Kamis, 19 Oktober 2017

Dalam Kekurangan Aku Melakukan (12)

TIADA manusia yang tiada bersalah dan tiada manusia yang bisa mengklaim dirinya tiada berdosa. Pernyataan itu benar  adanya karena agama sudah menjelaskannya. Tapi sebaik-baik manusia bersalah adalah manusia yang mau dan bisa berubah dari kesalahannya. Itulah lanjutan pernyataan itu. Tegasnya, manusia bersalah yang baik itu adalah manusia yang mau berubah dari kesalahan kepada ketidaksalahan alias bertobat.
Kita tahu atau sudah diberi tahu itu, sesungguhnya adalah pernyataan dalam sebuah hadits sohih yang selalu disampaikan para guru atau disampaikan para ustaz kepada kita sejak bertahun-tahun. Peringatan sekaligus nasihat itu mengingatkan dan menginginkan agar kita tidak larut dalam kesalahan. Bahwa setiap kita bersalah, ya. Tapi setiap kita harus sadar segera dan beranjaklah meninggalkan kesalahan kita. Itulah esensi nasihat itu.

Dalam catatan ini saya ingin menganalogikan pernyataan nabi itu dalam kenyataan hidup --khususnya kehidupann pribadi saya-- dengan kalimat begini, 'Tiada Manusia yang Tiada Berkekurangan' dalam arti bahwa manusia, selain memiliki kelebihan-kelebihan pasti pula ada kekurangan-kekurangannya. Ini pun sudah umum dan lazim dipahami orang ramai.

Lanjutannya, sebaik-baik kekurangan adalah jika kekurangan itu memotivasinya untuk berubah menjadi berkecukupan. Bukankah Tuhan akan mencukupkan kebutuhan kita jika kita mengusahakannya? Kalaupun tidak semua keinginan Tuhan berikan, namun pastilah semua kebutuhan Dia berikan. Tidak ada sesuatu yang diciptakan Tuhan kecuali ssudah disiapkan kebutuhan dan rezekinya.

Lebih jauh kita tahu bahwa dalam kelebihan yang Tuhan berikan selalu pula ada kekurangan yang kita rasakan. Itulah manusia, tidak mungkin menjadi makhluk (cipataan) sempurna berbanding Tuhan Sang Pencipta itu sendiri. Selalu akan ada kekurangan dan kelemahn meskipun begitu banyak kelebihan dan kehebatan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sendiri adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling baik di antara ciptaan-Nya yang lain. Tapi itu tidak menapikan bahwa manusia juga pasti ada kekurangannya. Dari kekurangan itu pula akan timbul kesadaran.

Bagi saya secara pribadi merasa dan melihat betapa banyaknya kekurangan diri saya di hadapan Tuhan atau mungkin juga di hadapan manusia lainnya. Tapi bukanlah perasaan dan kenyataan kekurangan itu menjadikan putus asa dalam menjalankan hidup dan kehidupan. Secara pisik, ya pisik saya, sesungguhnya ada satu kekurangan dari saya, bahkan jika dibandingkan dengan orang lain secara pisik juga.

Kekurangan itulah yang pada bagian ini ingin saya jelaskan. Meskipu dalam kehidupan sehari-hari saya tidak pernah sengaja menutup kekurangan itu, tapi saya duga betapa banyak teman-teman lain yang tidak mengetahui kekurangan pisik saya itu. Saya merasa perlu menuliskan pada halaman ini yang boleh jadi itu sebagai motivasi sendiri buat saya dan buat pembaca lain untuk tetap berbuat dalam kekurangan yang ada pada diri kita. Maksud saya, pada diri saya.

Selain merasa kekurangan di bidang ekonomi (mak-ayah adalah orang desa yang topangan ekonominya serabutan saja) saya juga merasa kekurangan di bidang ilmu pengetahuan ketika dulu, di awal saya mengerti sekolah atau pentingnya belajar di kampung. Dengan tamat Sekolag Dasar (kebanyakan teman-teman saya hanya tamat SD pada tahun-tahun 1970-an itu) tentu saja begitu minimnya ilmu saya, saat itu. Maka saya ingin melanjutkan ke sekolah lebih tinggi walaupun sebenarnya orang tua mungkin tidak akan mampu membiayainya, setamat saya dari SD itu. Dan dari beberapa kekurangan itu, yang saya ingin tulis dan jelaskan di sini adalah tentang kurangnya jari tengah tangan kanan saya sejak saya menjelang menamatkan SD tahun 1971/1972 itu. Musibah itu telah merenggut satu ruas dari jari tengah tangan saya.

Catatan berikut ini berisi tentang kurangnya salah satu jari tangan kanan saya (jari tengah) karena terjepit dan tergiling mesin penggilngan tebu  tradisional ketika masih di SD. Itu terjadi sekitar tahun 1971 akhir itu. Saya ingat, menjelang esok hari akan berlangsungnya ujian akhir sekolah (semacam Ujian Nasional) waktu itu, Ahad malam, saya mendapat musibah.

Kejadiannya? Saya ingat, ketika saya mencoba memberi minyak dengan tangan kanan saya ke kayu penggiling tebu itu, saya lalai dan tangan saya terjepit. Saya memekik, membuat orang yang sedang mendorong batang pinang --kayu pemutar alat penggiling tebu-- menghentikan dorongannya. Tangan saya hancur bagian ujungnya. Lalu dibawa ke rumah ibu bidan (saya tak tahu mengapa tidak ke rumah dokter) di kampung Tanjuungbelit. Andai saja, ya andai saja para pengilang --yang mendorong batang pinang penggilingan-- tebu malam itu tidak menahan lajunya gilingan tebu, sudah pasti tangan saya akn hancur lebih banyak lagi.

Setelah dari rumah ibu itu, tiga jari tengah tangan kanan saya diverban, saya waktu itu berkesimpulan dalam hati bahwa tiga jari saya itu sudah putus. Karena kata ayah saya waktu pergi berobat malam itu, bahwa tangan saya sudah hancur. Saya memang tidak melihat karena sejak dibawa ke rumah ibu Ana, seorang bidan di Tanjungbelit, Airtiris, itu saya tidak melihat lagi tangan saya karena ditutup oleh yang membawa saya. Yang saya tahu tangan saya sangat sakit. Kesimpulan saya waktu itu, saya tidak akan bisa melanjutkan sekolah atau tidak akan bisa juga mengulang lagi karena merasa tidak akan bisa menulis. Saya berpikir tidak akan bisa menulis karena dua-tiga jari tangan kanan saya rusak. Bagaimana saya memegang pena kalau tiga jari saya sudah rusak? Besok Senin sesungguhnya adalah ujian penentuan lulus atau tidaknya kami di kelas akhir SD, waktu itu.

Belakangan ternyata jari tangan kanan saya yang benar-benar rusak hanyalah jari tengah saja. Tangan kanan? Ya, tangan kanan yang selama ini dipakai untuk beraktivitas, termasuk tulis-menulis. Meski tangan kanan, tetap ada rasa senang setelah tahu bahwa yang rusak hanya salah satu jarinya saja. Tapi di awal sembuh, saya juga berkesimpulan tidak akan bisa menulis lagi mengingat jari tengah itu adalah tempat menyanggah pena atau pensil bersama dua jari (telunjuk dan ampu jari) ketika menulis. Itu berarti saya tidak akan bisa melanjutkan sekolah sebagaimana yang sudah dicita-citakan. Begitulah pikiran waktu itu. Inilah kekurangan yang benar-benar terasa memukul perasaan saya.

Walaupun jari tangan saya sudah sembuh, dan saya berkeinginan bertanya, apakah saya dapat ujian ulangan (susulan) karena saya belum mengikuti ujian akhir SD itu, ternyata oleh sekolah saya dianggap sudah lulus SD. Jadi, tidak harus ikut ujian? Begitulah yang saya terima penjelasan dari Kepala Sekolah, Pak Saidina Umar. Bahkan saya ditawarkan melanjutkan sekolah ke salah satu sekolah terbaik waktu itu oleh Pak Saidi (begitu kami memanggil bapak itu). Saya tidak tahu apa pertimbangannya memberikan kebijakan begitu kepada saya.

Ketika Kepala Sekolah (SD) saya menawarkan melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Airtiris, sekolah yang menjadi rebutan anak-anak se-Desa Airtiris selama ini, saya menolak. Pertama karena merasa tidak akan bisa menulis (pada waktu itu) dan alasan lainnya saya merasa khawatir tidak akan mampu secara ekonomi melanjutkan ke situ. Saya tahu itu sekolah favorit yang imejnya sekolah orang-orang 'berduit'. Yang ketiga, dan alasan penting saya adalah bahwa saya sebenarnya ingin melanjutkan sekolah ke sekolah agama kaena citac-cita saya ingin sekolah ke Arab sana. Ini juga disebabkan termotivasi oleh Pak Sutan (guru di daerah saya) yang kuliah di Mesir. Lalu saya mencoba belajar menulis dengan jari tengah yang sudah kudung itu agar saya bisa melanjutkan ke sekolah agama nantinya. 

Ternyata bisa menulis, cetus saya dalam hati di suatu hari. Lalu saya memutuskan untuk melanjutkan sekolah ke PGA Rumbio --sebuah desa seperti desa Airtiris dalam kecamatan Kampar, waktu itu-- yang kebetulan salah seorang gurunya adalah 'mamak' (paman) saya, Datuk Salam yang rumahnya berdekatan dengan rumah orang tua saya itulah harapan saya untuk mendapat bantuan dalam melanjutkan pendidikan. Mengapa Pak Salam? Karena di awal saya masuk seolah, dialah yang membonceng saya pulang-pergi ke dan dari rumah ke sekolah. Dia juga yang mendaftarkan saya di sekolah agama ini dan dialah wali saya dalam melanjutkan pendidikan setelah resmi boleh melanjutkan.

Bagi saya, kekurangan mutlak yang sesungguhnya itu adalah kekurangan secara pisik itu. Jari tengah kanan yang satu ruas 'hilang' itu membuat saya sebenarnya sangat minder dalam kehidupan saya. Tapi, alhamdulillah, keinginan yang kuat untuk melanjutkan pendidikan membuat saya memasang tekad bahwa dalam kekurangan itu saya harus tetap melakukan dan mengusahakan apa yang saya inginkan. Itulah saya menajdi seperti sekarang ini.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...