SECARA umum kita memahami makna literasi sebagai kemampuan membaca
dan menulis yang dilakukan seseorang. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diartikan
gerakan literasi yang diprakarsai dan dilakukan oleh warga sekolah. Tapi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memberikan makna yang lebih
luas perihal literasi. Tidak sekadar membaca dan menulis.
Menurut Kemdikbud, "Literasi adalah kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara." Jadi, tidak terbatas pada kegiatan membaca dan menulis saja. "Gerakan Literasi Sekolah (GLS) merupakan sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat sepanjang hayat melalui pelibatan publik." Itu dijelaskan oleh Kemendikbud pada tahun 2016 yang lalu. (https://www.seputarpengetahuan.co.id/2020/04/...)
Lebih detail dijelaskan bahwa GLS adalah suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (mulai dari peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, komite sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang bisa merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dan lain sebagainya), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Lalu bagaimana seharusnya sekolah membina dan mengembangkan literasi sekolah? Komponen-komponen yang ada di sekolah seperti Kepala Sekolah, Guru, Pegawai, Siswa bahkan orang tua siswa (wali) itulah yang akan menentuka keberhasilannya. Diantara komponen itu, maka Kepala Sekolah adalah yang paling menentukan.
Sebagai komponen tertinggi diantara komponen yang ada di sekolah, Kepala Sekolah dengan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi)-nya yang strategis akan menjadi lokomotif bagi gerbong-gerbong seperti Dewan Guru, Pegawai TU, siswa bahkan orang tua (komite) untuk segala hal berkaitan dengan sekolah. Termasuk ranah atau bidang literasi.
Secara otonom regulatif otoritas Kepala Sekolah yang diberikan akan efektif jika tindakan dan perbuatan Kepala Sekolah menjadi corong arahan bagi komponen lainnya. Tugas EMAS (Edukator, Manajer, Administrator dan Supervisor) dan tugas lain yang melekat menunjukkan peran yang akan dimainkan Kepala Sekolah akan menjadi penentu kemajuan atau kemunduran sekolah. Kosa kata suruh, perintah atau ajakan Kepala Sekolah akan sangat menentukan dalam setiap kebijakan.
Visi-misi dan program sekolah yang telah dirumuskan akan berjalan dengan baik jika pimpinan sekolah yang direpresentasikan oleh Kepala Sekolah dapat menjalankan Tupoksi (Tugas Pokok dan Fungsi), itu dengan baik. Kriteria baik dalam posisi tugas-tugas yang harus dibuat adalah jika tujuan yang sudah ditentukan tercapai sebagaimana yang digariskan.
Untuk keberhasilan program literasi dengan GLS, itu, misalnya dapat dipastikan akan terwujud jika peran-peran literasi, itu terlebih dahulu dilaksanakan oleh Kepala Sekolah. Jika target literasi sekolah adalah untuk mewujudkan warga sekolah menjadi warga pembaca, maka Kepala Sekolah harus menunjukkan dirinya sebagai orang yang suka membaca. Di mata guru atau siswa Kepala Sekolah wajib dikesankan sebagai pembaca yang aktif.
Jika target program literasi itu adalah untuk menjadikan warga sekolah sebagai warga penulis, maka Kepala Sekolah haruslah dikesankan oleh komponen lainnya sebagai Kepala Sekolah yang penulis. Warga sekolah akan melihat pimpinannya terlebih dahulu melakukan apa yang disampaikan.
Kepala Sekolah, sebagai jabatan tertinggi di satuan pendidikan akan menjadi panutan untuk segala hal. Sebagai pemegang teraju semua komponen sekolah, maka Kepala Sekolah tidak hanya bisa menyuruh atau memerintah saja. Suruh atau perintah akan efektif jika menggunakan pendekatan ajakan. Mengajak melakukan. Inilah yang paling bijak.
Ketika Kepala Sekolah akan menyuruh Dewan Guru untuk aktif menulis dengan alasan para guru memerlukan itu untuk berbagai hal, terutama untuk kenaikan pangkat, misalnya, perintah Kepala Sekolah ini akan sulit terlaksana jika Kepala Sekolahnya tidak membuktikan bahwa apa yang disuruhnya sudah terlebih dahulu dia lakukan..
Jika Kepala Sekolah menggunakan pendekatan perintah (instruksi) belaka, semisal menyuruh para guru menulis, itu maka perintah seperti ini akan sulit berkesan di hati guru karena orang yang menyuruh tidak menunjukkan apa yang disuruh. Ini bagaikan memandikan hewan yang tidak terbiasa dengan air. Seekor kambing hanya akan masuk ke dalam air (mandi) jika tuannya menariknya (mengajak) ke dalam air. Tidak cukup menyuruh karena kambingnya tidak akan mau masuk ke dalam sungai dengan disuruh saja.
Jika hanya menyuruh berarti memerintahkan. Tapi kalau mengajak berarti mencontohkan. Kesannya bagaikan menarik. Untuk memandikan kambing, misalnya tidak bisa menggunakan pendekatan perintah atau suruh. Harus menggunakan pendekatan mengajak (tarik). Itulah yang paling bijak. Artinya jika ingin perbuatan itu dilakukan oleh orang lain dengan perinsip menyuruh saja, maka kemungkinan berhasilnya lebih rendah. Bahkan cenderung gagal. Tapi jika diajak atau dicontohkan, dibuktikan terlebih dahulu oleh yang menyuruh, maka kemungkinan keberhasilnya akan lebih tinggi.
Untuk pendekatan mengajak begini tentu tidak mudah. Kalaupun tidak mungkin mengingat Sang Peneraju ‘buta kayu’, pastikan ada sosok atau tokoh yang ditugaskan Kepala Sekolah yang mampu memerankan fungsi ini agar program literasi sekolah tetap bisa terlaksana.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar