"DIMANA ada kemauan, di situ ada
jalan." Pribahasa tua itu tidak pernah terasa tua. Kapan
dan di mana saja kata-kata mutiara itu tetap terasa segar karena akan menjadi
kunci penggairah awal motivasi dan inspirasi manusia menumbangkan kendala atau
kesulitan yang lazim menerpa. Pribahasa itu terasa selalu ada dan up to date sepanjang masa.
Kita tahu, perinsip awal dalam kerja atau usaha adalah 'banyaknya
kendala di awal memulai'. Terasa begitu sulitnya memulai
cita-cita. Dan tidak selalu mudah menyelesaikannya. Tapi dengan perinsip mau,kemauan dan atau berkemauan sesungguhnya semua 'kesulitana' apapun
bisa menjadi niscaya. Tak ada yang tak bisa kecuali karena tak ada asa. Dan
dari asa kemauan akan terbuka.
Tidak mudah berubah dalam 'kekeliruan' barangkali merupakan salah
satu bentuk berlakunya perinsip 'banyak kendala di awal memulai' di atas. Ada
banyak kekeliruan yang senantiasa dilakukan tapi tidak mudah mengubah atau
menghindarkan. Orang yang ingin berubah dari indisiplin menjadi disiplin,
misalnya begitu sulitnya melakukan. Orang yang ingin berubah dari kebiasaan
merokok ke tidak merokok, begitu amat susahnya membuktikan. Bahkan orang yang
tak biasa sarapan pagi disuruh sarapan, pun bukan main beratnya untuk
mengubahnya. Dan tentu banyak lagi contoh kesulitan yang senantiasa menerpa
keinginan.
Tesis 'susah di tahap mula' ini juga terasa ada di bangku sekolah,
khususnya --yang ingin saya ulas di sini--dalam realita pelaksanaan ujian
keramat yang bernama UN (Ujian Nasional) yang setiap tahun dilaksanakan. Dalam
pelaksanaan UN saban tahun, ada sebenarnya tuntutan perubahan (reformasi) dalam
pelaksanaan: dari ujian penuh rekayasa ke ujian yang kredibel dan akuntabel.
Semua orang ingin pelaksanaan UN itu berlangsung sesuai ketentuan. Tidak ada
penyimpangan dan atau pelanggaran. Tapi tidak mudah untuk mewujudkannya.
Di satu sisi Undang-undang Sisdiknas mengamanahkan bahwa hasil UN
adalah salah satu kriteria yang dapat dipakai untuk dasar seleksi melanjutkan
pendidikan ke tingkat di atasnya. Dalam konteks peserta didik di SLTA, misalnya
tentu saja maksudnya untuk masuk ke Perguruan Tinggi (PT). Tapi di sisi lain
pihak PT-nya tidak bersedia. Alasannya UN di sekolah belum berjalan kredibel,
akuntabel (jujur). Kecurangan masih berjalan, begitu alasan penolakan oleh PT.
Memandang begitu susahnya melaksanakan UN (UJian Nasional) tanpa
kecurangan alias ujian yang jujur dari kebiasaan menyelenggarakan UN penuh
kecurangan, bisa jadi ini merupakan salah satu contoh lain dari perinsip
'banyaknya kendala di awal memulai' usaha di atas. Sebagai guru, di hati kecil
kita pasti berkeinginan terwujudnya penyelenggaraan UN yang kredibel, jujur dan
efektif seperti yang diatur dalam POS (Prosedur Operasi Standar) UN setiap
tahun. Tapi seolah tidak bisa karena selalu ada godaan untuk menyimpangkan
aturan yang sudah ditetapkan dalam POS-UN itu.
Pertanyaan sederhananya, apakah konsep peribahasa di atas tidak
dapat diterapkan untuk mengatasinya? Sebagai guru yang sudah sangat lama
berhadapan dengan siswa (peserta didik) terasa sekali betapa mewujudkan ujian
secara jujur itu tidaklah mudah. Setiap tahun datangnya musim UN setiap itu
pula keinginan dan target meluluskan peserta didik dengan cara-cara tidak
elegant (baca: kecurangan) dilakukan. Itu yang kita dengar sinyalemennya.
Bahkan ada beritanya di media masa. Itu jualah yang menghadang usaha perbaikan
penyelenggaraan UN yang jujur itu.
Dari tahun ke tahun sejak UN dilaksanakan tahun 1985/ 1986 silam
(waktu itu masih bernama EBTANAS) selalu ada berita kecurangan UN. Awal
pelaksanaan EBTANAS itu memang tidak terlalu terekspos berita kecurangannya.
Tapi beberapa tahun belakangan, khususnya di era reformasi, berita kecurangan
UN sudah begitu banyak menghiasi koran, majalah dan televisi dan media lain.
Ada Kepala Sekolah yang sengaja membuat panitia 'tim sukses'
yang bertugas membuka soal UN dan membuat kunci untuk seterusnya mengirimkan ke
ruang-ruang ujian. Tugas yang dibebankan Kepala Sekolah adalah memastikan
peserta lulus dalam UN, apapun caranya. Sungguh memalukan.
Ada juga guru yang karena takut kepada Kepala Sekolah diam-diam
menunjukkan kunci jawaban UN kepada siswa. Khawatir dalam rapat Dewan Guru akan
dipersalahkan atas ketidaklulusan siswa maka sebagian guru kelas akhir (XII, IX
dan VI) berusaha dengan berbagai cara agar siswanya lulus dalam ujian akhir
itu. Sungguh itu salah jalan.
Selain peran jelek Kepala Sekolah dan guru, ada juga pengawas di
ruang UN yang melakukan kecurangan. Bentuknya adalah dengan membiarkan peserta
ujian saling mencontek antara satu dengan lainnya. Siswa yang karena solider
dengan teman, terkadang saling berbagi jawaban dalam ujian. Pengawas
membiarkan.
Konon kebiasaan itu tidak akan pernah bisa diatasi. Kebiasaan
mencontek sudah menjadi darah-daging para siswa di negeri ini. Guru-guru juga
tidak mampu memaksakan pelaksanaan peraturan yang benar. Bahkan Kepala Sekolah
pun terdengar ada yang karena keliru memahami keinginan Kepala Dinas
Pendidikannya, melakukan tindakan tak terpuji mencurangi pelaksanaan UN di
sekolahnya.
Bahwa Kepala Dinas dan atau Bupati/ Wali Kota berharap agar siswa
sukses dan lulus dengan nilai terbaik dalam UN, itu memang demikian adanya.
Tapi Kepala Sekolah tidak harus menyelewengkan pelaksanaan UN untuk memenuhi
target itu. Itulah kekeliruannya. Dan salah kaprah sekolah ini masih terdengar
terus setiap pelaksanaan UN berlangsung meski tak mudah mencari bukti.
Sepertinya sulit sekali untuk menuju pelaksanaan UN yang jujur.
Sejatinya tidaklah akan sulit untuk melaksanakan UN secara jujur
(kredibel dan akuntabel) asal ada kemauan (willing) semua pihak untuk mengubah
kekeliruan itu. Di satu sisi, sekolah harus memahami betul bahwa sebagai
investasi yang mahal, UN mestinya dikelola dengan baik. Mahalnya investasi UN
dapat dilihat dari biaya-biaya yang akan keluar mulai dari menyusun soal,
mencetak sampai ke mendistribusikannya ke seantero daerah.
Sementara kejujuran adalah bagaikan bibit unggul yang akan
bermanfaat untuk investasi mahal itu. Jadi, investasi mahal disertai bibit
unggul akan melahirkan kelak pendidikan bermutu dan berprestasi. Dan meskipun
Kemdikbud telah menjadikan UN jujur dan berprestasi sebagai integritas
kinerjanya, itu tidak akan berguna kalau sekolah sebagai satuan pelaksana UN
tidak melaksanakannya dengan baik dan benar. Jutaan siswa yang akan bertarung
di UN nanti akan sia-sia adanya. Maka kunci dari kesulitan dalam perubahan itu
hanyalah kemauan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar