Hari kelima yasinan di rumah
almarhum Wak Din, Safro terus hadir. Tiap malam sejak malam pertama
kematian Wak Din Safro hadir. Dia duluan hadir di rumah duka. Sebelum isya dia
sudah datang. Salat isyanya juga di rumah duka. Dilayani oleh Aisyah, isteri
Wak Din ketika Safro minta sajadah, misalnya. Janda tanpa anak itu ditemani
adiknya sejak lima hari ini. Biasanya adiknya tinggal bersama kedua orang
tuanya di kampung sebelah.
“Tina, Abang duluan ke sana, ya? Isya di sana aja. Nanti selepas
isya kan yasinan lagi untuk almarhum, Wak Din.” Safro bergegas keluar rumah dan
menghidupkan mesin motor mio tuanya. Di tengah perjalanan Safro menghayal kalau
yasinan seharusnya tidak hanya tujuh hari. Harusnya lebih. Sepuluh hari,
misalnya. Sementara Tina di rumah juga menghayal dan bertanya dalam hatinya,
mengapa Bang Safro rajin betul pergi yasinan sejak kematian Wak Din? Tina malah
curiga, jangan-jangan Bang Safro kecantol sama janda muda itu? Tina tidak
mengucapkan itu di mulut.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar