Kisah ke-3 Misteri Penyebab
Kematian
DALAM perjalanan dari RSUD ke
rumah, saya tidak bisa bicara apa-apa. Pikiran saya benar-benar kosong. Saya
bahkan seperti tidak mendengar raungan sirene ambulance yang membawa mayat
isteri saya malam itu. Mata saya mencoba terus menatap keranda besi berisi
mayat isteri saya. Besi keranda itu tidak pernah saya lepaskan selama dalam
perjalanan. Berapa lama waktu perjalanan
itu saya juga tidak tahu. Yang saya tahu, mobil ambulance itu kini sudah sampai
di rumah saya, rumah No 82 Jalan Sakura Indah, RT 01 RW 09 Wonosari, Baran, Meral.
Rumah
yang sudah kami huni sejak tahun 2004 lalu, kini akan dia tinggalkan bersama
kami yang dia tinggalkan. Di rumah inilah kami melanjutkan memadu kasih setelah
berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain. Selama 26 tahun hidup bersama (di
Kundur, Moro dan Karimun: tiga kecamatan sebelum pemekaran) inilah rumah
sendiri yang baru tujuh tahun terakhir mampu kami miliki. Tidak menyewa lagi. Selama
ini kami hanya menyewa dari satu rumah ke rumah lain sesuai tempat di mana saya
bertugas. Pernah pula kami tinggal di perumahan sekolah yang sangat sederhana:
rumah papan bekas tempat tinggal tukang yang membangun sekolah. Kini baru kami
memiliki rumah sendiri. Ah, terlalu singkat dia menempati rumah pribadi yang
kami cintai ini.
Di
Pekanbaru, sebenarnya kami mempunyai rumah sendiri yang dibangun berangsur
selama hampir sepuluh tahun ketika saya amasih bertugas di Tanjungbatu. Rumah
itu pada awalnya (tahun 1986-an) saya bangun untuk persiapan kalau-kalau saya dimutasi ke
daratan sana. Kebetulan isteri saya mendapatkan jatah tanah dari orang tuanya
untuk membangun sebuah rumah. Rumah itu sejak awal hanya satu minggu saja kami
menghuninya. Selebihnya disewakan kepada siapa saja. Sewa rumah itu pula yang
kami pakai untuk menyewa rumah di Moro dan Karimun selama kami belum mempunyai
rumah sendiri. Baru pada tahun 2004 itulah kami memiliki rumah sendiri di sini.
Di rumah, kerumunan manusia sudah
menanti jenazah isteri saya. Sangat banyak saya lihat. Begitu ramainya
orang-orang yang datang dan menanti kedatangan jenazah, tak ubahnya sebuah
pesta. Tapi ini adalah pesta dengan wajah-wajah duka. Lampu-lampu rumah yang
sebelumnya tidak menyala ketika kami bergegas ke rumah sakit, sudah dinyalakan
oleh para tetangga dan kerabat yang kebetulan sudah duluan ke rumah sebelum jenazah
tiba. Di halaman bagian bawah, orang-orang kampung Wonosari secara bergotong royong
memasang tenda. Itu adalah tenda duka menyambut isteri saya yang telah tiada.
Mobil ambulance langsung berhenti
di halaman bagian atas. Pintu ambulance dibuka untuk memindahkan jenazah ke
dalam rumah. Dengan lutut yang terasa begitu berat dan lemah saya mengikuti
mayat isteri saya yang diangkat ke dalam rumah oleh beberapa orang lelaki. Ya
Allah, betapa beratnya kaki saya melangkah. Hanya beberapa langkah dari mobil
ke dalam rumah. Tapi sungguh berat dan jauh rasanya. Tidak mampu rasanya saya
melangkahkan kaki saya.
Tikar dan permadani yang biasanya
dibentangkan untuk acara-acara kenduri atau acara-acara khusus lainnya oleh isteri
saya, kini sudah terbentang rapi untuk menanti isteri saya sendiri yang sudah
pergi. Sebuah kasur juga sudah terbentang di situ. Di kasur kapuk itulah isteri
saya diletakkan. Itulah kasur kapuk ukuran sedang satu-satunya yang kami miliki
selama ini. Kain panjang yang beberapa tahun belakangan dibelinya beberapa
lembar, kini juga dikeluarkan untuk penutup mayatnya. Kain-kain panjang itu
sudah selalu dibawanya ke tempat-tempat mayat lain. Kini dia sendiri pula yang
menjadikannya sebagai selimut.
Kesedihan ini kian menjadi. Mata
dan wajah-wajah memelas sedih dari para pelayat menatap lurus ke jenazah isteri
saya yang terbentang di atas kasur di ruang depan rumah. Bagi
saya, mata dan wajah-wajah itu terasa menambah berat rasa sedih dan duka saya.
Setiap orang yang memandang isteri saya adalah orang-orang berwajah sedih dan
duka dan menambah sedihnya hati saya. Sama sekali saya tidak bercerita kepada
mereka yang bertanya, mengapa isteri saya pergi begitu cepatnya. Apa sebenarnya
penyakit yang merenggut nyawa isteri saya. Oh Tuhan, mengapa begitu cepatnya
dia Kau ambil dari pangkuan saya.
Dalam
kesedihan seperti ini, terngiang kembali di telinga dan terbayang di mata saya bagaimana
kronologis kejadian yang dialami isteri
saya sejak pukul 15.30 petang hingga dia saya larikan ke rumah sakit malamnya. Bagaimana
saya sudah membawanya ke rumah sakit dokter praktek ‘Sayang Ibu’ dan ditangani
seorang dokter yang cukup terkenal di situ. Dokter itu juga yang menjelaskan
kepada saya kalau isteri saya menurutnya tidak mempunyai (mengidap) penyakit
yang mengkhawatirkan ketika saya jelaskan kepadanya tentang kemungkinan isteri
saya terkena penyakit jantung atau penyakit lain sore itu. Tapi dokter itu
kokoh mengatakan kalau isteri saya tidak ada masalah yang berat. “Pak guru tak
usah risau,” begitu dia meyakinkan saya. “Ibu hanya sedikit gangguan lambung.”
Saya
pun tidak berpikir dan juga tidak disarnkan untuk membawanya ke rumah sakit
atau ke dokter lain sesuai yang dijelaskan dokter itu. “Ibu tidak ada riwayat
penyakit jantung. Tensi ibu juga bagus.” Berulang-ulang
kalimat yang diucapkan dokter itu mengisi lamunan saya. Obat yang dia beri pun
sudah diminum sesuai petunjuknya. Katanya isteri saya hanya bermasalah sedikit
pada lambungnya. Saya yakin dengan kata-katanya. Saya pun membawanya ke rumah
setelah selesai berobat sore itu. Apalagi isteri saya juga
tidak mengeluh apa-apa, kecuali dia menyatakan begitu penatnya badannya. Dia
minta segera pulang karena ingin dipijit-pijit badannya.
Ketika
akan pulang dari dokter Awang Lim itu saya menawarkan kepadanya untuk berjalan
sore dengan mobil itu. Seperti biasa, saya ingin berjalan-jalan bersamanya.
Tapi dia menggeleng. Dia tetap minta pulang ke rumah saja. Istirahat di rumah
saja, katanya. Itulah sebabnya kami pulang ke rumah. Sampai saat itu,
sedikitpun saya tidak mempunyai firasat apapun tentang dia. Saya hanya berpikir
dia ingin istirahat saja ke rumah memulihkan gangguan kesehatan yang dijelaskan
dokter tadi.
“Ibu
tidak apa-apa. Ibu tidak ada riwayat penyakit jantung. Tensi juga bagus,”
berulang-ulang terus kalimat yang diucapkan Dokter Awang Lim itu kembali
menusuk telinga saya. Karena diagnosa dia juga saya tidak merasa perlu membawa
isteri saya ke rumah sakit lain. Ah, tapi kini ternyata begini jadinya. Semuanya terjadi begitu
cepat. Benarkah dia tidak sedang menderita penyakit yang menakutkan itu,
penyakit jantung atau yang lainnya? Benarkah dia hanya bermasalah pada lambung?
Saya
memang hanya menduga bahwa ‘masalah lambung’ yang disebut dokter itu adalah
masalah mag. Dokter itu memastikan isteri saya tidak mungkin kena serangan
jantung. Lalu apakah mag itu yang merenggut nyawa isteri saya? Atau apakah
karena pengaruh obat yang diberikannya? Ada pula yang menyebut-nyebut jika
dosis obat dari dokter keturunan ini sering berdosis tinggi. Atau adakah
penyakit mag itu juga berkaitan dengan puasa Kamis –dua hari sebelum kejadian--
yang dia lakukan? Atau juga kemungkinan karena isteri saya itu memakan kue
pulut malam Sabtu itu? Ah, tidak satupun jawaban yang dapat saya berikan.
Orang-orang lebih suka menyebut isteri saya begitu mudah perginya. Orang-orang menyebut isteri saya
pergi dengan tidak mengalami kesulitan apapun. Tidak menyusahkan. Apakah itu
pertanda dia pergi dengan predikat ‘husnul-khotimah’?
Ya Allah, hanya Engkau yang tahu rahasia di balik itu semua.
Bagi saya, penyebab kematiannya
itu tetaplah sebuah misteri. Seharusnya saya tahu dan mengerti apa sesungguhnya
secara medis yang merenggut nyawa isteri saya. Tidakkah keteledoran dokter yang
tidak menginfus atau menginjeksi isteri saya yang sebelumnya sudah saya
laporkan bahwa dia habis muntah? Tidakkah karena keteledoran dokter itu karena
tidak juga merujukkan isteri saya ke rumah sakit lain yang lebih besar? Atau
apakah karena saya yang lalai karena tidak berinisiatif saja membawanya ke
rumah sakita atau ke dokter lain sebagai pembanding? Ya Tuhan, begitu banyak
pertanyaan yang tidak dapat saya jawab. Penyebab kematiannya benar-benar
misteri yang tidak mudah saya menjawabnya. Mata saya tidak bisa lepas dari
wajah tertutup kain panjang di samping saya itu. Berpikir begitu, hanya air
mata saya saja yang terus mengalir membasahi mata dan pipi saya. Saya serasa
hanya bermimpi.
Para pelayat kian memenuhi ruangan
rumah saya. Kini bukan hanya ruang depan (tempat mayat terbentang diam) yang
dijejali pelayat tapi ruangan tengah dan bagian belakang juga sudah dipadati
orang. Di ruang depan secara spontan para pelayat membaca
surah Yasin. Ada yang membaca secara bersama, serentak dan ada pula yang
membaca sendiri-sendiri. Saya mencoba setabah mungkin sambil juga membaca
alquran. Saya juga tidak berhenti berdoa seperti mereka yang berdoa. Kehancuran
perasaan ini harus saya terima walaupun tidak juga bisa rasanya.
Pada
waktu seperti itu, dua HP saya terus-menerus berdering. Terkadang saya jawab
langsung terkadang saya biarkan dia berbunyi begitu saja. Terkadang saya tidak
sanggup menjawabnya. Terkadang untuk beberapa orang saya mencoba langsung
menelpon untuk memberitahukan kejadian ini walaupun saya harus terisak menahan
tangis menjelaskannya. Kakak kandung isteri saya, Kak Maimunah adalah oang yang
beberapa kali saya telpon, baru dapat menyampaikan informasi ini. Anak saya,
Ery juga orang yang saya telpon kembali setelah tadi di rumah sakit saya memberi
tahu kematian mamanya. Ketika masih di UGD saya memang telah memberi tahu anak
saya Ery yang di Tanjungpinang itu. Saat itu dia menangis histeris hampir
setengah jam di telpon. Saya tahu dia sangat terpukul dengan informasi dari
saya. Kini dia, bersama dua anak saya lainnya sudah ditinggal pergi mamanya
untuk selamanya. Mereka sudah kehilangan mamanya.
Waktu
terus merangkak. Saya tidak menduga kalau hari sudah larut malam. Orang-orang
masih ramai di dalam dan di luar rumah. Pukul
01.30 (Minggu, 17 April) saya mencoba membaringkan badan saya yang letih di sebelah isteri saya yang terbaring
kaku. Ya Allah, ini adalah malam terakhir saya akan berbaring di samping isteri
saya. Besok kami pasti akan berpisah, ya Allah. Tabahkanlah ya Rab hati dan
jiwa saya. Tahankanlah ya Rab, tangis dan isak saya. Saya juga menyuruh anak
saya, Kiky untuk beristirahat membaringkan badan di samping sebelah mamanya. Saya
tahu dia pasti juga letih dan sangat menderita. Dialah yang sedari sore hari
tahu persis keadaan mamanya. Mata anak sulung saya itu sudah sembab karena
menangis berulang-ulang sedari sore.
