DULU, medio 2010 lalu, kepada kita disuguhkan heboh berita rekening ‘gendut’ yang diduga dimiliki dan atau melibatkan polisi. Begitu santer berita itu memenuhi ruang dan waktu-waktu kita. Hampir semua media masa memblow-upnya. Pagi- siang-malam ribut-ribut berita di layar kaca tidak terlepas dari berita rekening gendut yang diduga dimiliki anggota polri itu. Koran dan majalah pun memenuhkan halamannya dengan berita itu.
Kita tentu masih ingat gendang berita yang ditabuh Majalah Tempo edisi 28 Juni- 4 Juli 2010 yang sensasional itu. Sensasional? Ya, karena majalah edisi minggu akhir Juni ke awal Juli itu sempat menghilang dari peredaran di hari-hari pertama beredarnya. Sungguh heboh, waktu itu. Dan media cetak lain juga tidak kalah meramaikannya.Tapi lalu senyap dan berita rekening gendut itupun hilang bak ditelan bumi. Pandangan kita pun beragam menyikapinya.
Minggu-minggu (sejak awal Desember 2011) lalu, kembali berita-berita rekening gendut marak memekakkan telinga. Kalau dulu dugaannya dimiliki aparat baju cokelat, kini pemiliknya diduga pegawai negeri sipil (PNS) yang juga sama-sama makan gaji dari uang rakyat. Hebatnya disebut-sebut PNS ini masih muda-belia dilihat dari status kepegawaiannya. Konon masih bergolongan rendah (pangkatnya) karena memang belum lama menjadi pegawai negeri. Dan yang membuat kita berdecak 'kagum' (baca: geli), simpanan tabungan si PNS muda ini sangatlah besar. Bukan sebutan jutaan tapi sebutannya miliaran rupiah. Sungguh fantastis. Pandangan kita pun beragam dibuatnya. Yang pasti kita memang merasa aneh. Sungguh aneh melihat dan mendengar berita ini.
Sesungguhnya keanehan seperti itu bukanlah cerita baru di negeri berjuluk ‘taburan zambrut di tengah khatulistiwa’ ini. Dia adalah sejarah yang sebenarnya sudah lama ada. Hanya karena tidak terungkap selama ini, seolah-olah orang kaya 'aneh' di Indonesia ini tidak ada. Seolah-olah orang kaya di Negeri ini adalah orang kaya yang lumrah-lumrah dan normal-normal saja. Padahal jika dihitung dan diukur (dibandingkan) simpanannya itu dengan penghasilan resminya sungguh tidak seimbang. Pundi-pundi simpanan itu terlalu gendut berbanding penghasilan yang didapat. Tapi selama ini, ya itu seolah-olah tidak aneh. Biasa saja. Itukah pandangan kita?
Di Negeri tercinta yang begitu masih banyaknya pengemis, orang-orang miskin, orang tidak punya rumah, tidak makan, jadi gembel, penganggur, pencopet karena kelaparan dan lain-lain sejenisnya, ternyata di Negeri yang alamnya terkaya ini, banyak juga orang kayanya. Setiap tahun selalu ada orang-orang terkaya yang mengalahkan orang-orang terkaya di negeri tetangga yang diumumkan. Padahal di negeri orang sana, dengan kelompok orang miskinnya sudah sangat minim tapi orang kayanya jarang terdengar diumumkan. Tidak terdengar penduduknya yang terkaya di dunia. Aneh? Ah, ternyata itu juga tidak aneh selama ini.
Kini, setelah mata semua orang mulai terbelalak (mungkin mulai tersadar) betapa banyak keanehan di negeri ini bila melihat kekayaan vs kemiskinan, ribut-ribut rekening gendut marak kembali. Tiba-tiba orang terbayang episode gayus yang superkaya di usia muda yang memarakkan berita beberapa waktu lalu. Hah, tapi apa perlu diribut-ributkan? Jangan-jangan itu biasa saja. Dan jangan-jangan pandangan kita memang tidak ingin mempersoalkan.
Memang semua boleh berbicara: usut rekening mereka, hukum seberat-beratnya mereka, gantung mereka sampai mampus, permalukan mereka, buatkan kebun koruptor (macam kebun binanatang) buat mereka jika nyata-nyata mencoleng uang rakyat. Dan banyak lagi slogan yang dapat diciptakan. Ah, jangan-jangan kalimat emosi itu karena kita belum mendapat kesempatan untuk korupsi saja. Jangan-jangan sebenarnya yang menghujat hanya berpura-pura saja.
Sekian tahun reformasi, yang dulu diharapkan mengubah cara pandang dan cara berpikir serta cara bertindak kita dari yang bobrok kepada yang lebih baik baik, ternyata itu belum terwujud. Sekian puluhan tahun kita merusak bangsa sendiri dengan sikap dan perilaku bobrok itu, dan sekian tahun pula usaha memberantas korupsi dilakukan, tapi korupsi konon malah bertambah hebat. Dulu korupsi diam-diam dilakukan di bawah meja, kini korupsi dilakukan terang-terangan di atas meja (dengan pura-pura membuat peraturan untuk melegalkannya), bahkan dengan meja-mejanya sekaligus digarong oleh para koruptornya. Aneh? Ah, sepertinya sudah tidak aneh. Dan begitulah pandangan kita.
Rekening gendut? Ah, jangan-jangan ini trik lagi untuk meramaikan suasana, melariskan berita, dan akhirnya senyap tanpa usaha mengatasinya. Lalu? Ya, anggap saja biasa. Yang ketiban sial, mungkin nasibnya apes ya masuk penjara. (diedit ulang dari tulisan pada http://www.kompasiana.com/mrasyidnur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar