HARI ini Tina akur saja dengan suaminya, Safro. Sama sekali dia tidak bertanya, mengapa suaminya mengajaknya ke Aula Darunnadhwah, Masjid Agung. "Kita harus ikut berdoa, sayang." Sudah enam kali Safro mengucapkan kalimat itu ke isterinya. Terakhir malam tadi, menjelang tidur. "Jangan lupa, ya besok kita bangun agak pagi. Kita ikut berdoa bersama, sayang." Tina sebenarnya geli hati mendengar Safro tiba-tiba menyapa dengan sayang. Seperti awal sebelum menikah dulu. Sejak anak pertama lahir dampai kini mereka punya lima orang anak, Safro tidak pernah lagi menyebut kata sayang.
"Tina, ayo bersiap-siap. Kata panitia, pakai baju warna putih." Safro sendiri sudah sejak pukul enam pagi tadi memakai baju koko putih dengan bawahan hitam. Pecinya juga hitam. Tidak memakai songkok haji yang diberikan H. Herman itu. Songkok haji itu adalah favorit Safro kalau ke masjid. Tapi kali ini dia memakai peci hitam. "Ayo, sayang kita berangkat. Biar dapat duduk bagian depan." Begitiu bersemangat Safro mau ke acara istighosah kubro dalam rangka satu abad NU itu.
Tanpa ba bi bu, Safro langsung masuk ruangan ber-AC itu. Dia duduk di barisan kedua karena saf pertama itu sudah terisi penuh bagian tengahnya. Dia memilih saf kedua bagian tengah, tepat sejajar ke depan dengan podium pejabat yang akan hadir pada acara langka ini. Setelah 10 menit, 20 menit dan hampir satu jam duduk, para pejabat belum juga hadir. Panitia mengisi waktu dengan bacaan solawat. Safro sudah gelisah. Acara belum juga dimulai. Kapan ini? Katanya dalam hati. Lalu dia berdiri dan diam-diam pergi.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar