Rabu, 09 Januari 2013

Dari Bicara ke Menulis: Surat untuk Guru ‘Pembina’


LAZIMNYA amanat Pembina Upacara yang disampaikan oleh Pembina Upacara setiap Senin-Pagi dalam upacara bendera adalah bentuk lisan tanpa konsep (tulisan). Mungkin ada juga yang memakai konsep (tertulis). Tapi pada umumnya jarang sekali seorang Kepala Sekolah atau guru yang mewakili Kepala Sekolah sebagai Pembina Upacara menyampaikan Amanat Pembinanya dalam bentuk tertulis. Jika pun ada teks tulisan yang akan dibacakan, biasanya itu hanya menjadi konsep saja. Pengecualiannya adalah jika Kepala Sekolahnya membuatkan teks pidato yang wajib dibacakan oleh pembina pengganti.

Kesempatan berpidato di depan para peserta didik ketika menyampaikan amanat atau pembinaan pada saat apel upacara bendera, pada hakikatnya mengandung dua dimensi manfaat. Di satu sisi penyampaian amanat dimaksudkan untuk memberikan bimbingan kepada peserta upacara, khususnya peserta didik. Isi pembinaannya bisa masalah informasi pendidikan dan pengajaran dan atau masalah kedisipilnan dan peraturan. Sementara di sisi yang lain, kesempatan menyampaikan amanat itu adalah kesempatan guru untuk membuktikan kemampuannya dalam berbicara di hadapan audiens (peserta) upacara. 


Tidak mudah juga sebenarnya berbicara (pidato) ketika memberikan amanat upacara bendera oleh seorang guru. Kalau pun sudah merasa terbiasa berbicara menyampaikan materi pelajaran di depan kelas, belum ada jaminan kalau di hadapan peserta upacara juga akan lancar menyampaikan materi pembinaannya. Di ruang kelas hanya ada peserta didik kelas tersebut saja sementara di lapangan upacara selain seluruh guru dan pegawai TU (Tata Usaha) juga ada Kepala Sekolah. Terkadang kehadiran mereka cukup membuat seorang guru pembina untuk sedikit grogi berbicara. Apalagi jika berbicara di depan kelas ketika mengajar juga ternyata tidak atau belum sebaik dan selancar yang diharapkan. 


Berpidato pada saat menyampaikan materi pembinaan dalam upacara bendera Senin-Pagi sebenarnya dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai kesempatan untuk belajar atau memperlancar keterampilan berbicaranya. Dari empat keterampilan dalam berbahasa Indonesia, keterampilan berbicara sesungguhnya sangatlah penting kedudukannya dalam fungsi dan tanggung jawab sebagai seorang guru. Selain di ruang kelas, keterampilan berbicara dapat diaplikasikan pada saat memberikan amanat dalam upacara bendera itu. 


Selain untuk pembinaan keterampilan berbicara, sejatinya penyampaian amanat pada saat upacara bendera juga dapat dimanfaatkan untuk keterampilan menulis. Artinya, sesudah keterampilan berbicara para guru dapat melanjutkannya ke keterampilan menulisnya. Guru pembina sebaiknya tidak berhenti pada usaha mencapai kemampuan berbicara saja. Dengan kompetensi berbicara dan menulis selain membaca, betapa akan luasnya kesempatan seorang guru untuk mengilhami peserta didik atau masyarakat lewat bicara dan tulisannya. 


Memanfaatkan momen pembina upacara untuk keterampilan menulis dapat dilakukan antara lain dengan menyusun secara baik setiap amanat yang akan disampaikan dalam bentuk tulisan. Walaupun seorang pembina sudah merasa mampu berbicara secara spontan, alangkah baiknya materi amanat yang akan disampaikan tetap ditulis dalam sebuah konsep yang rapi. Panjang pendeknya tulisan (konsep) itu tergantung alokasi waktu yang disediakan untuk menyampaikan amanat. 


Persiapan pelaksanaan upacara bendera biasanya sudah jauh-jauh hari disusun oleh sekolah. Jadwal pembina pun sudah dibuat oleh Kepala Sekolah. Para guru yang akan bertugas –mewakili Kepala Sekolah sebagai pembina– dalam upacara bendera juga sudah diberi tahu sebelumnya. Maksudnya semua pihak yang terlibat (pejabat, petugas dan peserta) upacara dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk kelancaran dan kesuksesan upacara bendera nanti. 


Bagi guru yang mendapat giliran sebagai pembina, waktu beberapa hari menjelang tampil sebagai pembina dapat dimanfaatkan untuk menyusun teks pidato yang akan dibawakan dalam upacara nanti. Sekali lagi, walaupun guru tersebut tidak akan membaca teks tersebut, namun persiapan teks pembina tetap lebih baik dari pada tanpa teks. Selain sebagai alat menjaga konsistensi materi pidato amanat juga secara tidak langsung sudah melatih diri untuk keterampilan menulis. Selain itu, tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh guru sebagai pembina upacara, dalam periode tertentu (satu tahun, dua tahun atau tiga tahun) dapat kembali direvisi, diedit untuk ditulis ulang. Kalau perlu, dikumpulkan menjadi sebuah tulisan lengkap, menjadi sebuah buku yang suatu saat bisa saja diperbanyak (dicetak). *** 


Dapat juga dibaca di: http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/08/dari-bicara-ke-menulis-surat-untuk-guru-517197.html?ref=signin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Di Jepang Tidak Ada Hari Guru

Aku menemukan tulisan ini ..... (Iman Arifandy) DI JEPANG, TIDAK ADA HARI GURU Sekali saya bertanya kepada kolega Jepang saya, Guru Yamamoto...