MENYEBUT sulit menulis, mungkin tidak tepat walaupun teman-teman guru selalu mengatakan begitu. Ketika diajak mengungkapkan pikiran atau perasaannya melalui tulisan, jawabannya selalu sama: sulit. Terasa ada tapi tetap tidak bisa mengungkapkannya. Ujung-ujungnya tetap saja tidak bisa membuat tulisan.
Sebenarnya yang terjadi adalah kita tidak kunjung memulai menuliskan apa yang terasa itu. Katakanlah ketika mengajar, ada rasa kesal melihat anak-didik yang tak kunjung mengerti tentang apa yang diajarkan. Materi sudah dirasa diberikan dengan baik. Rumusan indikator pun tidaklah terlalu rumit. Tapi ketika postest dilaksanakan, guru merasa peserta didiknya tidak juga mengerti karena perolehan nilai yang masih di bawah standar. Hati menjadi dongkol.
Nah, sayangnya rasa dongkol itu tidak pernah diungkapkan dalam bentuk kalimat. Rasa dongkol dan jengkel hanya ada di hati dan perasaan saja. Paling-paling juga hanya diungkapkan dalam bentuk omelan di mulut. Suara jengkel itu sajalah yang dikeluarkan.
Jika saja setiap perasaan atau pikiran yang ada dibiasakan untuk diungkapkan dalam bentuk kalimat-kalimat Bahasa Indonesia maka sebenarnya segala kesulitan menulis akan segera dimulai mengatasinya. Ketika, misalnya ada perasaan belum puas melihat kenyataan peserta didik yang belum mengerti dengan materi pelajaran yang disampaikan, coba saja langsung ditulis perasaan itu. Misalnya dengan kalimat begini, "Masih banyaknya siswa saya pada hari ini yang belum memahami materi pelajaran saya." Atau dengan kalimat, "Mengapa murid-murid saya sulit sekali untuk memahami materi pelajaran saya ini?" Atau dengan kalimat-kalimat lain yang pada intinya mengungkapkan pikiran yang ada.
Seharusnya mengungkapkan/ membuat kalimat seperti itu tidak akan terlalu sulit jika dibiasakan membuatnya. Setiap perasaan atau pikiran yang ada, coba saja menuliskannya. Begitu juga, setiap peristiwa yang kita saksikan, coba saja kejadian itu langsung ditulis. Benar kata salah seorang sahabat saya yang terkenal sebagai bloger nasional, "Menulislah setiap hari dan buktikan apa yang terjadi." Kita juga bisa membuat pernyataan untuk membuat semangat kita untuk menulis. Misalnya, "Menulislah karena dengan menulis, Anda tidak akan pernah mati."
Jadi, kunci utama untuk belajar menulis adalah bagaimana memimpin diri sendiri untuk mau menulis. Tidak perlu berpikir untuk membaca atau memahami berbagai teori baru memulai menulis. Jika menulis itu dianalogikan sebagai bergerak, maka teruslah bergerak agar pergerakan itu menjadi lentur dan menarik untuk terus dilakukan.
Langkah selanjutnya, barulah seorang guru itu akan menggerakkan orang lain. Artinya, sebagai seorang guru otomatis akan berkewajiban untuk mengajarkan kemampuan dan keterampilan yang sama kepada anak-didiknya. Bagaimana mengajarkan suatu keterampilan kepada peserta didik jika diri sendiri tidak bisa melakukannya. Makanya, teruslah bergerak dan selanjutnya menggerakan orang lainnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar