ENTAH dari mana bermula dan siapa yang mempeloporinya, jujur saja
saya tidak tahu. Tapi budaya corat-coret baju seragam di kalangan pelajar kita
sepertinya sudah tidak dapat dicegah. Beberapa tahun ini, itulah kegundahan
sekolah, orang tua atau mungkin juga pemerintah setiap usai pengumuman
kelulusan UN.
Hari
Sabtu (26/05/12) besok pengumuman UN (Ujian Nasional) bagi siswa/ siswi
SLTA (SMA, MA dan SMK sederajat) akan dilaksanakan. Menyusul sepekan kemudian
untuk SLTP (SMP, MTs sederajat) pula diumumkan. Hari itu adalah hari-hari dan
momen yang ditunggu-tunggu oleh siswa kelas XII sebagai peserta UN. Sejak
selesainya mengikuti UN, April lalu, inilah hari yang paling dinanti dengan
penuh debaran hati.
Sebelum
pengumuman, nilai-nilai UN itu akan diolah dulu oleh sekolah dengan cara
menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah dengan proporsi 60% nilai UN dan
40% nilai sekolah. Hasil gabungan kedua nilai itulah yang akan menjadi dasar
kelulusan para peserta didik yang telah mengikuti UN. Bagi yang memperoleh
rata-rata minimal 5,50 (lima koma lima puluh) tanpa angka di bawah 4,0 (empat
koma nol) dari salah satu mata pelajaran dinyatakan lulus. Sementara yang
dibawahnya (tidak memenuhi syarat) dinyatakan tidak lulus.
Kekhawatiran
akan terjadi lagi corat-coret baju seragam (putih-abu-abu) seperti tahun-tahun
sebelumnya setelah pengumuman menghantui memang bukan saja guru dan orang tua
tapi juga pemerintah. Jelas-jelas kebiasaan itu adalah kebiasaan buruk dilihat
dari sisi manapun.
Dari
sisi agama, itu disebut mubazir karena membuang-buang pakaian yang seharusnya
masih bisa dipergunakan. Tidak mungkin baju dan celana yang sudah penuh
cat (spidol dan cat semprot pilox) akan dipakai lagi. Biasanya baju itu
langsung dibuang begitu saja. Dan tidak mungkin juga untuk dibersihkan lagi.
Dari
sisi moral pula, itu juga sangat tidak pantas dan berlawanan dengan rasa
kemanusiaan kita. Bayangkan, baju secantik itu harus penuh cat dan menjadi
kumal hanya untuk menumpahkan emosional. Karena biasanya juga dibarengi dengan
kompoi-kompoi berkenderaan, ini satu hal yang juga menakutkan. Sungguh tidak
pantas.
Baju
seragam yang sebenarnya masih bagus dan layak pakai seharusnya dapat diberikan
kepada yang membutuhkan. Tidak harus jauh-jauh mencari orang yang mau
memakainya. Bahkan di sekolah yang sama saja masih ada para siswa yang secara ekonomi
memerlukan uluran tangan dan mau menerima pakaian seragam yang tak akan dipakai
lagi itu. Tidak seharusnya baju itu dikotorkan dengan cat atau spidol.
Lalau
bagaimana seharusnya menyikapi kebiasaan jelek ini? Memberi pengertian saja
kepada mereka (para siswa) sepertinya tidak mendapat respon yang benar. Kalau
pun sekolah melakukan berbagai strategi mengatasinya, mereka ternyata jauh
lebih pintar mensiasati strategi pihak sekolah. Mereka tetap saja melakukan
tradisi yang salah itu.
Namun
demikian, sekolah harus terus berusaha mencari jalan agar kebiasaan buruk ini
dapat dicegah dan atau dikurangi. Mungkin beberapa tip berikut bisa dipakai
untuk mengatasinya:
1) Pakaikan baju adat (kebesaran
daerah). Maksudnya pada hari pengumuman itu tidak dibenarkan
memakai baju seragam sekolah (abu-abu putih) seperti selama ini. Bahwa
kemungkinan mereka meninggalkan baju mereka di luar pakarangan sekolah untuk
dipakai nanti selepas prosesi pengumuman, harus pula diantisipasi. Pastikan
mereka tidak membawa baju seragam itu secara sembunyi-sembunyi.
2) Undang orang tua. Maksudnya bisa
saja yang mengambil kertas pengumuman cukup orang tua saja. Lalu orang tua
diwajibkan membawa/ menyerahkan kertas pengumuman itu di rumah sekaligus
mengingatkan putra-putrinya untuk tidak lagi keluar rumah berkompoi dengan
teman-temannya. Kalau mereka dibiarkan, mereka akan cenderung melakukan
kebiasaan itu lagi. Jadi, peran orang tua sangat menentukan.
3)
Pakaian batik Selaian memakai pakaian adat, dapat pula dengan memakai
pakaian batik. Pakaian nasional ini (usahakan yang berwarna lebih gelap) tidak
terlalu menarik bagi mereka untuk mencoretnya. Berbeda dengan kalau mereka
memakai seragam sekolah yang lebih terang.
4) Kumpulkan di aula.
Buat sekolah yang memiliki aula, dapat secara ketat mengatur pembagian lembaran
pengumuman itu di dalam aula. Dengan dihadiri oleh semua guru (kalau perlu juga
orang tua) mereka akan merasa segan melakukan corat-coret. Biarkan mereka
meluahkan rasa gembira mereka di aula dengan pengawasan para guru atau orang
tua. Tentu saja dengan aula yang layak untuk menampung suasana gembira yang
terkadang berlebihan.
5) Melalui IT.
Dengan fasilitas internet yang sudah ada di setiap rumah pengumuman dapat
dilihat di rumah saja. Atau jika sanggup, secara manual juga dapat diantarkan
ke rumah-rumah entah oleh guru atau bisa dengan jasa pos. Kembali orang tua
diharapkan berperan mengingatkan anaknya untuk tidak keluar rumah setelah tahu
lulus.
Bahwa
untuk setiap strategi sekolah dalam mengatasi tradisi jelek ini selalu pula ada
strategi siswa untuk melawannya, itulah terkadang sifat manusia. Selalu ingin
lain dari pada yang lain. Sayangnya, keinginan 'lain' itu berupa tradisi jelek
yang harusnya tidak perlu.
Mungkin
di beberapa sekolah --di Tanah Air-- sudah berhasil menghentikan kebiasaan
buruk ini. Atau setidak-tidaknya sudah melakukan berbagai langkah dan strategi
mengatasinya. Tapi setiap tahun, masih banyak anak-anak kita terlibat kebiasaan
jelek ini sehabis pengumuman, itulah tugas lain tugas mengajar dan mendidik
selama mereka ini di sekolah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar