Kisah ke-2 Perginya Isteri Teladan:
SAYA masih tertegun. Serasa tidak percaya apa yang baru saja diucapkan
perawat tadi. “Bapak sabar ya, Pak.” Kalimat itu bagaikan petir dalam sunyi
yang menghancurkan segala harapan saya. Saya sesungguhnya berusaha mencoba
sabar. Tapi tidak mudah. Ternyata menyuruh dan mengajarkan orang-orang untuk bersabar
ketika memberikan nasehat kepada seseorang, tidak pula semudah itu
melaksanakannya pada diri sendiri. Saya benar-benar tidak bisa mempercayai
kalau isteri saya telah pergi untuk selama-lamanya. Dia tidak akan pernah kembali
lagi. Bahtera cinta yang sudah ada kini berlayar sudah mengikuti garis yang
ditetapkan-Nya.
Anak-anak saya –Kiky dan Opy— yang kebetulan mereka berdua saja bersama
saya malam itu, masih tersedu sambil memanggil mamanya. Satu lagi anak saya,
Ery, di Tanjungpinang menyelesaikan kuliahnya di UMRAH. Dia pasti juga sedang
galau saat ini. Beberapa saat sebelum ke rumah sakit tadi, dia sempat diberi
tahu kalau mamanya dalam keadaan sakit. Tapi belum sempat diberi tahu lebih
detail sakitnya karena buru-buru harus ke rumah sakit. HP (Hand Phone) yang
dipakai untuk menghubunginya dilempar begitu saja ke atas kasur karena kami bertiga
harus segera melarikan mamanya ke rumah sakit.
Dalam kebingungan seperti itu saya berusaha ingin menelpon orang-orang
yang seharusnya saya telpon untuk menyampaikan nasib tragis isteri saya. Aduh,
HP saya ternyata tidak ada di saku saya. Saya baru sadar kalau HP itu ternyata
tertinggal di rumah karena tadi memang terburu-buru membawanya ke rumah sakit. Saya
mau minta tolong ke siapa, saya juga tidak tahu. Saya bingung dan kalut. Cobaan ini
benar-benar berat rasanya.
Akhirnya saya melihat ada
salah seorang guru SMA Negeri 3 Karimun, M. Ridwan menghampiri saya. Pak Iwan,
begitu saya memanggil guru olahraga itu juga dalam keadaan panik menyaksikan
saya yang seperti orang linglung. Dia bertanya, “Kenapa Ibu, Pak?”
Saya menjelaskan, “Ibu
sudah tidak ada, Wan. Ibu sudah meninggalkan kita, Wan.” Saya menangis tersedu
menyampaikan kalimat-kalimat itu. Duka saya terus tertumpah. Saya benar-benar
merasa hancur. Tak ada lagi kata yang dapat saya ucapkan.
Saya mendengar Pak Iwan
spontan terperanjat dan seperti orang melolong setelah mendengar saya. Dia ikut
bergegas melihat isteri saya yang sudah terbaring diam di atas meja dorong itu.
Dia pasti tak kan percaya kalau janazah yang ada di depan saya itu adalah
isteri saya yang pada hari Jumat malam (belum cukup 24 jam berlalu) membezuk
isterinya di RSUD itu. Pasti dia tidak akan yakin itu.
Saya dan isteri saya memang
baru saja dari rumah sakit itu malam sebelumnya. Jumat petang menjelang malam –sepulang
saya dari Singapura-- itu saya mendapat SMS dari Pak Iwan. Dia minta izin untuk
tidak mengajar besok, hari Sabtu. Katanya, isterinya masuk rumah sakit karena
gangguan pada jantung. Ada di lantai VI RSUD,
begitu dia memberi informasi via SMS itu ke HP saya. Pak Iwan memang salah
seorang guru SMA Negeri 3 Karimun, sekolah yang saya pimpin sejak awal tahun
2008 lalu. Untuk itu dia memang harus minta izin jika tidak bisa melaksanakan
tugas. Itu kewajiban seorang guru.
Sore Jumat, ketika saya beritahu kalau isteri Pak Iwan sedang di rumah
sakit, isteri saya yang begitu sehat wal’afiyat langsung mengingatkan dan
mengajak saya melihatnya malam itu juga. Dia selalu tidak mau menunda-nunda
menjenguk orang sakit. Makanya kami pergi malam itu ke rumah sakit: membezuk
isteri Pak Iwan. Masih terngiang di telinga saya bagaimana isteri saya bergurau
dengan isteri Pak Iwan yang tengah terbaring dengan tali infus di tangan. “Awak
terlalu capek tuh, Tuhan marah dan disuruh istirahat
je,” kata isteri saya dengan nada bergurau. Itulah cara dia barangkali
menghibur sehabatnya yang tengah sakit. Ibu Pak Iwan adalah anggota
Dharmawanita SMA 3 Karimun yang isteri saya adalah ketuanya.
Selama ini memang sudah menjadi kebiasaan isteri saya. Kalau dia
mendengar ada teman-temannya di rumah sakit, atau sedang sakit di rumah, dia
pasti akan mengajak saya untuk melihatnya. Begitu pula jika ada berita
kematian, dia akan meninggalkan pekerjaan lain atau mengatur pekerjaannya untuk
dapat melihat orang-orang yang sudah menghadap Tuhan itu. Kami selalu berdua
pergi menjenguk orang-orang sakit atau orang-orang yang telah berpulang ke
rahmatullah. Begitu pula untuk pergi menyelesaikan berbagai hal kami juga
selalu berdua.
Orang-orang di Karimun, kota tempat kami bermastautin dalam sembilan tahun terakhir bahkan menyebut kami,”
Kalau ada Pak Rasyid, pasti ada Ibu.” Saya tidak keberatan dicap dengan kalimat
seperti itu. Saya mencintai dia. Dan selalu berduaan, adalah salah satu cara
oleh saya untuk membuktikan saling cinta itu. Dialah yang mengisi lahir dan
batin saya selama ini. Saya bangga
disebuat selalu berduaan kemana-mana. Bahkan ketika saya memotong rambut pun dia ikut
dengan saya. Dia akan duduk menanti saya di tempat cukur rambut itu.
Untuk hal ini saya harus
jujur bahwa saya dan isteri saya memang senantiasa pergi berdua. Termasuk untuk
bepergian lainnya kami terus berdua. Pergi ke undangan pesta pernikahan, kami
berdua. Berjalan sore atau kapan saja sekedar ‘makan angin’ kami tetap berdua.
Bepergian ke luar –daerah-- Karimun, jika bukan urusan dinas –karena tugas—dia
juga akan saya bawa bersama. Ke Malaysia ,
ke Batam, ke Pekanbaru atau ke mana saja; jika sekedar untuk berjalan-jalan dia
pasti akan bersama saya. Tidak akan pernah saya tinggalkan dia. Begitulah cara
kami membangun cinta kami berdua. Dari awal membina rumah tangga begitulah
adanya.
Bahkan ketika kami
berkesempatan menunaikan ibadah haji pada musim haji 1427 H (Tahun Masehi 2006/
2007) kami merasakan betul berbahagianya hidup berdua. Di Madinah, awal mula sampai
di Tanah Suci, ketika kloter (kelompok terbang) haji kami melaksanakan sholat arbain selama delapan hari, Selasa (12/ 12/
2006) sampai Selasa (19/ 12/ 2006) tidak pernah satu hari pun kami berpisah
dari rumah ke masjid atau sebaliknya. Hanya karena sholat harus berpisah di
masjid Nabawi itu barulah kami berpisah selama dalam masjid. Dan sesudah sholat
atau ketika melaksanakan ziarah ke raudhoh,
ke maqom baqi ‘ atau ke tempat-tempat bersejarah
lainnya kami tetap berdua bersama kawan-kawan lain.
Begitu pula ketika berada
di Tanah Suci Mekkah kurang lebih satu bulan (20/12/2006 hingga 17/01/2007)
menanti datangnya wukuf dan pasca wukuf di Arafah. Selama musim haji, di Masjid
Al-Haram jamaah laki-laki dan perempuan memang tidak ada hijab (pembatas) saf seperti di Nabawi. Maka saya dan isteri bukan
hanya di sepanjang jalan menuju masjid atau menuju rumah pemondokan saja kami
selalu tidak terpisahkan, di dalam masjid pun kami mencari tempat yang tidak
terlalu jauh. Saya akan mencari saf yang sama dengan saf dia. Dia akan
mengambil ujung saf sebelah kanan wanita sementara saya mengambil ujung saf di
sebelah kiri laki-laki. Dengan demikian kami akan tetap berdekatan (dalam satu
shaf yang sama) walaupun dalam masjid sekalipun. Itu pengalaman manis yang
tidak akan pernah terlupakan dan tidak akan pernah juga akan terulang lagi
bersamanya.
Berjalan dari masjid ke
rumah pemondokan bahkan kami berpegangan tangan. Terkadang kami diejek
–bergurau-- oleh sesama jamaah satu regu karena seolah-olah tidak pernah
lepasnya tangan kami. Ah jika itu saya bayangkan, betapa nikmat dan
berbahagianya hidup rukun dalam rumah tangga. Dia benar-benar isteri sejati
yang pantas untuk diteladani.
Saya sesungguhnya tidak
ingin berlebihan memberi predikat teladan kepada isteri saya, Hj. Rajimawati
binti Abdul Mutolib, anak perempuan terbungsu pasangan H. Abdul Mutolib dan Hj.
Ramnah. Tapi itulah yang tepat harus saya berikan untuknya. Seperempat abad
kami bersama, saya tahu dan mengerti betul karakter dan jiwanya. Saya merasakan
langsung bagaimana dia menajalankan peran seorang isteri, ibu dari anak-anak
saya. Begitu pula perannya di luar rumah sebagai masyarakat atau sebagai
anggota Dharmawanita dan PKK.
Dalam 24 tahun sejak anak
pertama kami, Rizky Febrinna (Kiky) lahir pada 3 Februari 1987 di Tanjungbatu
Kundur dan anak saya yang kedua, Fahry Errizik (Ery) juga lahir di Tanjungbatu
pada 29 November1988 hingga anak saya yang ketiga Syarfi Razky (Opy) yang lahir
di Moro pada 20 Oktober 1994 dia tidak pernah mengeluh dalam mengasuh, merawat
dan memelihara mereka. Dia begitu tabah dan cekatan mengurus anak-anak saya.
Hanya sekali-sekali saja saya harus dan dapat membantunya. Selebihnya dialah
yang mengasuh, membesarkan dan mendidiknya menjelang sampai waktunya masuk TK
atau masuk sekolah.
Sebelum kami punya anak,
pada awal saya dipercaya menjadi Wakil Kepala Sekolah di SMA Negeri Tanjungbatu
Kundur –pada tahun 1986-- yang memerlukan waktu saya hampir seharian di sekolah
dia tetap tabah sendirian di rumah. Apalagi ketika sekolah ini membuka kelas
siang (double shiff) karena tidak cukup ruang kelas dan saya ditunjuk
menjadi Wakil Kepala Sekolah Urusan Kurikulum, saya benar-benar tenggelam
seharian di sekolah. Saya hanya berkesempatan pulang siang sebentar untuk
makan. Selebihnya saya harus ke sekolah lagi. Saya tahu, waktu itu sesungguhnya
dia sangat memerlukan teman karena sudah dalam keadaan hamil anak saya yang
pertama.
Hanya dua bulan menjelang
kami mempunyai anak pertama di awal 1987 itu, dia hanya dan dapat ditemani emaknya,
Ibu Ramnah, mertua saya. Dia datang ke Tanjungbatu
dari Pekanbaru karena isteri saya itu akan melahirkan. Isteri saya tidak mau
pulang ke Pekanbaru, ke tempat kedua orang tuanya untuk melahirkan. Dia
berperinsip, “Di mana ada suami di situlah melahirkan.” Sungguh perinsip yang
sangat menghargai utuhnya rumah tangga. Padahal waktu itu, beberapa –guru-- teman
saya yang dari Pekanbaru, jika akan melahirkan, dia akan kembali ke Pekanbaru
untuk melahirkan. Tapi isteri saya tetap di Tanjungbatu, tempat saya bertugas. Ketiga
anak kami memang lahir di mana saya bertugas. Dia memang tidak mau melahirkan
ke Pekanbaru, misalnya, tempat kedua orang tuanya berada hnaya untuk sekedar
menyenangkan diri sendiri.
Kesan lain yang tidak mungkin saya lupakan betapa berat dan tingginya
tanggung jawab isteri saya ini adalah ketika anak-anak saya (waktu itu baru dua
orang) sudah mendekati masa-masa sekolah. Kiky yang tua sudah minta sekolah
meskipun umurnya baru 4 tahun waktu itu. Melihat temannya –tinggal-- di sebelah
rumah kami pergi ke sekolah tiap pagi, dia pun minta sekolah juga. Setiap pagi
sehabis mandi, Kiky akan berdiri dengan pakaian yang sudah rapi melihat teman
bermainnya pergi sekolah. Itulah sebabnya dia juga minta sekolah.
Akhirnya kami sepakat mengantarkannya ke TK Pertiwi yang berlokasi di
sekitar belakang Kantor Pos Tanjungbatu. Jarak rumah kami –di Tanjungsari-- ke
sekolah itu cukup jauh. Tidak bisa ditempuh berjalan kaki. Saya tidak ada waktu
untuk mengantar anak saya ke TK itu karena pagi-pagi saya biasanya sudah ke
sekolah. Saya wajib ke sekolah lebih awal karena tanggung jawab tugas yang
diamanahkan Kepala Sekolah, Pak Supardjo Suk, BA waktu itu. Jadi, isteri saya
itulah yang harus mengurus kedua anak-anak saya pergi dan pulang sekolah.
Saya ingat betul, dialah yang sambil berbelanja pergi mengantar dan
menjemput anak saya ke TK. Yang bungsu, Ery didudukkan di bagian depan
–keranjang besi-- sepeda sanki yang saya beli di rombengan (Sawang) sementara
kakaknya Kiky duduk di belakang. Sepeda itulah yang ada dan didayung isteri
saya setiap pagi mengantar dan menjemput anak saya ke sekolah. Ah, sayang… kau
memang wanita sejati yang sangat mengerti suami yang masih susah hidupnya. Tidak
berlebihan disebut isteri teladan.
Tapi Sabtu malam ini dia sudah tiada. Dia pergi tanpa meninggalkan
pesan apapun kepada saya. Hanya kebahagiaan berumah tangga sajalah yang saya
rasakan bersamanya menjelang kejadian ini. Bahkan Jumat malam itu dia pun masih
menunaikan tugasnya sebagai isteri sejati melayani suami. Adakah kebahagiaan
itu sebagai tanda-tanda akan datangnya ujian ini? Hanya Allah yang Maha Tahu.
Yang saya tahu, Sabtu kelabu itu telah menjadi garis batas terenggutnya nyawa
isteri saya dari dekapan saya. Saya masih tertegun memandangnya terbaring kaku
di meja itu.
Saya minta Pak Iwan menyampaikan berita duka ini kepada siapa saja. HP
saya masih dijemput anak saya ketika itu. Bersama anak Pak Iwan (menggunakan
motor) dia pulang ke rumah untuk menjemput HP. Karena panik dan ingin cepat ke
rumah sakit (saat dia dia tiba-tiba sesak dan susah bernafas sehabis sholat
magrib) itu dua HP saya dan satu HP isteri saya tidak sempat terbawa.
Saya melihat Pak Iwan
sangat sedih setiap menelpon seseorang, menyampaikan berita duka ini. Saya
ingatkan Pak Iwan untuk menyampaikan terlebih dahulu ke guru-guru SMA Negeri 3
Karimun atau kepada siapa saja yang dia ingat. Kata Pak Iawan, semua orang yang
dia hubungi seolah tidak mau percaya berita kematian itu. Saya percaya kalau
orang-orang itu memang tidak akan mudah percaya isteri saya telah tiada.
Dua-tiga hari lalu, malam semalam, bahkan sorenya ketika saya naik mobil pulang
dari dokter Awang Lim, orang masih menganggap isteri saya sehat-sehat saja di
samping saya duduk menyetir mobil.
Setiap orang yang diberi
tahu oleh Pak Iwan, mereka terkejut. Mereka seperti tidak percaya dengan berita
yang disampaikan. Berulang-ulang diyakinkan barulah mereka mau percaya. Bahkan
ada yang langsung datang ke RSUD terlebih dahulu, baru mau percaya kalau isteri
saya telah tiada. Begitulah kejadian itu begitu
mendadak datangnya. Saya sendiri serasa bermimpi. Pikiran saya serasa melayang
entah kemana. Saya tidak menduga dan tidak bisa percaya. Dia sama sekali tidak
memberi tanda-tanda kalau dia akan meninggalkan saya secepat itu untuk
selamanya.
Begitu mendadaknya sampai semua orang seperti tidak bisa mempercayainya.
Ibu Zaita, tetangga sebelah rumah saya yang juga sama sekali tidak tahu keadaan
isteri saya, mendadak meraung-raung di ruang UGD itu sejurus dia sampai di
rumah sakit. Dia terkejut diberi tahu oleh anak saya Ery (Fahry Errizik) lewat
telpon dari Tanjungpinang. Ery, beberapa menit sebelumnya memang diberitahu
oleh anak saya Opy menggunakan HP saya kalau mamanya mendadak sakit sekitar
pukul 19.00 itu. Namun sebelum sempat dijelaskan keadaan mama secara detail HP
diputus karena kami harus melarikan mamanya itu ke rumah sakit.
Jadi dalam penasarannya itu dia mencoba menghubungi Ibu Zaita tentang
kondisi mamanya. Dan Ibu Zaita sendiri yang sama sekali tidak tahu mencoba
menelpon ke HP saya dan isteri saya juga tidak ada jawaban. Akhirnya dia pergi ke
rumah sakit dan menemukan isteri saya sudah terbaring diam. Maka pecahlah
tangisnya yang begitu menyedihkan. Dia seperti meraung-raung sambil
memukul-mukul punggung saya. “Bapak, ngapa Bapak tak beri tahu…Bapak, ngapa
Bapak tak beritahu… Mengapa Ibu…mengapa Ibu,” berulang-ulang dia bertanaya
sambil memeluk dan memukul-mukul punggung saya.
Dia terus memeluk saya
sambil menangis dan tetap memukul saya. Saya tidak bisa berbuat dan berkata
apa-apa lagi. Lidah saya seperti terkunci. Pikiran saya serasa begitu kosong.
“Mimpikah saya?”. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Ibu Zaita itu.
Dia sangat shok dan terpukul tidak akan bisa lagi melihat orang yang selama ini
sudah dianggapnya sebagai ibunya. Dia bukan saja tinggal berdampingan rumah
tapi keluarganya dan keluarga saya sudah serasa satu keluarga.
Dia tidak pernah tahu dan
tidak pernah membayangkan kisah tragis itu. Bahkan magrib itu dia masih pergi
bersama suami. Dia memang tidak diberi tahu kalau sore tadi sebenarnya isteri
saya sudah mengalami sakit mendadak yang seharusnya dia tahu. Tapi itu sudah berlalu, dia sama sekali tidak memperoleh informasi sama
sekali. Dan ketika kami buru-buru dan memekik memberi tahunya, dia tidak ada di
rumah. Sampai akhirnya dia hanya tahu, isteri saya telah tiada.
Hampir setengah jam mayat isteri saya di rumah sakit sejak perawat
memberi penjelasan tadi. Setelah diberi surat
keterangan, sebuah ambulance telah menunggu di halaman belakang RSUD. Saya,
anak saya yang tua dan Ibu Zaita ikut bersama janazah isteri saya. Kami bersama
di dalam ambulance itu akan menuju ke rumah tempat tinggal saya, tempat tinggal
isteri saya dan anak-anak saya sejak tujuh tahun lalu.***
bapak... suami yang hebat, alhamdulillah, ingin saya banyak belajar dari bapak. salam dari jauh... di depok
BalasHapus