Malam
terus bergerak. Mata saya ternyata tidak bisa tertidur walaupun saya coba
memejamkannya. Suara-suara orang yang melayat dan ikut menunggu isteri saya
juga kian berkurang. Beberapa suara masih terdengar di luar sana. Di dalam
rumah, ada yang mencoba memejamkan mata sambil duduk dan menyandarkan punggung
ke dinding rumah ada yang diam begitu saja. Saya sendiri sambil menelentang
menatap palavon ruang depan itu sambil berusaha memejamkan mata. Tapi tetap tidak
mudah dan tidak bisa. Mata saya terasa pedih tapi tetap tidak bisa tertidur.
Beberapa kali menjelang pagi itu saya menelpon Kak Mai yang dari pukul 02.30
dini hari itu sudah berangkat menuju Dumai dari Pekanbaru. Besok dia akan
berangkat menggunakan kapal fery menuju Tanjungbalai Karimun. Saya yang
menyuruhnya lewat Dumai agar besok dapat melihat adiknya, isteri saya untuk
terakhir kali. Itu adalah permintaannya lewat telpon. Dia minta ditunggu
sebelum dikebumikan.
Pukul
04.10 saya duduk. Kembali saya menatap isteri saya yang terbaring diam itu.
Saya buka lagi wajahnya yang ditutup kain. Saya menciumnya pelan.sambil berusaha menahan tangis
dan air mata. Saya rapikan selendang penutup rambutnya. Saya tahu dia tidak
ikhlas jika rambutnya itu terbuka begitu saja. Dia adalah orang yang sangat
ketat menutup rambut semasa hidupnya. Dia tak ingin rambutnya terlihat oleh
yang bukan muhrimnya.
Saya tidak tahu apakah saya dapat
menidurkan mata saya atau tidak. Karena sebentar lagi akan datang waktu sholat
subuh, saya pergi berwudhuk. Saya sholat sunat ke kamar sebentar menjelang
masuknya waktu subuh. Pagi ini saya tidak ke masjid untuk berjamaah subuh
sebagaimana biasanya. Saya sholat di rumaah saja. Lalu kembali duduk di samping
isteri saya. Saya mengambil alquran dan membacanya kembali seperti
awal dia terbaring malam tadi. Hanya
yang kuat saya lakukan sebagai penguat pikiran, mengantarkannya ke
peristirahatan terakhirnya.
Pagi
selepas subuh para pelayat mulai berdatangan kembali. Saya ingat, jamaah sholat
subuh dari Masjid Agung adalah rombongan pertama yang datang bertakziyah,
Minggu (Ahad) sepagi itu. Ada tujuh atau delapan orang yang datang dalam
rombongan itu. Mereka masih mengenakan gamis pakaian sholat subuh mereka. Mereka
membacakan surah Yasin serta doa-doa untuk almarhumah. Sungguh terharu saya,
masih gelapnya suasana subuh, para takziyyin
sudah berdatangan. Ya Allah, berilah mereka pahala atas bacaan Al-quran dan
kalimah-kalimah thoyyibah yang telah mereka bacakan untuk isteri saya.
Lama
juga rombongan Al-Ustaz Zulfan Batubara –imam masjid Agung Karimun-- itu berada
di rumah duka, subuh itu. Walaupun tidak banyak bicara yang terucapkan namun
mereka telah memberikan kesejukan di pagi subuh itu. Semakin pagi para pelayat
semakin ramai memenuhi rumah. Seperti malam tadi, pagi ini begitu ramainya para
pelayat memberikan kunjungan terakhirnya. Saya tahu itu adalah bukti bahwa
almarhumah memang orang yang banyak memberi kesan yang baik bagi orang lain.
Kebiasaannya melayat orang meninggal bersama saya, membezuk orang sakit serta
pergaulannya yang baik dengan semua orang telah membuat banyak orang terkejut
dengan kejadian yang tiba-tiba menimpanya. Saya menduga itulah alasan utama
para pelayat datang menjenguknya.
Menjelang
siang, orang-orang yang datang kian ramai dan silih berganti memasuki rumah.
Tidak saja masyarakat umum yang datang dari jauh –dari Pulau Kundur dan Pulau
Moro—saya juga melihat cukup banyak para pejabat pemerintahan yang datang
memberikan doa. Diantara mereka saya melihat ada Wakil Bupati Karimun, H. Aunur
Rafiq, ada juga Pak Sekda H. Anwar Hasyim, Ketua DPRD Karimun, H. Raja Bakhtiar
serta banyak pejabat lainnya. Saya tahu Pak Bupati memang sedang tidak berada
di tempat. Dia tengah melaksanakan umroh ke Tanah Suci. Tapi Pak Wabup
membisikkan salam Pak Bupati sambil meminta saya untuk tabah. Terima kasih, semoga Allah
membalas keikhlasan untuk hadir di rumah saya. Hanya itu yang dapat ucapkan
dalam hati saya.
Saya percaya, ramainya pelayat
dari malam hingga siang dan menjelang mayatnya dibawa ke masjid hingga sampai
ke pekuburan adalah karena izin Allah. Itu pertanda betapa luasnya silaturrohim almarhumah selama hidupnya.
Kalau saja saya dapat mengatakan kepadanya betapa banyaknya orang memberikan
doa dan kunjungan kepadanya tentu dia akan terharu. Dia benar-benar
menerima balasan hubungan baiknya dengan banyak orang.
Dia
memang mencontoh pelajaran dari almarhum ayahandanya, H. Abdul Mutolib. Orang
tua kandungnya itu telah memberikan pelajaran berharga kepada anaknya, isteri
saya. Bapaknya pernah berpesan, “Jika kita ingin orang ramai datang ketika kita
meninggal dunia, selalulah datang dan melayat ke orang-orang yang lebih dulu
meninggalkan kita”. Itu pesan yang menjadi pegangannya. Dan ketika ayahandanya
itu wafat dalam usia 72 tahun pada 3 Februari 2002 silam, sungguh begitu
tumpah-ruahnya manusia melayatnya. Sebagai pensiunan pegawai Pos dan Giro
seungguhnya dia tidaklah orang yang terkenal dan populer. Namun sebagai
masyarakat, dia sangat dikenal oleh warga.
Pesan
itu benar-benar diamalkan oleh isteri saya selama ini. Setiap kali dia tahu ada
orang meninggal, dia akan ikut bersama saya atau akan mengajak saya jika saya tidak
tahu. Bahkan dalam empat tahun terakhir, dia selalu membawa mukena (telekung)
untuk dapat ikut sholat jenazah bersama kapan dan dimanapun pada saat kami
bertakziyah. Dia selalu akan ikut menyolatkan jenazah walaupun hanya dia
sendiri kaum wanita yang akan ikut sholat.
Saat
ini dia benar-benar menerima balasan kebaikannya selama ini walaupun dia masih
berada di dunia. Tumpah-ruahnya manusia sejak malam tadi hingga pagi menjelang
siang ini, itulah pertanda harmonisnya hubungan pergaulannya dengan orang lain.
Saya sejatinya ikut haru dan gembira menyaksikan itu semua. Tapi perasaan sedih
disebabkan begitu cepatnya dia pergi tidak mudah saya menerimanya. Dia pergi, walaupun dengan mudah
dan tenang, tapi begitu berat dan dukanya buat saya. Sabar
memang tidak semudah bicara. Mudah mengatakan tapi begitu berat dirasakan.
Satu
hal yang terus-menerus menyenak perasaan saya adalah misteri penyebab
kematiannya itu. Kesabaran saya benar-benar diuji oleh misteri itu. Saya begitu
menyesal menngapa saya tidak mampu dan tidak berhasil menyelamatkan nyawanya.
Saya merasa belum saatnya dia pergi. Anak saya membutuhkan dia sebagai figur
ibu penyabar. Ibu yang gigih, sederhana, lembut dan menyenangkan. Umurnya juga
masih sangat muda menurut perasaan saya. Tapi itu rupanya tidak menjadi alangan
oleh Allah. Allah benar dengan segala kekuasaan-Nya.
Sebentar
lagi dia akan dimandikan, segala persiapan sudah dilaksanakan. Namun misteri
itu tetap saja menjadi tanda tanya saya. Oh Tuhan, seketat itukah rahasia
kematian untuk setiap insan? Tidak adakah jawaban yang akan menenangkan hati
saya secara medis: mengapa dia pergi begitu cepat? Hanya Dia jua yang akan
mampu menjelaskannya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar