun kena. Saya benar-benar kagum pada orang itu.”

Saya membiarkan ayah bercerita sepuasnya. Saya hanya mendengar.

“Waktu dia menceritakan Si Ji yang menang itulah dia menyampaikan hasratnya minta tolong. Katanya dia baru dapat Orari*, kapalnya tertangkap. Perlu ditebus dua juta. Inilah awal celaka itu. Kata A Siong dia kebetulan tinggal uang sejuta tiga ratus yang semula hanya untuk uang dingin saja. Si Ji itu katanya baru bisa diuangkan dua hari lagi. Itu pun harus ke Tanjungpinang. Sementara batas tebusan kapal itu sudah mendesak. Dia bilang, kalau saya kurang percaya, peganglah nomor Si Ji itu. Saya, karena begitu yakin maka tak pikir panjang lagi mengeluarkan uang simpanan itu. Dia pun janji, dalam waktu tiga hari, uang saya akan kembali utuh plus satu juta sebagai imbalan jasa. Ternyata… ah, dia benar-benar penipu ulung.”

“Sampai hari ini, sudah empat hari janjinya itu berlalu. Barulah saya sadar bahwa saya telah tertipu begitu saja. Kamarnya yang katanya masih ada tas di dalam ketika saya buka paksa memang ada tas president kosong, tapi tak ada apa-apa di dalamnya. Hanya ada dua helai kemeja lusuh.”

“Tentang kapalnya yang katanya rusak itu, apa ayah tidak nanya?”

“Itulah gobloknya. Mungkin saya kena kong dia. Setelah saya sadar tertipu, baru saya tanya kepada orang-orang yang tinggal di pulau itu. Ternyata ceritanya omong kosong saja”

Ayah tampak begitu letih setelah menceritakan kembali peristiwa yang katanya begitu memukul jiwanya.

“Saya sadar sekarang. Tuhan mungkin telah marah dan murka kepada saya. Setua begini, saya masih sibuk dengan kartu putih itu. Juga penginapan ini. Mungkin membuat saya lalai. Mana ke mesjid saya juga tidak pernah sempat karena mengurusnya.” Air mata ayah semakin deras mengalir. ”Padahal pagar masjid itu adalah pagar penginapan ini juga. Begitu dekat di mata tapi terasa jauh di hati.” ayah melanjutkan suaranya yang terbata-bata. Suara yang tidak terdengar egois lagi.

Saya terkejut. Ternyata karang itu tak sekeras dulu lagi. Saya sangat terharu mendengar pengakuan ayah. Saya juga serasa hanyut oleh air matanya. Tanpa saya sadari, air mata saya pun berderai satu-satu. Peristiwa yang tidak pernah terjadi dalam hidup saya. Ayah selalu berpesan untuk tidak cengeng. Jangan pernah menangisi dan menyesali hidup.

Tuhan, terima kasih. Engkau telah beri hidayah itu kepada ayahku. Itu saya ucapkan dalam hati saya saja. Ayah harus mau menangisi dan menyesali hidup, jerit saya tetap di hati.

Lama kami saling terpana. Terdiam dalam jalinan pikiran sendiri-sendiri. Cermin penyesalan tampak jelas memantul dari muka ayah. Juga wajah kesedihan. Saya yakin, ayah pasti sedang menangisi dan menyesali sebahagian hidupnya.

Ruangan itu kian sepi. Ayah diam. Saya juga tidak bersuara.

“Saya akan kembali...,” tiba-tiba ayah memecah kesunyian. Kalimat ayah tidak selesai. Ayah menutup mukanya dengan kedua tangan bak gadis belia sedang merajuk. Saya benar-benar nelangsa dan bingung campur haru menyaksikannya.

Sedetik kemudian ayah terjatuh ke lantai. Saya terkejut dan panik. Saya berusaha menjernihkan pikiran yang kacau dan kalut.

Saya sesungguhnya sudah berusaha meraih ayah yang roboh tapi terlambat. Dia tergolek di lantai dengan mulut sedikit berbuih dan mata tak berkedip. Saya coba panggil-panggil dan menggoncang badannya. Ayah tidak bergerak dan tidak juga mengedipkan matanya. Saya hanya sekali mendengarnya mengaduh dengan lenguhan bak kesakitan. Sesudah itu diam.

Saya tak menduga, kalimat tadi adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan. Saya akan kembali... saya akan kembali... kalimat terakhir itu memenuhi telinga saya. Setelah pingsan sejenak, dia benar-benar pergi untuk selamanya tanpa satu katapun pesannya berkenaan dengan penginapan ini.

Saya memekik sambil minta tolong. Ayah mungkin akan menuju ke penginapan baru yang abadi. Galau hati saya. Saya mencoba untuk setenang mungkin. Selamat jalan, selamat sampai di penginapan baru, Ayah. ***

* radio panggil

Mor-Tbk, 94-07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Sudah 1123 Menuju 1124

CATATAN Kamis (28/11/2024) ini adalah tulisan ke-1124 --wow-- dalam daftar tulisan yang ada di blog saya, 'maribelajar' ini. Beberap...