Di
akhir Ramadhan umat akan memasuki Syawal dan tentu saja Hari Raya Idul
Fitri. Akankah akhir Ramadhan alias awal Syawal akan terjadi perbedaan?
Tidak mustahil jika melihat awalnya yang berbeda. Namun, MUI (Majelis
Ulama Indonesia) sudah memberi pernyataan. Mengutip tulisan yang dimuat hajinews.id
hari Senin (04/04/2022) lalu MUI menyatakan Perbedaan awal Ramadhan
tidak serta-merta akan membuat akhir Ramadhan juga berbeda. MUI Sebut
Hari Raya Idul Fitri 2022 Berpotensi Dilaksanakan Serentak, Meski Awal
Ramadan Berbeda. Artinya akan sama.
Penjelasan itu mengeaskan bahwa benar Kementerian Agama dan Muhammadiyah telah mengumumkan tanggal yang berbeda untuk awal menjalankan ibadah puasa Ramadan 1443 Hijriah. Namun perbedaan tersebut tidak akan menjadi dasar Syawal bebeda juga. Bagaimanapu masyarakat cukup khawatir juga. Akankah berbeda lagi, itulah kekhawatiran utama.
Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjelaskan bahwa perbedaan tersebut tidak akan terjadi pada hari Raya Idul Fitri nanti sedikit menyenangkan perasaan. MUI mengatakan bahwa lebaran tahun ini berpotensi akan dirayakan secara serentak. Sebagaimana dikatakan Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan hari Sabtu (02/04/2022) bahwa Idul Fitri berpotensi sama. Untuk itu Amirsyah dikatakan mendorong Pemerintah agar lebih terbuka untuk masalah ini, biar masyarakat tidak merasa cemas.
Amirsyah berharap perbedaan tidak akan muncul terkait hari lebaran. Terlebih, momen istimewa itu membentangkan pula pertalian antara seluruh lapisan masyarakat. Dan atas perbedaan itu Pemerintah harus lebih arif dan bijaksana mendengar masukan dari berbagai pihak, sehingga tidak ada potensi perbedaan masuk 1 Syawal 1443 nanti. Begitu kurang-lebih yang dapat kita pahami dari beberapa media yang menyiarkan sikap MUI melalui Sekjendnya.
Kita
memang sangat berharap, kebersamaan lebaran adalah momentum yang sangat
tepat untuk kelihatan lebih kompak dalam merajut kebersamaan sesama
anak bangsa. Kita melakukan ibadah puasa didasarkan niat dan keikhlasan.
Artinya tidak akan ada resah atas lamanya berpuasa. Maka janganlah
sampai resah di saat akan mengakhiri puasa. Kita tahu perbedaan Idul
Fitri adalah potensi dan kerawanan yang dapat menimbulkan keresahan itu.
Tapi dengan toleransi dan pemahaman yang benar atas satu perbedaan akan
menjadikan kebersamaan dan persatuan tetap terpelihara.
Mengulang
penjelasan Amirsyah yang menerangkan ibadah puasa 1 Ramadan sebenarnya
berlaku sama bagi umat di seluruh dunia secara syar'i. Namun, penetapan
tanggal dapat berbeda karena metodologi yang berbeda pula. Muhammadiyah
tetap berpegang teguh pada pedoman hisab hakiki wujud al-hilal. Rumusan
tersebut menggarisbawahi bulan Ramadan dikatakan dimulai bila memenuhi
sejumlah kriteria secara kumulatif. Kriteria tersebut yakni terjadinya
ijtima’ (konjungsi) sebelum matahari terbenam. Selain itu, piringan atas
bulan terlihat berada di atas ufuk saat matahari terbenam. Amirsyah
mengatakan kriteria-kriteria itu telah terpenuhi pada Jumat (1/4/2022)
itu.
Sementara itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Abdul Mu’ti mengatakan metode hisab Muhammadiyah dalam menentukan
Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha hingga waktu-waktu salat ini sudah
digunakan sejak lama, yakni sejak organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad
Dahlan. “Jadi dalam kaitan ini sebenarnya bukan praktik baru di
Muhammadiyah, karena Muhammadiyah berpendapat penetapan awal Ramadan dan
akhir Ramadan serta Idul Adha merupakan satu rangkaian dalam ibadah.”
Tentu saja keyakinan ini tidak dapat diubah begitu saja.
Dengan
metode seperti dijelaskan di atas berapapun posisi hilal jika memang
perhitungan sudah masuk maka dihitung sebagai bulan baru. Hal itu jelas
Mu’ti berdasarkan pada firman Allah di beberapa surat, seperti Surat
Ar-Rahman maupun Surat Yunus.Maka sedari awal, lanjut dia, Muhammadiyah
telah memutuskan waktu-waktu untuk Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.
Itu sebabnya Muhammadiyah selalu mengumumkan hasil hisab itu tiga momen
sekaligus.
Informasi lain kita ketahui bahwa Pemerintah saat ini
mengadopsi standar baru. Kemenag memakai standar menteri-menteri agama
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) 2021.
Kriteria baru MABIMS menetapkan hilal dapat diamati jika bulan memiliki
ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat.
Kabarnya, berdasarkan pengamatan pada Jumat (1/4/2022) malam, bulan
masih berada dalam posisi ketinggian kurang dari 2 derajat dan
elongasinya sekitar 3 derajat.
Kata seorang pakar, “Hilal
kemungkinan tidak teramati. Kalau ada yang mengeklaim melihat hilal,
dimungkinkan itu bukan hilal. Secara astronomi klaim itu bisa ditolak.,”
terang pakar astronomi, Thomas Djamaluddin saat sidang isbat pada Jumat
(1/4/2022) sebagaimana dimuat hajinews.id.
Terlepas dari
pengamatan itu, pihak-pihak terkait tak lantas menjadi saling tuding.
Sebab perbedaan interpretasi bersifat relatif. Perbedaan itu juga tidak
akan mengurangi pahala seseorang. Maka dalam menyikapi perbedaan harus
dihindari pendapat satu-satunya yang benar, sementara yang lain salah.
Sikap ini tentu akan menimbulkan masalah dan seolah tidak menerima
pendapat lain. Begitu keterangan Sekjen MUI.
Apa yang kita pahami adalah bahwa Al-Qur’an memang memberikan porsi ‘perbedaan pendapat’, porsi ber-ijtihad lebih banyak agar umat Islam kreatif dan dinamis dan dapat bermusyawarah, bersedia untuk berdialog dan saling memahami satu sama lain. Amirsyah turut menyinggung urgensi dalam bidang pendidikan keagamaan. Ia mengusulkan perubahan arah dalam sistem agar masyarakat Indonesia dapat menjadi lebih toleran. Menurutnya, perbedaan tidak seharusnya melahirkan pertentangan dan permusuhan. Sebab, perbedaan merupakan rahmat.
Apapun keadaannya, kita sebagai masyarakat di bawah hanya ingin ketentraman dan keyakinan yang tidak mendatangkan perpecahan. Bersatu dalam perbedaan yang ada juga satu rahmat yang harus tetap dijaga. Semoga bangsa kita tetap utuh dan keyakinan kita tidak rusak atau saling meragukan.***
Sudah diposting di terbitkanbukugratis.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar