WALAUPUN hukuman Gayus dari tujuh tahun menjadi 10 tahun belum sama dengan tuntutan jaksa yang menuntut 20 tahun namun tambahan tiga tahun oleh Pengadilan Banding tetap mempunyai nilai pendidikan bagi semua orang. Hukuman tujuh tahun plus denda 300 juta rupiah dan subsider kurungan enam bulan oleh Pengeadilan Negeri Jakarta Selatan (berita Yahoo News http://id.berita.yahoo.com/hukuman-gayus-.... diakses 04.05.11) sesungguhnya memang masih sangat tidak adil berbanding hukuman yang diterima pencuri ayam yang terkadang babak-belur dulu oleh masyarakat baru masuk pengadilan.
Nilai pendidikan pertama yang dapat dipetik tentu saja konsistensi para hakim banding yang tidak ingin mengurangi hukuman Gayus. Malah dia menambah tiga tahun berbanding keputusan hakim Pengadilan Negeri sebelumnya. Mengapa ini disebut mempunyai nilai pendidikan karena dulu, para hakim di Pengadilan Banding selalu menjadi tempat para penjahat (terutama koruptor) untuk bernegosiasi pengurangan atau bahkan penghapusan hukuman.
Mengapa dulu para hakim di Pengadilan Banding sering mengurangi atau menghapus hukuman para koruptor? Tentu saja jawabannya sederhana saja: ada uang hukum melayang. Jadi, uanglah yang membuat keadilan itu tidak bisa berdiri tegak. Yang uangnya melimpah bisa membeli apa saja termasuk membeli hukum.
Sekarang pun sebenarnya hukum juga belumlah mampu tegak kokoh. Kecuali koruptor yang disidik dan diadili oleh dan melalui relnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sesungguhnya masih banyak kasus-kasus kejahatan yang dihukum dengan tuntutan yang tidak wajar. Orng miskin akan cemburu melihat orang kaya dihukum karena tuntutan hokum untuk mereka selalu terasa rendah. Sementara orang kaya semakin semena-mena menghukum –lewat aparat hukum—orang miskin dengan tuntutan yang terkadang menyakitkan hati.
Bersempena peringatan Hardiknas yang di sekolah gaungnya selalu dibesarkan, sudah seharusnya pemerintah, penyelenggara pendidikan dan siapa saja yang berkecimpung di pendidikan untuk memberikan kesadaran hukum bagi para siswa khususnya, dan keluarga sekolah pada umumnya. Kesadaran hukum di sekolah seharusnya sesuatu yang mutlak. Dia sama pentingnya dengan semua pelajaran yang ditetapkan kurikulum itu sendiri.
Harus diakui penerapan ketentuan dan peraturan sekolah (tata tertib) baik buat guru maupun buat siswa tidaklah selalu mulus dan mudah. Tingkat pelanggaran tata tertib (hukum) di sekolah di manapun saat ini belumlah zero persen. Selalu ada pelanggaran tata tertib di sekolah siswa bahkan guru.
Kasus Gayus, dari awal ia ditangkap hingga ia dihukum saat ini sesungguhnya memiliki kandungan pembelajaran kesadaran hukum oleh dan buat siapa saja. Tidak hanya aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, pengacara) yang bisa memetik pembelajaran hukumnya tetapi kita semua bisa memetik memanfatkan pembelajaran hukumnya.
Para aparat hukum, seperti sudah banyak dijelaskan dalam berita dan pemberitaan, bagaimana keteledoran dan kekeliruan mereka dalam penanganan kasus Gayus ini sejak awal. Masyarakat pun tidak semua berpikir mengenai kejahatan Gayus dan kelompoknya. Maka kekeliruan itu, seharusnya tidak terus-menerus berlanjut. Jangan lagi mau hanyut dalam kenikmatan pelanggaran hukum seperti selama ini. Orang Indonesia semuanya harus bangkit. Dan peringatan Hardikanas sudah sejatinya menjadi momen untuk itu. Apakah kita sudah siap?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar