Jumat, 24 Oktober 2014

Hijriyah untuk (Tak) Berbeda

Bulan Sabit: dari Google
KETIKA nabi (Muhammad) meninggalkan tanah kelahirannya, Mekkah menuju Madinah (waktu itu masih Yatsrib), latar belakang utamanya adalah untuk menyelamatkan akidah. Allah 'menyuruh' merantau meninggalkan tanah Qureisy tempat sanak-keluarganya bertempat tinggal, karena ancaman suku Qureisy kepada Muhammad dan para pengikutnya yang sudah tidak berbelas-kasih lagi. Ancaman kematian akan Rasul itu sudah di depan mata.


Di tengah malam yang menakutkan itu, nabi sukses keluar dari kepungan ancaman. Tipuan (muslihat) kaum kafir diatasi Allah dengan muslihat Allah yang lebih hebat. "Muslihat Allah adalah lebih hebat dari pada muslihat apapun jua." Dalam beberapa waktu, sampailah rombongan muhajirin ini ke Madinah. Dan catatan sejarah keberangkatan inilah yang akhirnya menjadi tonggak ditetapkannya awal tahun oleh umat Islam kelak di kemudian hari. Sampai kini, catatan tahun baru hijriyah itu tetap menggunakan perhitungan yang sama. Itulah Tahun Hijryah.

Sesungguhnya keberangkatan Nabi meninggalkan Mekkah adalah untuk dapat mempertahankan perbedaan antara akidah yang sudah disebarluaskan Nabi ke bangsa Arab dengan akidah yang masih dicoba untuk terus dipertahankan oleh suku Qureisy dan suku-suku (kafir) lainnya. Muhammad menyebarkan agama tauhid yang hanya mengakui Allah Yang Maha Esa dan Maha Berkuasa karena memang diperintahkan Allah. Tapi orang-orang Arab saat itu tidak mau begitu saja menerima dakwah Muhammad. Makanya nabi baru itu akan dihabisi bersama pengikutnya.

Usaha untuk mempertahankan perbedaan akidah (umat Islam) dengan akidah yang sudah ada itu tidaklah mudah. Keharusan meninggalkan tanah kelahiran, sejatinya bukanlah pilihan yang mudah. Tidak ada orang yang sebenarnya ingin meninggalkan tanah leluhurnya. Tapi Muhammad, demi mempertahankan akidah Islam yang nyata-nyata berbeda dengan akidah orang-orang Arab waktu itu, dia sanggup meninggalkan keluarga dan kampung halamannya.

Suksesnya Muhammad mempertahankan akidah Islam dan sukses pula menyebarluaskannya hampir ke seluruh permukaan bumi, telah membuat seluruh umat Islam merasa satu. Satu agama, satu cita-cita dalam satu perjuangan. Indonesia dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, sebenarnya menikmati perasaan bersatu dan bersama yang ditautkan oleh akidah ini. Dalam waktu yang sangat lama, sudah timbul di perasaan umat Islam perasaan bersatau dan tidak lagi berbeda, khususnya dalam akidah.

Sayangnya, perkembangan waktu dan kemajuan pemikiran, belakangan ini justeru sesama Islam malah memperlihatkan perbedaan. Dalam menentukan awal bulan di tahun hijriyah, misalnya, tidak jarang terjadi perbedaan yang tajam antara satu komunitas Islam dengan yang lainnya. Perhatikanlah bagaimana sesama Islam tidak bisa mengatakan sama awal bulan di bulan-bulan seperti Ramadhan atau Zulhijjah. Pada bulan Ramadhan sering umat Islam Indonesia berbeda menentukan awal puasa dan akhir puasanya. Di bulan Zulhijjah juga terjadi perbedaan menentukan Idul Adha.

Kini, dengan datangnya tahun baru Hijriyah 1436 (2014) ini, seharusnya menjadi tonggak bagi Umat Islam Indonesia tidak lagi berbeda dalam hal-hal seperti itu. Bagaimanapun, perbedaan seperti itu hanya mencerminkan betapa lemahnya umat Islam di antara umat-umat yang ada di muka bumi ini. Masihkah harus kita terus memperlemah persatuan kita? Tepuk dada, tanya selera.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...