KARENA nilai Ujian Nasional (UN) tidak lagi dijadikan syarat kelulusan pada
UN Tahun Pelajaran 2014/ 2015 ini, maka diharapkan pelaksanaan UN 2015 ini akan
berjalan dengan jujur. Tidak perlu ada lagi kecurangan untuk memperoleh nilai
tinggi (di luar kemampuan) sebagaimana sebelumnya selalu terjadi. Fakta dan
berita yang selama ini menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan UN selalu terjadinya
kecurangan-kecurangan demi mendapatkan nilai untuk kelulusan. Ke depan, itu tidak lagi perlu terjadi karena nilai UN bukan menajdi penentu kriteria kelulusan di satuan pendidikan..
Pada pertemuan MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) di SMA Negeri 1 Moro,
Kamis (02/ 04) lalu, para Kepala SMA/ MA se-Kabupaten Karimun juga sepakat dan
bertekad untuk melaksanakan UN jujur di sekolah masing-masing. Guru atau Kepala
Sekolah 'diharamkan' menunjukkan jawaban alias membocorkan soal kepada siswa sebagaimana tahun-tahun sebelumnya banyak sekali terjasdi.
Sekarang, jangan lagi. Tekad yang sangat mulia.
Ketentuan selama ini yang menjadikan hasil UN dengan batas nilai tertentu
sebagai syarat kelulusan dari satuan pendidikan telah menyebabkan para siswa
peserta UN bertekad untuk melakukan berbagai usaha, termasuk usaha tidak
'mulia' mencontek, misalnya demi meraih kelulusan. Usaha-usaha tidak baik itu seumpama kecurangan itu,
misalnya bukan sesuatu yang aneh terjadi. Sedihnya, iItu ternyata tidak hanya dilakukan oleh siswa, malah guru juga
ikut terlibat. Di beberapa sekolah lebih celaka lagi karena ternyata Kepala
Sekolahnya juga ikut merusak pelaksanaan UN yang harus jujur dan akuntabel itu. Tentu saja ini sangat merusak
karakter semua pihak. Peserta didik yang akan tamat itu tentu saja selamanya
akan menjadi orang berdosa.
Kini, dengan POS UN yang dikeluarkan BNSP (Badan Nasional Standar
Pendidikan) bernomor 31/P/BSNP/III/ 2015 dan Pemrmendikbud bernomor 5 Tahun
2015 sudah jelas bahwa keberadaan nilai UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan.
Bagi peserta didik, keikutsertaannya dalam UN sudah cukup karena nilai UN
memang masih diperlukan sebagai alat pemetaan mutu pendidikan secara nasional,
daerah dan sekolah. Bahkan dengan sistem ini, capaian kompetensi UN peseerta
didik secara perorangan juga akan tergambarkan.
Itulah sebabnya, kebijakan ini diharapkan mampu mengubah paradigma sekolah
dalam menyelenggarakan UN. Kini tidak lagi kelulusan 100 persen yang dibutuhkan
tapi kejujuran 100 persen yang diprioritaskan. Persentase kelulusan sudah
menjadi wewenang sekolah. Sekolah tidak dibatasi lagi akan meluluskan berapa
persen karena kriteria kelulusannya sendiri ditentukan oleh sekolah. Justeru
kejujuran 100 persen itulah yang kini menjadi ujian sebenarnya bagi sekolah.
Nah, jika para Kepala Sekolah bertekad akan melaksanakan ujian yang benar-benar
sesuai dengan ketentuan dan peraturan, insyaallah akan tercapai target kejujuran 100 persen itu. Tidak lagi kejujuran yang pura-pura.
Benarkah tekad ini akan terwujud? Atau kebohongan akan tetap
dipelihara? Atau kejujurannya sekadar kejujuran pura-pura saja? Sejarah akan membuktikannya, nanti. Mengingat kejadian masa lalu, memang sudah terbukti ada kejujuran yang ternyata bohong-bohongan saja. Kepala Sekolah mengatakan sudah jujur, tidak ada lagi contek-mencontek, ee ternyata anak-anak masih suka saling berbagi dan saling mencontek.
Terkadang heran juga, mengapa kejujuran harus dibohongi juga. Jika belum mampu melaksanakan ujian dengan jujur, ya tenang-tenang saja itu lebih baik dari pada berkoar-koar seolah-olah sekolahnya melaksanakan UN dengan jujur. Tidak perlu membohongi diri dan sekolah kita. Kasian, ini benar-benar akan merusak tanpa disadari. Ayo, mari kita junjung kejujuran 100 persen ini. Kita usahakan sekolah masing-masing untuk melaksanakan ujian dengan kejujuran yang sebenarnya. Ujian Nasional (UN) Tahun 2015 ini kiranya menjadi UN yang jujur 100 persen. Bisakah?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar