TIBA-tiba isteri saya, siang Jumat (22/02/13) dua hari lalu itu terburu-buru
memberikan HP (Hand Phone) kepada saya. Sambil masih tetap menjawab suara di
seberang sana, isteri saya setengah berlari ke arah saya. Saya berdiri dari
kursi dan mendengar dia mengatakan, "Sebentar, ini bapak." Lalu dia
memberikan HP murah itu kepada saya. Itu memang HP saya yang tadi saya letakkan
di kamar sementara saya duduk nonton televisi di ruang tengah.
"Ada yang menangis. Mungkin Ery atau siapa," kata isteri
saya. Saya terkejut. Ery? Itu anak saya yang nomor dua. Sekarang dia memang
jauh dari saya. Dia di Tanjungpinang, kuliah di Umrah (Universitas Maritim Raja
Ali Haji). Cepat saya tempelkan HP itu ke telinga. Saya mendengar suara lelaki
menangis seperti ketakutan. Pikiran saya memang langsung ke anak kedua saya
itu. Tapi mengapa dia menangis?
Suara di seberang telpon itu terus menangis seperti ketakutan.
"Ery (saya tak begitu jelas dia menyebut Ery, Egy apa Edy, gitu) lagi
dapat musibah. Ini lagi sama polisi," katanya sambil terus menangis. Saya
tentu saja terkejut. Ada apa? Mengapa dia? Tapi saya masih tidak begitu jelas
apa omongannya. Saya terus bertanya, "Ery di mana? Ada apa? Coba jangan
menangis." Saya terus minta dia diam dulu karena saya tidak terlalu jelas
suaranya. Tapi dia masih tetap seperti orang ketakutan.
Kurang lebih dua menit, telpon di seberang sana diambil oleh
seorang lelaki. Suaranya tegas, berjenis bas. "Bapak siapa?" tanyanya
dengan nada tegas kepada saya. Belum lagi saya sempat menjawab, "Nama
lengkap anak Bapak, siapa?" tanyanya lagi setengah membentak. Dalam
khawatir, saya tidak langsung memberi tahu nama lengkap anak saya. Saya minta
saja dia membuka dan melihat KTP atau SIM anak saya. Saya tahu, anak saya punya
KTP dan SIM dalam dompetnya. Dompet itu pasti ada dalam saku celananya.
Lelaki itu justeru sedikit bersuara tinggi. "Ini di tangan
saya sudah lengkap, Pak. Bapak jawab saja pertanyaan saya. Nama lengkap anak
Bapak, siapa?" tanyanya lagi. Saya mulai agak ragu, apakah benar suara yang
menangis tadi adalah anak saya. Ketika saya tanya, posisi mereka ada di mana,
di Karimun atau di mana; lelaki itu menjawab, ya di Karimun. Saya bertambah
ragu. Ery ada di Tanjungpinang. Atau anak saya Opy? Jam siang seperti itu
mungkin Opy lagi di jalan. Saya suruh anak saya, Kiky melihat Opy di kamar.
Ternyata anak bungsu saya itu memang ada di kamarnya.
Diam-diam, saya minta Kiky, anak saya nomor satu menelpon adiknya
ke Tanjungpinang. Apakah benar Ery mendapat masalah. Ternyata Ery, ada di
Tanjungpinang setelah ditelpon langsung HP-nya. Dia sedang tidur. Saya langsung
yakin, penelpon ini adalah penipuan. Pasti nanti ujung-ujungnya minta duit,
kata saya dalam hati. Rasa khawatir saya sudah selesai. Saya benar-benar yakin,
lelaki yang berlagak anggota reserse Polres Karimun itu adalah penipu. Saya
mencoba berlagak gugup menjawab setiap pertanyaannya. Dia kembali bertanya nama
lengkap anak saya. Pertanyaan itu akhirnya saya jawab. "Anak saya namanya
Ery Efendi," jawab saya sambil tersenyum karena saya sudah mulai
membohonginya. Sungguh, nama anak saya itu bukanlah itu. Isteri saya dan anak
saya ikut tersenyum.
Lalu si polisi palsu itu bertanya lagi, "Anak bapak selama
ini di mana?" Saya jawab, "Biasa di rumah. Memang kenapa, dia?"
tanya saya pura-pura begok. Dengan sangat meyakinkan, polisi gadungan itu
menjelaskan bahwa anak saya baru saja ditangkap karena terlibat narkoba. Dia
mengatakan kalau bandarnya masih tengah diburu. Belum tertangkap. Intinya si
penipu itu mulai mengarah ke pertanyaan, apakah saya akan minta bantu untuk
'menutup' kasus ini atau tidak. Kalau tidak, dia mengancam akan membawa anak saya ke
Polres Karimun untuk diproses. Artinya akan diproses secara hukum sebagaimana lazim kasus 'hitam' narkoba. Kalau sudah diproses, anak
saya bisa dipermak, dipukul, dianiaya, dihukum, bla bla bla dst. Begitu 'polisi' itu menjelaskan sambil menebar ancaman. Lalu saya minta (tentu pura-pura) ke polisi itu untuk menutup saja kasusnya.
Singkat cerita, setelah berputar-putar ke mana-mana polisi
gadungan itu minta uang jaminan kepada saya. Untuk Kapolres dan semua personel polisi yang akan ikut mengamankan anak saya, katanya. Katanya agar
Kapolresnya bisa mendiamkan kasus anak saya ini. Tapi ketika saya pancing mau
mengantarkan uang kontan, dia minta ditransfer saja. "Kapolres tidak mau
uang kontan," katanya. Dan dalam waktu bersamaan saya mengatakan kalau
saya mau ke masjid untuk melaksanakan solat jumat. Mohon selepas solat saja
dilanjutkan telponnya. Tapi sang polisi gadungan itu minta segera saja
ditransfer uangnya. Dia masih mencoba mengancam saya. Tapi saya katakan batery
HP saya sudah low dan segera akan mati HP saya. "Sebentar lagi akan mati HP saya ini," kata dari seberang sini. Mohon
matikan saja dulu sampai habis solat. Dan saya mematikan HP saya tanpa mendengar persetujuannya. Saya 'hakkul yakin' itu penipuan belaka. Ini
benar-benar penipuan. Dan saya sudah berhasil menipu penipu itu.
Tulisan ini sekedar mengingatkan, betapa penipuan melalui telpon
dengan modus kecelakaan dan sejenisnya sangat marak di negeri ini. Saya
teringat dua minggu sebelumnya, seorang Ibu menangis sedih karena tertipu Rp 5
juta dengan cara yang hampir sama. Seorang siswa salah satu SMA di Karimun,
dikatakan oleh seseorang penelpon bahwa siswa itu baru saja mengalami
kecelakaan lalu lintas. Saat itu siswa itu sedang berada di rumah sakit. Perlu
segera dioperasi dan harus segera kirim uang. Nasib malang bagi ibu yang
menerima telpon, dia terlanjur mentransfer uang lewat rekening penipu sesuai
yang diminta. Tapi ternyata anaknya sama sekali tidak mengalami peristiwa
seperti ditelpon itu.
Saya merasa bersyukur, Allah masih melindungi saya. Bayangkan,
dalam situasi waktu pendek menjelang jumatan, ada telpon mengatakan anak saya
ditangkap polisi karena narkoba. Tentu saja akan mudah terpengaruh jika kita
tidak dalam keadaan tenang. Bagaimanapun, saya percaya lindungan dari Yang
Mahakuasa telah menenangkan dan menerangkan hati saya. Saya terlepas dari
penipuan. Justeru saya puas karena dapat menipunya dengan mengulur-ulur
pembicaraan telpon. Kurang lebih 15 menit saya mampu mengajak penipu itu untuk
berbicara di telpon. Tentu saja pulsa penipu itu lumayan terkuras. Hati-hatilah
kalau ada kasus yang sama. Hanya itu pesan penting yang ingin saya katakan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar