KETIKA ditanya mengapa begitu susah menjalankan ketentuan dan atau peraturan oleh masyarakat kita di negerinya sendiri, salah satu penyebabnya adalah karena minusnya keteladanan dari para tokoh (pemimpin) kita. Jika ada pemimpin yang memberikan keteladanan, jumlahnya sangat sedikit. Terbatas jumlahnya.
Berbagai pelanggaran yang setiap saat dapat disaksikan, itu dikarenakan tidak adanya contoh kepatuhan pada peraturan oleh orang-orang yang seharusnya mencontohkannya. Esensinya tiada keteladanan dalam penerapan peraturan.
Dari pelanggaran yang paling kecil –seumpama membuang sampah sembarangan– hingga pelanggaran super besar –seumpama menilep uang rakyat hingga miliaran bahkan triliunan rupiah– terus saja dapat dilihat atau didengar beritanya di media masa. Tidak adanya orang-orang yang pantas untuk dicontoh dalam penerapan peraturan dan ketentuan yang seharusnya dilaksanakan membuat orang lain tidak merasa bersalah dalam melakukan pelanggaran.
Sesungguhnya mereka yang dipandang sebagai tokoh sejatinmya menunjukkan dan meneladankan kepatuhan terhadap peraturan dalam kehidupan sehari-hari. Namun banyak yang tidak mencontohkan bagaimana mematuhi perturan dalam kenyataan sehari-hari. Masyarakat awam yang harusnya mematuhi segala ketentuan yang berlaku dalam kehidupan, bingung atau enggan melakukannya karena tak adanya keteladanan. Maka jadilah begitu sulitnya menerapkan peraturan di tengah-tengah masyarkat sendiri.
Harus diakui, sejak bangsa ini berpemimpin sendiri (baca: merdeka) belum juga menjadikan kebiasaan (karakter) ‘patuh pada peraturan’ sebagai tradisi hidup. Belum juga timbul tradisi merasa wajib mematuhi segala peraturan. Justeru yang terdengar di dalam masyarakat adalah pameo, ‘peraturan dibuat untuk dilanggar’ yang mencerminkan betapa bangsa ini lebih cenderung melanggar peraturan dari pada mematuhinya. Disadari atau tidak, karakter yang terbangun justeru karakter melawan ketentuan.
Pameo itu tidaklah isapan jempol saja. Di hampir semua tempat dan semua tingkatan –institusi, komunitas, kelompok, dst—dengan sangat mudah terjadi dan ditemukan pelanggaran peraturan walaupun seharusnya tidak perlu terjadi pelanggaran. Melawan kebenaran dan ketentuan seolah sama enaknya dengan mendapatkan keberuntungan.
Di institusi atau lembaga tertentu, misalnya sudah tidak asing lagi orang berbicara perihal banyaknya terjadi pelanggaran hukum oleh oknum pegawai di instansi terfsebut. Geli, memang jika direnung-renungkan, ketika seorang pegawai melanggar aturan kepegawaiannya sendiri. Mereka sebenarnya telah merusak institusi mereka.
Cerita bersambung ala mafia hukum di institusi hukum atau pelanggaran aturan kepegawaian di institusi kepegawaiannya juga ada dipertontonkan. Kisah-kisah oknum pejabat yang memeras, yang menjadikan jabatannya untuk memeras atau korupsi, misalnyaternyata masih ada.
Di banyak institusi memang masih banyak kita dengar atau kita baca berita perihal pelanggarannya. Di keuangan ada oknum yang menilep iyuran pajak, di instansi lain pun ada pelanggaran. Tentu saja, ini hanyalah oknumnya. Bukan kebijakan instansinya. Termasuk di lapangan hijau (sepakbola) juga kita dengar ada pelanggaran hukum.
Di sekolah? Pun tidak kurang pelanggaran hukumnya. Mulai dari guru yang terlambat mengajar, siswa yang tak hendak menghiraukan tata tertib sampai kepada pencurangan ujian. Asyiknya, sekolah-sekolah yang berhasil dengan baik mencurangi ujian asalkan tingkat kelulusannya tinggi dan kecurangannya tidak diketahui, maka sekolah itu dianggap baik oleh masyarakat. Juga dianggap baik oleh pemerintah Ironis terkadang.
Untuk dan atas segala penaggaran itu selalu ada alasan pembelaan. Pembelaan yang selalu dikemukakan tentu saja bahwa pelanggaran itu tidaklah dilakukan oleh lembaganya. Itu hanya oleh oknum-oknum saja. Inilah yang selama ini dijadikan alas an untuk tidak pernah mau memberantas pelanggaran tersebut. Padahal yang kita inginkan adalah membasmi segala pelanggaran.
Di sinilah perlunya keteladanan. Harus ada yang mencontohkan bahwa peraturan itu memang harus dipatuhi. Jangan lagi dilanggar. Bahwa keteladanan itu berat, memang berat. Tapi kapan bisa maju jika peraturan belum juga bisa dilaksanakan dengan baik.
Jika bangsa ini tidak bisa mencontoh Jepang atau Jerman yang kesadaran ketaatan akan peraturannya sudah sangat tinggi, kita bisa saja mencontoh Singapura yang untuk mencontohkan keteladanan harus dipaksakan. Jika di Jepang atau Jerman rakyatanya sudah secara naluri (tanpa paksa) mematuhi peraturan sementara Singapura kita kenal kepemimpinannya yang keras (boleh disebut diktator) namun untuk kepentingan bersama. Kita bisa saja mengadoposi cara-cara singapura ini.
Di negera kita rasanya memang perlu ada pemaksaan pelaksanaan peraturan sekaligus adanya keteladanan yang juga dipaksakan. Jika ini sudah berhasil, barulah barangkali satu hari nanti pelaksanaan peraturan itu menjadi kesadaran. Dan sekarang, sepertinya sudah mulai ada pemaksaan tertentu di kesempatan tertentu untuk mematuhi peraturan. Sebutlah saat adanya razia peraturan. Ini adalah contoh bagaimana memaksakan pelaksanaan peraturan. Namun yang paling penting tetaplah keteladanan dari pemimpin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar