"SAYA diundang ke sini oleh 4000-an guru yang hadir ini yang diwakili Ketua PGRI Karimun, adalah untuk memberi pencerahan kepada Bapak/ Ibu Guru. Pertanyaan saya, sudah cerahkah saya? Karena syarat memberi pencerahan adalah dia wajib cerah terlebih dahulu." Begitu kalimat awal Prof. Dr. Firdaus LN, MSi ketika berorasi pada puncak peringatan Hari Guru Nasional 2010 dan HUT (Hari Ulang Tahun) PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) ke-65 Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) hari Kamis (02/12/10) di Gedung Olahraga (GOR) tertutup Badang Perkasa Karimun.
Guru Besar --yang katanya berbadan kecil-- Universitas Riau Pekanbaru asal Kabupaten Lingga Kepri itu datang ke Karimun memang atas undangan Ketua PGRI Kabupaten Karimun untuk memberi pencerahan kepada segenap guru (dari TK hingga SLTA) yang dalam puncak peringatan itu juga dihadiri oleh para pejabat teras Karimun. Hadir di GOR nan megah itu antara lain Bupati Karimun, Dr. H. Nurdin Basirun, S. Sos MSi; Wakil Bupati, H. Aunur Rafiq, S. Sos MSi; Ketua DPRD Karimun --diwakili wakil ketua, Anwar Abu Bakar--; serta para pejabat teras setingkat Kepala SKPD Karimun. Hadir juga Ketua PGRI Provinsi Kepri, Drs. Ismail, MPd.bersama beberapa pengurus PGRI Provinsi lainnya.
Banyak materi dalam orasi yang bertema, "Melihat Peran Strategis Guru untuk Menjadi Guru Profesional dan Bermartabat," yang diuraikan dalam waktu tepat satu jam sesuai jatah waktu yang diberi panitia. Tapi yang menggelitik hati saya justeru kalimat pembuka, "Kalau mau menjadi pencerah, cerahkanlah diri terlebih dahulu." Itu benar-benar menyintuh perasaan terdalam siapa saja. Masalahnya ada banyak yang merasa pantas memberi pencerahan tapi dirinya sendiri masih gelap gulita alias belum cerah. Begitu sinyalemen yang dilontarkan Pak Prof ini.
Seumpama pak ustaz yang suka menceramahi jamaah di masjid atau di surau, ternyata si ustaznya tidak mengamalkan isi ceramhanya. Menyuruh sholat tapi tak sholat. Menyuruh berzakat atau sedekah tapi kikirnya setengah mati. Menyuruh jaga persaudaraan dan silaturrhim, tapi tersinggung sedikit saja sudah tidak mau menegur dan memaafkan.
Begitu pula seumpama Pak Polisi yang suka mengingatkan, jangan mencuri atau memanipulasi tapi banyak cerita tentang polisi yang pungli. Katanya jangan melanggar aturan lalu-lintas dan aturan berkenderaan, tapi tak jarang si baju coklat itu yang melakukannya sendiri.
Atau kisah Pak Jaksa dan Pak Hakim yang mengerti hukum dan pasti sering memberi pencerahan di bidang hukum tapi juga belum steril dari pelanggaran hukum. Kisah-kisah mafia hukum yang dibaca di media belum juga terlepas sepenuhnya dari keterlibatan oknumnya. Itu contoh seumpamanya. Dan masih bisa ditelusuri kontradiksi pence3rah yang mungkin belum cerah ini di institusi lain. Di sekolah dengan guru yang suka bohong alias tak jujur dalam menjalankan tugas. Di kantor-kantor lembaga pemerintah yang pejabatnya suka berkelit dalam tanggung jawab. Dan pasti masih banyak lagi yang lain.
Kalau yang dimaksudkan Pak Prof itu adalah contoh-contoh yang saya sebut itu, memang akan masih sulit kita menemukan si pencerah yang benar-benar telah cerah dirinya terlebih dahulu. Tak mudah menilai, memang. Tapi tak susah juga mencari pencerah yang ternyata hanya pura-pura seperti sudah cerah. Lain di mulut lain pula di hati. Munafiq.
Peribahasa, "Semut di seberang laut kelihatan tapi gajah di pelupuk mata tak kelihatan," memang tepat buat kelompok ini. Tapi mengamalkan filsafah tangan menunjuk yang mengingatkan satu jari menuju ke orang tapi empat jari mengarah ke diri sendiri sebagai peringatan agar jangan suka menyebut kesalahan orang lain karena boleh jadi kesalahan diri sendiri mungkin empat kali lipat jumlahnya, insyaallah nasehat ini dapat mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam memberi pencerahan.Apalagi Pak dan Ibu Guru yang ber-HUT hari ini, hati-hatilah selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar