DUA ekor kupu-kupu melintas, mengganggu
lamunannya. Namun dia tetap duduk di situ. Sebuah bola susu 40 watt menyala di
atas kepalanya. Dia melirik ke atas. Lalu kembali menatap jauh. Pasangan
kupu-kupu itu masih menari di depannya. Mungkin mencari tempat tidur.
“Hmmm…
kalau saja aku seperti dia,” gadis itu mendesah. Kupu-kupu itu hinggap
berdampingan.
Sedetik
kemudian, gadis itu beranjak meninggalkan teras rumahnya. Baru beberapa
langkah, dia dicegat Kelly, adik angkatnya.
“Dari
mana, Kak? Pasti habis melamun lagi. Membayangkan ….. hmmm….. itu… membayangkan
itu tuh.” goda
Kelly, manja.
Kelly, manja.
“Husy.
Nggak usah ngeledek. Itu tuh, apaan?”
“Nah,
kaan… biasanya selalu begitu. Kalau lagi titik-titik sama dia pasti kita bakal
kena getahnya.” Kelly terus mengikuti langkah Willy.
“Kenapa
sih, Kak Wil sekarang sering mbrungut-brungut,
menung melamun? Ada apa, ya?”
Willy
berbalik menatap lekat-lekat adiknya. Tak ada suara.
“Kenapa
sih, Kak?” Kelly tampak penasaran.
“Hei
adikku yang manis, coba tanya yang lain, kenapa? Ini sudah magrib, kan? Sudah
solat, belum? Bertanyanya macam-macam saja.” Willy meneruskan langkahnya.
“Oh ya,
sorri deh kakak sayang. Tapi kakak juga belum magrib, kan?” Willy tidak menjawab. Dia terus ke
belakang, mengambil wudhuk.
***
LAMA Willy termenung sehabis
menunaikan kewajiban magrib itu. Dia sebenarnya telah selesai berdoa beberapa
menit lalu. Tapi telekungnya belum ia tanggalkan. Dia amsih bersimpuh di atas
sajadah. Beban kepalanya terasa kian berat.
Tiba-tiba matanya terantuk ke lukisan
itu. Hatinya semakin berdarah. Dia ingin menangis, menumpahkan nanah luka di
jantungnya yang telah lama terpendam. Dia ingin menghancurkan saja
lukisan potret dirinya itu. Tapi ah …
“Kamu
benar-benar jahat, Wil.”
Kata-kata
itu terngiang kembali. Siang tadi dia dimarahi Fadhli, abang sepupunya.
“Tidak
pernah Abang menduga akan Wiwil begitukan dia.”
Willy
tidak bersuara. Hanya matanya berkaca-kaca. Bening sekali.
“Baru
berapa bulan saja dia pergi, ternyata Wiwil telah lakukan itu. Apa itu namanya
tidak jahat? Kejam.” Fadhli menggigit giginya hingga menimbulkan bunyi.
Willy
merasa ada bara di telinganya.
“Tapi…”
Willy menggigit bibir atas. Suaranya tidak mampu ia keluarkan. Rasanya berat
sekali bibir itu diangkat.
“Dan
lelaki itu adalah temannya sendiri. Kemana ini Wiwil, ha?” Fadhli mengetuk
keningnya beberapa kali. Dia marah sekali.
“Abang…” Willy rasanya ingin
menjerit. Tapi itu tidak mungkin. Di sebelah adalah ruangan majelis
guru. Dan di balik ruang UKS itu adalah ruangan kelas. Kelas tiga B tengah
belajar. Kalau saja Fadhli memarahinya di rumah, dia tentu akan menangis.
Menumpahkan isi dadanya.
“Sudah
berapa lama Wiwil pacaran dengannya?”
Wiwil
tidak dapat menjelaskannya. Dia benar-benar sedih, sedangkan kedua orang tua
serta abang-abangnya tidak pernah bersuara tinggi kepadanya. Apalagi membentak
seperti yang dilakukan Fadhli.
“Jawab.
Sudah berapa lama.” Fadhli menatap lebih tajam.
Willy
merasa semakin kecil dihardik begitu. Wajarkah Bang Fadhli mempermalukan aku
begini? Dia merasa kehilangan harga diri. Dia juga ingin meludahi
muka Fadhli. Tapi itu tak mungkin. Fadhli adalah abang sepupu yang lebih dihormatinya selama ini dari pada
abangnya sendiri.
“Sudah
empat bulan,” dia berhasil sedikit melapangkan dadanya.
“Ha?
Jadi waktu Tedy datang sebentar itu, dan Wiwil masih lengket macam lintah
dengannya, ternyata Wiwil telah menjalin hubungan baru pula dengan guru
Matematika itu?” Fadhli semakin marah. Dia seperti akan menelan bulat-bulat
adik sepupunya itu.
“Tak
kusangka. Benar-benar keterluan. Wanita yang begitu baik abang kenal.
Jujur dan lembut. Bahkan Tedy sendiri memuji selangit. Ternyata tak lebih dari
seorang wanita bermata keranjang. Wanita yang begitu gampang menjajakan cinta.
Wanita…”
“Abang,
Wiwil…” Willy tidak mampu lagi menahan tangis. Kedua pipinya yang mulus itu kini basah. Jeritan
tangisnya tenggelam di balik sesunggukan yang tampak susah sekali ia tahan.
Celaknya, dia tak mampu menjelaskan keangkuhan dan kelicikan Tedy. Dia tidak
bisa menjelaskan apa yang telah terjadi sebulan sebelum Tedy berangkat ke
Tanjungpinang itu.
Fadhli hanya tahu bahwa Tedy adalah
pacar Willy. Hubungan mereka telah berlangsung, hampir setahun, sejak Willy
Sayekti bertugas di SMP tempat Fadhli dan Tedy mengajar.
Fadhli
juga tahu kalau kedua orang tua Willy telah merestui hubungan mereka. Bahkan kedua orang tua Willy amat
bangga karena anak gadis satu-satunya itu kembali menemukan hidupnya setelah
mengurung diri begitu lama. Dua tahun lalu Willy mengalami gangguan pikiran
ketika Suroso kekasihnya yang dua bulan lagi menggondol Sarjana FAPERI UNRI
mengalami kecelakaan dalam acara Pacu Jalur di Taluk Kuantan. Willy benar-benar
terpukul oleh kepergian Suroso yang telah berjanji menikahinya sehabis wisuda. Nyatanya
dia pergi untuk selamanya.
Sejak itu hati Willy benar-benar
membatu. Tak seorang pun bisa mendekatinya, sampai Tedy akhirnya mampu
mencairkan gunung batu itu. Kedua orang tua Willy pun sangat bangga. Anak
gadisnya kembali hidup.
Willy
adalah anak manja keluarga Pak Mirta dan Bu Sari. Dia mempunyai tiga orang abang dan
dua adik yang semua laki-laki. Dan untuk teman Willy, Pak Mirta mengambil anak
Pak Manaf (saudara Pak Mirta yang tinggal di desa) sebagai anak angkat. Willy
begitu senang mempunyai adik angkat seorang wanita yang juga cantik seperti dia.
“Wiwil…”
Willy tersentak. Dia menatap Fadhli.
Matanya seperti mata anak kecil yang sedang ketakutan. Di mata bening itu
seperti tersimpan seribu rahasia. Rahasia yang sangat menyiksanya. Sayang, Abang tidak memahami ini
semua, jerit Willy di hatinya.
“Wil,
ini hanya demi Wiwil sendiri. Abang marah sebenarnya karena sayang.
Wiwil kan adik Abang. Tedy juga teman Abang. Abang tahu persis siapa dia. Abang
tak bisa menerima kenyataan perlakuan Wiwil terhadap teman Abang sendiri. Abang
jadi begitu emosi,” suara Fadhli sedikit agak rendah.
Willy
masih bisu. Dia ingin sekali menjelaskan sesungguhnya antara dia dan Tedy sudah
tidak ada apa-apa sejak September tahun lalu. Hampir enam bulan berlalu. Tedy
telah menghancurkan segala harapannya. Tedy telah menyia-nyiakan cinta suci
yang ia berikan. Bahkan Tedy telah dengan sengaja menyiksa bathinnya.
Willy juga ingin menerangkan
sesungguhnya teman Fadhli itu adalah lelaki tak bertanggung jawab. Lelaki
licik yang sok alim, sok berwibawa; tapi bertingkah macam iblis. Dia hanya
pintar bermain lidah. Hati Willy terasa geram sekali berpikir begitu.
“Abang
tahu betul dengan sifat Tedy. Dia teman Abang selama hampir tiga
tahun.” Fadhli memecah kebungkaman di antara mereka.
“Sebelum
Wiwil di sini, dialah satu-satunya guru yang paling Abang kagumi. Bertanggung
jawab dan dipercaya Kepala Sekolah. Abang senang kalau kalian bisa saling
mengerti.” Fadhli berjalan beberapa
langkah.
“Tapi…” suaranya
masih saja tersekat. Dia menderita sekali, mengapa dia tak sanggup
menerangkan yang sebenarnya kepada Fadhli.
Beberapa
saat hening.
Fadhli
mencampakkan pandangan jauh ke luar sana lewat kaca nako yang terbuka.
“Wil,
coba ingat perpisahan tempo hari. Semua guru, termasuk Kepala Sekolah hadir.
Semua yang hadir begitu haru melepas kepergian Tedy. Kami semua hampir
meneteskan air mata ketika dia memberi sambutan perpisahannya. Sayang,
sayang… kamu tak hadir waktu itu.”
Wally
tetap bisu sambil telunjuknya menggarut-garut sandaran kursi yang dijadikannya
penyanggah dagunya.
“Ándai
saja Wiwil datang dan hadir. Tahulah Wiwil siapa dia.” Fadhli kembali
melemparkan pandangan jauh.
“Wiwil
sudah tahu dia, Bang.” Willy memaksakan mengucapkan kalimat itu.
Fadhli
masih melihat jauh ke depan sana. Mugkin dia tidak mendengar ucapan adiknya
yang sejak tadi hanya seperti anak kecil yang belum bisa berbicara.
Di luar,
panas semakin menyengat. Ruangan UKS yang kecil dan sempit itu terasa semakin
pengab. Dan Willy merasakan lebih dari itu semua. Kulitnya bagai diiris-iris
pisau berkarat.
“Ah,
kalau saja Willy tahu dia… mungkin Willy tidak akan melakukan itu semua.”
Willy
tetap tidak bisa bersuara. Sesekali sesunggukannya masih terdengar. Dia merasa
apa yang diucapkan Fadhli sejak tadi bertentangan dengan apa yang ia rasakan.
Berlawanan dengan kenyataan.
“Abang
yakin, sekarang dia tetap merindukan Wiwil. Tapi sayang…
Wiwil telah mengkhianatinya di sini. Kalau saja dia tahu, tentu hatinya sedih
sekali.” Fadhli melangkah meninggalkan ruangan itu bersamaan dengan berdentangnya
lonceng panjang pertanda jam terakhir
telah usai.
Willy
berusaha bangkit sambil mengusap matanya yang masih terasa basah. Betapa beratnya
ia rasakan tubuhnya. Semua persendian terasa pegal. Ingin rasanya dia berbaring
di kasur ruangan UKS itu. Tapi khawatir dilihat murid atau guru lain. Dia
memaksakan diri untuk tegak.
“Tik…
tik… tik …” willy kaget, ketika ada suara ketukan pintu kamarnya. Rupanya dia
melamun begitu jauh. Cepat-cepat diusapnya matanya yang benar-benar basah.
“Kak
Wiwil.”
Itu
suara Kelly, pikirnya. Dia berusaha menetralkan pikirannya.
“Duh
minta apa, Kak. Begitu panjang doanya,” Kelly mendekati. “Minta apa sama Tuhan,
Kak? Tuh, mama dan papa dari tadi tanya Kakak.”
“Kelly
bilang apa?”
“Bilang
sholat.”sambil tersipu.
“Bagus.
Terima kasih, adikku.” Terasa badannya letih sekali.
“Papa di
mana?” tanya Willy sambil melipat mukena.
“Di
depan.”
Willy
keluar setelah menatap kaca seukuran badan di kamar itu beberapa detik. Kelly
mengikutinya.
***
BERBAGAI
perasaan bergejolak di hati Willy. Dia menganggap tindakannya mendekati dan
menjalin hubungan dengan Trismi, si jangkung, guru Matematika itu adalah baik. Setidaknya
menurut penilaiannya. Dia tidak ingin luka lama berdarah lagi. Dia tidak ingin
terus hanyut di laut air mata berkepanjangan. Tedy telah menghancurkan hatinya
untuk kedua kalinya.
Namun di
sisi lain, atas sikapnya yang selalu menutupi diri telah membuat dirinya
dimarahi Fadhli. Dia tidak pernah bercerita bahwa dia tidak lagi mempunyai
hubungan apa-apa dengan Tedy. Tedy telah dengan sengaja meninggalkannya. Hanya
sikapnya saja yang tidak banyak berubah. Bahkan keberangkatan Tedy ke
Tanjungpinang untuk bertugas di salah satu SMP di sana dia tanggapi dengan
wajar-wajar saja, setelah pasti Tedy dia anggap meninggalkannya.
Padahal
jauh di lubuk hatinya yang paling dalam tersembunyi rasa benci yang mulai
dirasakannya sejak beberapa waktu lalu. Waktu itu Tedy sudah positif akan
pindah ke Tanjungpinang. Willy tentu gelisah mendengar berita itu. Hubungannya
yang telah hampir setahun tentu bakal goncang. Dia tentu akan malu kepada
murid-muridnya yang setiap hari selalu mengejeknya sebagai ‘mama T’, ejekan
yang semakin populer di lingkungan sekolah itu. Kalau Tedy absen mereka akan
bertanya kepada Willy.
Kini
Tedy akan berangkat meninggalkan Pekanbaru. Pikiran Willy selalu tak menentu
sebelum ada kepastian dari Tedy. Tedy sendiri setiap kali ditanya. Willy hanya
merasa mendapatkan jawaban yang membingungkan.
“Di sini
atau di sana, rasanya sama saja, Wil” Begitu jelas Tedy suatu hari, ketika
Wiwil menanyakan kepergian Tedy.
”Itu
bagi orang yang pergi. Bagi yang tinggal?” ada gambaran rasa takut di wajah
mungil itu.
“Wiwil
takut?”
Pertanyaan
konyol, kata Willy dalam hatinya.
“Kita
tidak perlu hilang harapan, Wil. Kata orang tua-tua, jatah pipit tak ‘kan
dimakan enggang. Jadi kenapa mesti
risau?”
Jawaban begini sudah terlalu sering
diucapkan Tedy. Pepatah petitih dan filsafat yang diucapkan Tedy membuat
hati Willy muak saja. Filsafat licik, jeritnya di hatinya.
“Kita
sudah dewasa.” Datar saja suara itu.
“Ya, dan
saya yakin sekali kalau Wiwil itu bersikap dewasa. Memahami bahwa apa-apa yang
kita alami ini, ada hikmahnya, nanti.”
“Oo…
jadi Wiwil rupanya belum…”
“Op
bukan. Bukan,” Tedy memotong kalimat itu.”Saya tidak menuduh demikian,”
suaranya yang bariton rada-rada bas membuatnya terkesan tambah angkuh.
Sejenak
hening. Rasa muak Willy datang lagi. Jawab yang didengarnya malah kian
menjengkelkan hatinya.
“Saya
ingin Wiwil mengerti.”
“Yah,
saya mengerti,” sambil berusaha untuk pergi.
“Nah
merajuk kan?” Tedy memotong dari depan. Mata mereka saling beradu.”Jangan
begitu. Kita bicara dulu, biar sama-sama puas.”
“Aku
sudah lebih dari puas. Aku mau pulang.”
Kali ini
Tedy tidak menahannya.
Di ufuk
barat langit tampak kian jingga. Raja
langit telah berkemas untuk ke peraduannya sejak beberapa menit lalu.
***
SEJAK sore
itu benih-benih benci kian subur di hati Willy. Hanya wajahnya yang manis dan
sikapnya yang selalu wajar itulah yang membuat orang tidak pernah tahu apa yang
tersembunyi di balik hatinya. Semua orang hanya tahun bahwa dia pacar Tedy.
Willy yang cantik dan ceria tetap semanis dulu. Murid-muridnya juga tahu kalau
dia adalah calon istri Pak Teddy yang tak lama lagi akan pindah tugas.
Siang
itu, sekali lagi Willy menemui Tedy. Dia berjumpa di sekolah karena kebetulan
Tedy masuk sore. Dari rumah, Willy telah berniat untuk memperoleh jawaban
pasti. Aku harus berani, tekadnya. Jika dia tak mau, aku harus menentukannya
sendiri.
“Hai…
Wil, sesiang begini? Ada apa?”
Willy
menatap lebih tajam dari pada biasanya. Sebenarnya dia kaget ditegur begitu.
Namun dia berusaha untuk menguasai dirinya.
“Ada
jam?” Willy mengambil inisiatif bertanya.
Tedy
hanya tersenyum. Senyum yang memuakkan hati, jerit Willy.
“Saya
ingin bertemu.”
“Lha,
ini kan sudah bertemu. Bertemu sama siapa?”
“Aku
ingin bicara empat mata.” Willy sekuat tenaga mengendalikan emosinya.
“Hmmm?
Ini nyindir apa ngejek? Mentang-mentang mata saya sudah empat,” Tedy terbahak
menggoda sambil membuka kaca mata minusnya.
“Saya
serius. Saya mohon waktu. Sebentar saja cukup.”
Tedy
masih setengah bercanda.
“Saya
tidak ingin bergurau.”
Tedy
mengernyitkan keningnya. “Ee… ngomong-ngomong ada apa, Wil? Tampaknya serius
amat nih.”
Diam
sebentar. Lalu, “saya ingin bicara. Bedua saja!”
“Berdua?
Berdua di mana?”
“Di mana
saja. Di sini terlalu ramai.”
“Kalau
di sini saja?”
“Saya harap
kita ada waktu untuk bicara. Mungkin untuk yang terakhir.”
Wajah
Tedy tampak agak serius. “Ada apa, Wil. Kamu bercanda, apa…”
”Saya
tidak main-main. Saya mohon kali ini saya diberi waktu. Kemarin janji datang ke
rumah, tapi tak datang. Katanya pulang ke Bangkinang. Hari ini
saya ingin bicara di mana saja. Asal berdua.”
Sejenak Tedy menatap Willy penuh
heran. Tedy bingung. Dalam waktu yang sama dia juga kagum. Willy tiba-tiba
tampak berani. Sifat pendiam dan penurut yang telah dihafal Tedy selama ini tak
ada. Tedy juga tiba-tiba membayangkan catatan-catatan manis mereka. Dia
teringat ketika untuk pertama kali dia mengecup pipi Willy. Tedy rindu kembali
pada Willy yang merajuk. Atau Willy yang suka ngambek kalau lupa mencium satu
hari saja. Ah Willy, kok wajahmu hari ini, kelihatannya angker sekali.
“Bagaimana? Bisa ‘kan?”
“O ya, ya. Baiklah. Tunggu sebentar
aku ambil motor,” sambil melangkah ke arah tempat parkir.
Dua menit kemudian, “Kita bicara di
mana?”
Willy tidak
menjawab.
“Ayo, kita cari tempat yang bagus.”
Lalu keduanya menghidupkan mesin kenderaan masing-masing, dan berjalan
meninggalkan tempat itu.
Di
sepanjang jalan keduanya seperti belum saling kenal. Keduanya terpaut oleh
pikiran masing-masing. Keduanya tetap saja memandang jauh ke ujung sana. Entah
kemana, hanya mereka yang tahu.
“Di sini
saja.” Tedy menawarkan bangku panjang di bawah pokok akasia sebelah timur
Gereja HKBP. “Kamu keberatan?”
Willy tidak membri jawaban. Hanya
karena Tedy sudah terlebih dahulu berheti dan duduk di bangku itu, dia pun
mengikutinya.
“Jalan
ini memang agak sepi. Wiwil
takut?”
Belum ada reaksi.
“Silakan. Barangkali ada cerita
baru?”
Willy berusaha mengumpulkan tenaganya
yang tiba-tiba terasa drop. Puncak gereja itu dia lihat bergoyang. Tapi Wiwil
berusaha menguatkan hatinya.
“Ayo,”sergah Tedy melihat Willy
melamun. “Kok termenung?”
“Hmm…”
berat sekali tampaknya dia mengeluarkan suara.
Hening
sejenak.
“Wil
ingin Bapak itu bersikap jujur dan terus terang, Pak.” Sejak kejadian sore hari
tiga bulan itu, inilah baru kembali Willy menyapa Tedy dengan sebutan ‘Bapak’.
Dulu, ketika hubungan mereka belum terusik oleh berita kepindahan Tedy, Willy
telah membiasakan memanggil Tedy dengan panggilan abang. Tedy tampaknya juga
lebih suka dipanggil Bapak dari pada sebutan lain. Mungkin karena sama-sama
guru.
“Rasanya
semakin dalam jurang yang kita gali ini, Pak. Wil takut, nanti akhirnya Wil
sendiri yang akan tenggelam.” Willy menelan ludahnya yang terasa
pahit. Kerongkongannya terasa tersekat.
Wah,
wah, wah… dia benar-benar berubah. Bicaranya juga begitu lancar. Tedy tampak
masih terperangah.
“Wil tak
bermaksud agar Bapak mengubah perinsip. Yang Wil tidak bisa terima sikap
tak pasti itu saja. Wil tak mau didera begitu lama.” Willy berusaha menahan
kesedihan. Dia tak ingin sampai terbawa perasaan.
“Willy
bimbang dengan hubungan kita ini?”
“Wil
percaya, Bapak telah dewasa untuk memahami ini semua.”
Tedy
merasa terpukul dengan kalimat itu.”Tapi Wil juga telah memahaminya, kan?
Rasanya tidak baik kita berbuat di luar batas kemampuan kita, Wil.” Tiba-tiba
lelaki yang biasanya humoris itu berbicara serius.
“Jadi,
kepastian Bapak hanya begitu? Kita biarkan saja gunjingan orang itu buyar di
bawa angin tanpa kepastian?” Suara Willy bercampur aduk antara marah, geram,
sekaligus sedih.”Bapak berangkat, begitu saja?”
“Lalu?”
Willy
merasakan dunia berputar. Seluruh tubuhnya serasa bergoncang. Hatinya terasa
seperti ditusuk jarum. Dia tak tahu lagi, dia sedang berada di mana.
Kini
Tedy yang kelihatan kikuk memangku Willy yang sedang tak siuman. Padahal sudah
sering dia memeluk dan memangku gadis itu. Tedy tak tahu mau berbuat apa.
Dua-duanya sama-sama bagai tak sadar diri.
Tedy
menjadi serba salah. Takut bercampur hiba. Berkali-kali dia coba membangunkan
Willy, tapi tetap tidak bergeming. Badannya tampak lemah sekali. Diusap-usapnya
kening gadis berambut sebahu itu seperti dulu dia juga telah sering mngusap.
Hanya saja perasaannya hari ini tidak sama dengan perasaan yang lalu. Kini Tedy
dalam keadaan khawatir dan takut. Takut terjadi apa-apa pada gadis manja itu.
Dua
puluh menit berikutnya, Willy terkejut ketika dia sadar dia tengah berbaring di
pangkuan Tedy. Hatinya bercampur antara malu dan marah. Dia coba menguatkan
badannya untuk duduk. Larangan Tedy tidak dihiraukannya. Rasa muaknya memuncak
seketika. Meskipun dia teringat kembali masa-masa manis, ketika dia sering
terbaring manja di paha lelaki berkumis tipis itu tapi itu tak membuatnya
tertahan untuk berdiri.
“Aku mau
pulang. Selamat, dan semoga bahagia di sana.” Dia memaksakan tenaganya
menghidupkan mesin vespa merah hati itu.
“Tunggu,
Wil. Kamu belum kuat.” Tedy berusaha mencegatnya.
“Tak
usah. Wil bisa,” tampak matanya agak sembab.
Kali
ini, Tedy tidak menahannya. Lalu Willy meninggalkan tempat itu. Tedy menatap
punggung gadis itu sampai hilang di tikungan samping kantor telkom.
Dengan
lesu, Tedy pun beranjak dari situ.
***
HAMPIR
setiap sore Willy Sayekti bermenung seorang diri. Seperti sore ini ia duduk
sendiri memperhatikan lukisan hitam putih, potret dirinya. Di sudut kanan
bagian bawah lukisan berukuran 50 x 75 cm tertulis jelas ‘Aku mencitainya. Ty’.
Kata yang singkat, tapi selalu menganggu. Hh… dia mengeluh
Di awal
percekcokannya dengan Tedy lukisan yang dibingkai rapi dengan kayu berwarna
emas itu nyaris menemui ajal. Willy waktu itu tak sanggup lagi menahan
perasaannya. Dia ingin melupakan Tedy, namun selalu tak bisa. Setiap kali
matanya tertumbuk ke lukisan itu setiap itu pula bayangan Tedy menari di
kepalanya.
Satu-satunya
jalan, lukisan itu harus kuhancurkan, katanya. Mendadak timbul sesalnya,
mengapa dulu dia minta Tedy, guru Kesenian itu melukis foto dirinya. Kini Tedy
telah pergi. Hanya bayangannya yang selalu memenuhi kamarnya. Tubuhnya yang
atletis, kumisnya yang selalu rapi, penampilannya yang selalu tampak dewasa,
lentingan jarinya ketika mmetik gitar; semuanya selalu terbayang. Dan senyumnya
itu… uh, Willy geli sendiri memikirkan itu semua.
“Heh,
sedang apa tuh, Wil?” Diam-diam, mamanya masuk.
Willy
hampir saja terperanjat. Padahal suara mamanya itu lembut sekali. Suara seorang
ibu kepada anak kesayangannya.
“Ng…
nggak, Ma. Anu, lukisan ini… “
“Mengapa
dengan lukisan itu?” Bu Sari sebenarnya tahu kalau anaknya gugup. Tapi dia
pura-pura tidak mengetahuinya.
“Lihatlah,
Ma.”
Mamanya
pura-pura melihat lukisan. Lalu, “Kamu memikirkan sesuatu?” Ssrr…
darah Willy berdesir. Tahukah mama? Willy bertanya kepada diri sendiri.
“Tt
… tidak. “ ia menggelengkan kepala.
Pelan. “Hanya melihat saja, Ma. Lukisannya cantik ya, Ma?” Willy berusaha
menutupi perasaanya.
“Hm …
seperti orangnya.” Ibu dari enam anak itu tersenyum renyah.
“Apakah
benar Willy secantik itu, Ma?”
“Uh,
malah lebih. Lebih manis dari pada lukisan itu.”
“Benar,
Ma?”
“Ya
benar. Coba lihat tuh ada kaca.” Bu Sari menunjuk kaca seukuran
badan itu.
Willy
menatap wajahnya di kaca itu. Diusapnya pipinya dengan
lembut. Lalu kembali melirik lukisan itu.
“Nah,
benar, kan?”
Diam
sejenak. Lalu, “Mama suka lukisan itu?”
“Suka.
Mengapa? Sayang, mama tidak tahu pelukisnya.”
Jantung
Willy berdebar seketika. Ingin ia lari dari situ agar mamanya tidak tahu
perasaan hatinya.
“Tapi …
hmmm … tapi, apakah itu perlu, Ma?”
“Yo …
perlu sangat, ya tidak. Hanya Mama mengagumi pelukis itu. Pasti
orangnya berwibawa. Pasti juga bertanggung jawab. Lihat goresannya halus dan
tak acak-acakan.” Bu Sari bagai seorang kritikus seni.
“Mama
menyenangi orang itu?”
“Tentu,
tentu. Mama tentu menyukainya. Dan, kalau saja anak Mama yang cantik ini belum
punya tambatan hati … tuh calon mantu Mama yang namanya Tedy itu lho…”
Hati
Willy terasa teriris lagi. Gadis itu tidak melihatkan reaksi.
“Lalu?”
Ada wajah penasaran di wajah Willy.
“Lalu,
ya … kalau dia sendiri misalnya, dan Wiwil menyukainya … tentu Mama suka dia
datang ke rumah kita. Ah, tapi sudahlah. Tak usah berpikir macam-macam. Kan
sudah ada Pak Guru Kesenian itu.” Ibu yang masih kelihatan cantik itu mencubit
hidung anaknya.
