HARI Senin (16/04/12) Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2011/2012 telah
dilaksanakan. Peserta didik di jenjang SLTA bertarung memperebutkan kelulusan.
Dan rasa galau-geram yang tak juga padam adalah masih diragukannya
akuntabuilitas dan kredibilitas pelaksanaan UN. Tulisan ini mencoba sedikit
mengulas.
DI
AWAL kebijakan Ujian Akhir Sekolah (UAS) yang semula bernama EBTA (Evaluasai
Belajar Tahap Akhir) di tahun pelajaran 1985/ 1986 sebagai dasar kelulusan
peserta didik kelas akhir diberlakukan, akuntabilitas dan kredibiltas
pelaksanan ujian itu dikatakan cukup tinggi. Tidak terdengar kecurangan ujian
yang dilakukan oleh peserta didik (siswa) maupun pendidik (guru) seperti
kelaziman dalam UN (Ujian Nasional) beberapa tahun belakangan.
Malah
jika dirunut jauh ke masa-masa sebelumnya lagi, konon kelulusan itu benar-benar
atas perjuangan berat secara individu peserta. Tidak ada bantuan dari manapun.
Makanya kelulusan seseorang dari satuan pendidikan benar-benar sebuah
kebanggaan karena harus dilalui dengan perjuangan yang berat itu. Peserta didik
mesti belajar bersungguh-sungguh dan penuh semangat. Tidak ada kata ‘lulus’
kecuali atas usaha sendiri. Yang belum lulus, sudah terbiasa menerima dan akan
berjuang lagi pada kesempatan lainnya.
Pelan
dan meyakinkan, dari waktu ke waktu proses ‘ujian akhir’ tidak lagi steril dari
kata ‘curang’ alias mencontek. Entah dari mana virus ini datang. Namun yang
pasti dia kian berkembang. Dari semula hanya kreatifitas peserta didik sendiri
untuk mencontek kerja teman, sampai akhirnya melibatkan guru dan Kepala Sekolah
menyuburkan kecurangan.
Beberapa
kali diberitakan ada guru yang ‘diam-diam’ menyelinap’ masuk ke ruang ujian
untuk menuliskan kunci jawaban di papan tulis untuk dicontek peserta. Ada guru
yang membuatkan kunci jawaban di kertas untuk dikirimkan ke ruang ujian. Lalu peserta
saling berbagi kunci jawaban yang dibuatkan guru. Dan banyak lagi bentuk
keterlibatan guru dalam mencurangi ujian keramat itu.
Di
berita lainnya terdengar pula seorang Kepala Sekolah terpaksa berurusan dengan
polisi karena ketahuan mengeluarkan soal yang berlebel SANGAT RAHASIA itu
sebelum waktunya. Lalu soal itu diserahkan ke guru yang memang sudah ditunjuk
oleh sang Kepala Sekolah untuk menjawab terlebih dahulu sebelum waktu ujian
sampai. Kunci jawaban dari guru itu nanti akan diedarkan dalam ruangan ujian.
Jadi, kecurangan UN tidak hanya inisiatif peserta didik tapi sudah berjangkit
ke pendidik (guru dan kepala sekolah).
Dalam
perjalan waktu, muncullah pro kontra pelaksanaan UN sejak beberapa tahun ini.
Yang tidak setuju UN menggunakan argumen perbedaan yang masih sangat mencolok
antara satu sekolah di satu tempat –misalnya di perkotaan– dengan sekolah di
tempat lain. Perbedaan sarana prasarana, guru dan fasilitas lainnya menjadi
dasar penolakan UN secara merata di seluruh Tanah Air. Padahal argumen ini bisa
jadi pembalut ketakutan tak lulus saja.
Tapi
yang setuju tetap memandang perlu UN dilaksanakan. Bagaimana mutu bisa
ditingkatkan jika tidak ada ukuran tertentu yang baku dalam penilaian. Itu
dasar pikiran yang dikedepankan. Sambil berbenah, UN harus tetap dilaksanakan.
Bahkan MK (Mahkamah Konstitusi) pun tidak sampai melarang UN walaupun itulah
permintaan dari yang anti UN. Keputusan setengah hati MK itu pun menjadi
penguat bagi yang pro untuk tetap melaksanakan UN.
Persoalan
pokok dari pelaksanaan UN yang belum akuntabel dan kredibel sesungguhnya adalah
sikap dan keseriusan bangsa ini untuk menjadikan UN sebagai cara evaluasi
kompetensi yang jujur yang belum juga terwujud. Banyak usaha dari pemerintah
(Kemdikbud) agar UN berjalan dengan jujur. Dari membuat ketentuan dan peraturan
–oleh Kemdikbud dan BNSP– sampai ke membuat deklarasi ‘UN Jujur’ di beberapa
daerah oleh Mendikbud. Deklarasi UN Jujur adalah himbauan yang baru
dilaksanakan tahun 2012 ini. Intinya Pemerintah ingin mengubah cara pandang dari
sekedar lulus UN dengan ‘cara apa jua’ kepada kelulusan dengan UN Jujur dan
berprestasi.
Ketentuan
dan mekanisme UN pada tahun 2012 ini juga sudah sangat ketat dalam teori.
Beberapa kali sosialisasi UN oleh Dinas Pendidikan untuk menjelaskan bagaimana ketatnya
pelaksanaan UN pada tahun ini. Dari paket soal yang tetap dibuat 5 (lima) macam
di setiap ruang sampai ke pembuatan sticker khusus sebagai pengganti lak selama
ini untuk menyimpan LJUN. Dengan sticker khas ini panitia/ sekolah tidak bisa
lagi membuka ulang ampelop LJUN yang sudah dibungkus rapi dari ruang ujian.
Selain
itu, pengawas yang selama ini cenderung ditentukan sekolah sendiri akan beralih
ke pengawas yang benar-benar akan ditentukan oleh pihak Perguruan Tinggi.
Selama ini Perguruan Tinggi juga dianggap belum efektif menjadi pengawas UN.
Diduga masih banyak pengawas ikut mencurangi UN yang diawasinya.
Pertanyaan
yang tersisa: jika tidak juga bisa terlaksana UN Jujur, apakah model ‘hukum
rimba’ perlu diterapkan? Seperti melarang pengendara yang tak mempan dengan
rambu-rambu lalu-lintas untuk memperlambat kenderaannya, maka dibuatlah polisi
tidur, misalnya. Atau seperti melarang penumpang KA yang tak bisa dicegah untuk
naik ke atas atap, lalu dibuat kawat bertenaga listrik atau bola-bola penghalang.
Untuk melarang kenderaan dengan ketinggian tertentu, dibuat saja besi
penghalang. Atau mungkin contoh-contoh lain yang perinsipnya seperti penerapan
‘hukum rimba?
Haruskah
pelaksanaan UN pun menerapkan model hukum rimba, misalnya dengan membuat model
soal berbeda untuk setiap siswa dalam satu ruang? Atau menerapkan sistem tempat
ujian yang tidak memungkinkan komunikasi antara satu peserta dengan peserta
lainnya? Hah, memang kalau ingin UN yang benar-benar kredibel dan akuntabel,
untuk modal karakter yang ada saat ini, harus ada terobosan dalam
pelaksanaannya. Yang jelas, keberadaan polisi dan pengawas independen selama
ini juga tidak terlalu berpengaruh besar untuk membuat ujian jujur tanpa
kecurangan. Tampaknya harus ada cara lain. Atau karakter bangsa ini yang
pertama harus dibenahi terlebih dahulu?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar