BUAT yang baru memulai (belajar)
menulis dan mempublikasikannya, terkadang kritik menjadikannya ragu atau takut
melanjutkan langkah kreatifnya. Karena merasa tulisannya dijelekkan atau
direndahkan, hilanglah gairah dan semangat berkarya.
Tidak harus menyebut nama untuk
contoh. Tapi ada banyak yang mengalami dan terbukti berhenti menulis lagi
setelah tulisannya dikritik kanan-kiri. Tidak betah disebut-sebut kekurangan
dan kelemahannya lalu mengambil keputusan yang salah: tidak berkarya lagi.
Mental jelek ini dapat juga terjadi pada kreatifitas lain selain di ranah
tulis-menulis.
Tapi haruskah berhenti berkarya –apa
saja: menulis, berdagang, berkebun, dll– hanya karena ada yang menyebut-nyebut
karya kita? Tidak perlu, tentunya. Bukan karena sikap ‘anjing menggonggong
kafilah berlalu’ secara membabi-buta tapi justeru gonggongan itu dapat
dijadikan peringatan. Jangan-jangan ‘anjing’-nya akan menggigit. Jika waspada
dan menghadapinya dengan benar, tentu akan baik hasilnya.
Untuk semua rencana usaha atau
karya, khususnya di bidang tulis-menulis memang harus dipahami bahwa hujan
kritik adalah hal biasa. Tidak saja buat penulis pemula tapi untuk yang sudah
senior dan ternama saja, kritik selalu ada. Malah bisa semakin kebanjiran
kritik. Sekali lagi itu, biasa.
Harusnya kritik membuat kreatif.
Bukan membuat macet usaha dan ikhtiar kita. Terkhusus buat sahabat muda awal
berkarya, perlu dicamkan betul bahwa kemajuan dan harapan akan terwujudkan
hanya dengan kekuatan keyakinan. Yakinkan diri bahwa setiap orang punya pikiran
dan perasaan yang terpendam. Mereproduksi pikiran dan perasaan secara tertulis,
itulah yang terus-menerus harus diasah. Tidak boleh berhenti hanya karena ada
yang menyebut kekurangan dan kelemahan apa yang diungkapkan lewat tulisan.
Itulah sebabnya dikatakan oleh
banyak pakar bahwa kalau untuk jadi penulis tidak dibutuhkan ijazah, apalagi
diembel-embel IPK (Indek Prestasi Kumulatif) tinggi. Tidak pula dibutuhkan juga
uang atau ekonomi mapan dan berlebihan. Tidak perlu pula pisik atau badan kekar
dan tinggi, misalnya. Yang dibutuhkan tak lebih dari ketekunan dan kesungguhan
yang dilengkapi dengan ketabahan. Percaya diri berlebihan tidak baik. Tapi
merasa minder juga lebih jelek.
Seseorang yang saat ini tersohor di
bidang tulisa-menulis, bukanlah hasil kerja sekali jadi. Sebutlah nama-nama
seperti Habiburrahman El-Shirazi, Ayu Utami, Andre Hirata, Afifah Afra; atau
nama-nama lama seperti Hamka, Marah Rusli dan banyak lagi para penulis zaman
dulu hingga hari ini.
Nama-nama yang sudah terkenal di
blantika tulis-menulis juga bisa bermula dari berbagai cara dan strategi. Ada
penulis terkenal karena gigih menulis dan banyak menghasilkan karya tulisnya
dalam bentuk buku-buku yang diterbitkan. Ada lagi karena buku sulungnya sudah
menjadi best seller. Meledak di pasaran. Dan ada juga karena rajin berpromosi.
Atau karena aktifnya menyalurkan lewat blog atau media online lainnya.
Kita ambil beberapa nama terkenal
karena aktif menulis di blog. misalnya. Beberapa di antara mereka itu dapat
kita sebut seperti Raditya Dika (Kambing Jantan), Arif Muhammad (Pocongg Juga
Pocong), Akmal Syafril dengan tulisannya yang bertema Islam Liberal; dan banyak
lagi.
Satu hal yang pasti dimiliki
orang-orang top di bidang tulis-menulis itu adalah kebesaran hatinya menerima
atau mendengar kritik terhadap tulisannya. Tak ada gunanya menolak atau menutup
telinga dari krtitik pembaca tulisan kita.
Buat siapapun yang sudah memutuskan
untuk menjadi penulis, tidak harus alergi dengan kritik. Kritik sejatinya
memang harus berpengaruh pada setiap orang. Dan pengaruh yang diharapkan tentu
saja bagaimana kritik membuat kreatif. Saya sendiri meski dalam usia yang tak
muda saat ini tapi tetap merasa sebagai penulis pemula yang masih terus
belajar. Sebagai ‘orang kecil’ dalam khazanah tulis-menulis, saya sadar betul
dengan pandangan ini. Tak mungkin menjadi besar jika tak punya jiwa dan
semangat besar.***
buat memulai tak ada kataterlanbat...
BalasHapus