Untuk ke
sekian kali hati Willy tersayat. Kali ini mamanya yang menyayatnya. Oh Mama,
kalau saja Mama tahu pelukis itu adalah Tedy … dan tahu kalau Tedy telah
melumatkan hati anakmu ini, pasti Mama hancurkan lukisan itu. Tapi ah … Mama
sayang, Mama tidak tahu. Willy terus saja menatap lukisan dirinya yang tengah
tersenyum itu.
“Lho,
kenapa? Kok melamun? Atau Wiwil marah sama Mama?”
Willy
tersentak. “Bu …. Bukan. Bukan, Ma.”
“Mama
‘kan cuma bercanda.” Diam sebentar. Lalu, “Mana mungkin Mama ikut campur urusan pribadi begituan. Itu
urusan Wiwil sendiri, kan? Kalau Mama beri saran, biasanya hanya untuk
kebaikan. Ya, misalnya kalau cari teman carilah yang mencintai kita. Kita pun harus
sennag dia.”
Sebenarnya
Willy sangat senang dinasehati begitu oleh orang tuanya. Mamanya memang sering
memberi nasehat, meski tak pernah mendikte. Hanya saja, nasehat Mamanya kali
ini tiba-tiba saja menyakitkan hatinya. Kalau saja bukan Mama, aku akan
protes, katanya dalam hati.
“Tapi
Ma, kalau orangnya tidak kita cintai, tapi suka sama kita?”
“Tergantung
kita. Cinta itu kan
datangnya kemudian. Kalau bisa ya … belajar mencitainya. Asal saja dia memang
cinta sama kita.”
“Apakah
bisa, Ma?”
“Lihat
Mama. Dulu Mama juga tak suka sama Papamu. Hanya nenek dan kakekmu saja yang
setuju. Tapi karena Mama tahu Papamu itu setengah mati mencintai Mama,
sampai-sampai tiap minggu dia kirim hadiah buat Mama, ya akhirnya Mama
menerima. Nah lihat sekarang, kan akur-akur saja. Bahagia juga Mama,” Bu Sari membanggakan
rumah tangganya yang tetap harmonis.
Willy
termenung. Di hati kecilnya ada rasa galau. Kata-kata
Mamanya itu membuat peperangan dahsyat di hatinya. Bayangan Trismi dan Tedy
saling timbul di pelupuk matanya. Trismi Sunarya, guru Matematika itu telah
lama berusaha mengobati hatinya yang luka. Trismi juga dirasakannya lebih
jujur, sampai ia menceritakan luka hatinya yang disebabkan oleh pacarnya yang
berbuat curang. Haruskah aku menerimanya di hatiku?
Sementara
wajah Tedy tidak pernah bisa ia hapus. Apalagi jika Willy melamun di
depan lukisan itu, dia tak mampu menghapus bayangan guru muda yang suka melawak
itu. Dan Fadhli, sampai detik itu tidak pernah mengerti kalau Tedy telah
menghancurkan hatinya. Abang sepupunya itu masih saja menyuruhnya kembali
kepada Tedy.
“Kau
harus melupakan saja Trismui itu, Wil.” Itu kata Fadhli berkali-kali kepadanya.
Sedangkan Tedy sendiri tidak pernah memberi kata pasti kepadanya. Oh Tuhan,
kenapa hukuman seberat ini yang kau timpakan kepadaku? Dosa apakah yang
terlanjur aku lakukan?
“He e
Wil, mengapa?”
Willy
kaget untuk ke sekian kalinya. Sebutir mutiara bergulir, menghangatkan pipinya
yang lembut.
“Menangis
… Wiwil menangis?”
“Nggak,
ehm … nggnggak, Ma.” Willy kali ini tidak mungkin menyimpan luka itu. Ibu setengah
usia itu tampak mengernyitkan keningnya. Bathinnya bertanya-tanya, ada apa
gerangan duka yang menimpa anak manjanya itu.
Senja
telah diselimuti kabut sejak beberapa menit lalu. Di luar gelap
berangsur turun. Di ufuk barat sana, warna merah jingga menyapu langit, membuat
pemandangan di situ indah sekali. Willy masih menatap lukisan yang menyisakan
seribu tanda tanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar