DARI pada takut kepada isteri atau suami, lebih baik takut kepada anak. Tapi dari pada takut kepada anak lebih baik takut kepada waktu. Itu pendapat saya yang semoga juga ada yang berpendapat sama. Isteri/ suami, anak dan atau waktu adalah tiga hal yang bisa dekat dan bisa pula jauh dari kita. Bisa menyenangkan tapi tak mustahil menimbulkan masalah.
Isteri atau suami adalah orang yang dianggap paling dekat dengan kita (tentu semenjak emak dan ayah kita sudah jauh karena sudah tiada) dalam hidup dan kehidupan kita. Isteri atau suami, namanya juga teman setidur, sedapur walau tidak akan sekubur adalah sosok yang tak kan terbantahkan kedekatan hubungannya dengan kita (Maaf, tentu pembaca yang sudah bersuami atau sudah beristeri, maksudnya). Kalau isteri atau suami bermasalah sedikit saja kemungkinan akan timbul masalah lain yang lebih besar. Maka jadilah orang takut pada isteri atau suami. Tapi apa memang ada yang takut isteri atau suami?
Lalu bagaimana dengan anak? Anak adalah buah karya hasil kerja (maaf kalau tidak sesuai dibaca anak-anak) cinta suami dengan isteri. Anak tidak akan ada jika tidak ada cinta antara suami dan isteri. Jika pun ada cinta sepihak yang melahirkan anak, itu namanya kecelakaan. Anak seperti itu pun selalu tidak mendapat tempat sebagaimana layaknya anak.
Dan karena anak adalah buah cinta berdua (suami plus isteri), itu artinya cinta yang tertambat pada anak bisa jauh lebih besar dari pada kepada isteri atau suami. Apalagi jika suami dan atau isteri tidak cerdas menjaga dan mempertahankan saling pengertian di antara keduanya. Sering akhirnya keutuhan cinta isteri dan cinta suami justeru lebih ditentukan oleh cinta kepada anak. Maka takut kepada anak artinya bisa lebih tinggi kadarnya dari pada takut kepada isteri atau suami.
Sampai di situ apa kaitannya dengan waktu? Apa maksudnya harus lebih takut kepada waktu? Maksud tulisan ini, jika pun ada rasa waw-was dan rasa takut kepada isteri dan suami atau kepada anak, mungkin lebih baik takut kepada waktu dari kepada keduanya. Bukan hanya karena Tuhan mengingatkan agar manusia mengelola waktu karena dilihat dari kebijakan pengelolaan waktu manusia dikatakan-Nya makhluk yang amat merugi akan tetapi waktu dapat menjadi pengingat bagi manusia sekaligus akan membongkar rahasia-rahasia manusia.
Dalam salah satu firman-Nya dikatakan, “Demi waktu, sungguh manusia itu sangat merugi jika tidak beriman, tidak beramal kebaikan dan jika tidak pula saling ‘mengisi’ dalam kebenaran dan kejujuran.” Kutipan itu memberikan pelajaran bahwa memang perlu manusia itu benar-benar memperhatikan bagaimana waktu akan berlalu begitu saja –tidak akan pernah bisa ditahan– jika tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Dan itu berarti akan merugikan kita sekaligus menakutkan.
Ketakutan pada waktu juga karena waktu tidak bisa ditipu dan tidak pula bisa diajak berkmpromi untuk berkolusi. Buat orang-orang yang berpikir bahwa segala kejahatan dan pelanggaran dapat disimpan dan ditutup di depan manusia lain, akan tetapi tidak akan dapat ditutup di depan waktu. Waktu akan tahu apapun kelakuan bejat manusia yang dirahasiakan pada manusia lain. Artinya waktu akan membukanya pada suatu waktu nanti.
Berapa lama –umpamanya– seorang pejabat melakukan tindakan melawan hukum secara diam-diam (merasa manusia lain tidak tahu) tetapi pasti suatu waktu nanti rahasia kejahatannya itu akan terbongkar. Itulah maksudnya waktu akan membuka semua kebobrokan manusia yang secara sadar berusaha menutupnya di mata orang lain.
Marilah sedikit ‘mengulang-lihat’ beberapa peristiwa yang pada awalnya tidak pernah diduga akan dibuka oleh waktu. Berapa lama Hitler membungkam masyarakatnya dengan tangan besinya yang membuat dia seolah-olah tidak melakukan kesalahan. Nyatanya waktu menunjukkan kalau tindakannya itu salah. Akhirnya hancurlah dia.
Lihat pula para tokoh dan pemimpin yang mungkin pada mulanya tidak melakukan kesalahan namun di tengah jalan menyeleweng karena godaan jabatan, akhirnya waktu membongkar juga kejahatannya. Berapa lama Musolini, Marcos atau presiden kita –Suharto– berkuasa? Karena menurut rakyat jalannya rezim mereka sudah jauh dari kebenaran yang diinginkan rakyat itu sendiri tapi mereka masih juga menutup-nutupinya di mata rakyat, akhirnya waktulah yang membongkar kekeliruan mereka. Waktu memang tidak bisa ditipu.
Kalau begitu, rasa takut pada waktu adalah cara yang baik untuk terus-menerus menginstrospeksi diri, adakah kekeliruan, kejahatan atau pelanggaran hukum yang secara sadar telah kita lakukan. Jangan lagi pernah berpikir bahwa kejahatan yang sengaja ditutup itu akan mampu terus ditutup. Percayalah, waktu akan mencatat dan akan memberi tahu apapun yang dilakukan. (Semoga berguna, sekedar renungan) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar