BERKESEMPATAN ikut webinar Perpusdikbud (Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) RI dengan tema Bincang Sahabat #Perpusdikbud yang dilaksanakan Perpusnas bersama Media Guru Indonesia tentu saja sebuah kebanggaan. Bukan ikut webinar sematanya yang membuat bangga. Tapi sebagai anggota Media Guru Indonesia kebanggaan itu karena narasumber utama dalam webinar ini adalah CEO Media Guru, Pak Ihsan.
Saya percaya peserta webinar ini bukanlah semata anggota Media Guru Indonesia karena kegiatannya dilaksanakan oleh Perpustakaan Nasional. Pendaftarannyta juga terbuka untuk umum. Terbukti juga, para peserta webinar ini --dari yang mengajukan pertanyaan-- bukanlah semuanya anggota Media Guru. Ada yang baru ingin bergabung setelah mendapat informasi dari Pak CEO saat Bincang Sahabat #Perpusdikbud siang ini
Sebagai narasumber utama dalam webinar ini, CEO Media Guru, Pak Muhammad Ihsan memberikan informasi lengkap perihal kegiatan Media Guru Indonesia selama empat tahun berkiprah di ranah literasi ini. Pak Ihsan memberikan informasi perihal gerak-langkah Media Guru dalam mengembangkan literasi, khususnya membimbing guru dalam menulis. Bagaimana menjadikan guru dari tidak bisa atau tidak mau menulis menjadi bisa atau mau menulis.
Dia mengisahkan awal mula ide Media Guru dalam membuat gagasan Sagu Sabu, Satu Guru Satu Buku. Sagu Sabu angkatan pertama di Surabaya (Desember 2016) yang kata Pak Ihsan adalah angkatan terbaik sampai saat ini. Dari jumlah begitu ramai yang mendaftar dan hadir pelatihan di hari pertama ternyata pada hari keduanya tinggal sepertiganya saja. Katanya ini dapat dinmaklumi karena salah anggapan sejak awal tentang sertifikat, barangkali. Namun dari angkatan inilah akhirnya tumbuh angkatan-angkatan berikutnya. Saat ini sudah ribuan guru menjadi penulis buku. Sudah 10-an ribu buku terbit dari tangan guru.
Awal ide Sagu Sabu, kata Pak Ihsan adalah keprihatinan atas macetnya kenaikan pangkat guru khususnya dari golongan IV/a ke IV/b tersebvab tidak mampu menulis buku. Kita tahu, karya tulis adalah salah satu syarat untuk kenaikan pangkat. Maka muncullah gagasan besar ini, agar para guru tidak terus-menerus mengatakan tidak bisa menulis. Menurut Pak CEO, guru tidak menulis selama ini lebih disebabkan oleh sindrom merasa tidak bisa. "Saya menyebut sindrom tali kekang gajah," katanya. "Bayangkan gajah yang kakinya dikekang dengan rantai. Tidak bebas bergerak. Tenaganyang begitu kuat malah tidak bisa dipakai karena terkenang."
Pak Ihsan melanjutkan, "Jika nanti gajah ini dilepaskan rantai kakinya, walaupun sudah bebas tetap saja dia tidak bisa menggunakan tenaganya maksimal sebagaimana seharusny. Itulah sindromnya." Katanya, guru boleh jadi sepertim itu. Para guru sebenarnya punya kemampuan untuk menulis. Tapi mengapa tidak bisa? Karena memang terkenang selama ini. Jadi, ketika saatnya wajib menulis buku (untuk naik pangkat) malah tidak bisa menyulis.
Tip Pak Ihsan, untuk menulis seharusnya tidak harus semata untuk naik pangkat. Agar terus mau menulis, carilah alasan mengapa menulis? Selain sekadar naik pangkat kita juga harus mencari alasan kita mengapa harus menulis. Misalnya untuk menyebar ilmu, untuk menyalurkan hobi, untuk menyampaikan kebaikan, dan mungkin banyak lagi. Dengan itu kita tidak akan berhenti menulis, katan ya.
Pak Ihsan juga membuat kelompok guru. Anda akan berada di mana? Ada guru pintar mau berbagi, ada pula guru tidak pintar tapi mau berbagi. Lalu ketiga, ada guru tidak pintar mau berbagi, dan terakhiur ada guru tidak pintar tidak pula mau pula berbagi. Kita ada di mana? Saya pikir, ini memang harus menjadi renungan kita anggota Media Guru. Janglah di nomor terakhir itu.
Dalam pemaparan Pak Ihsan juga dia jelas bahwa ada khas Media Guru itu dalam menyukseskan program menulis buku berbanding kegiatan yang sama oleh instansi lain. Di Media Guru itu ada pelatihan, ada pembimbingan, ada percetakan dan bahkan ada pemasaran bersama sehingga bukunya bisa menjadi uaang juga. Mekanisme yang sama mungkin tidak ada di lembaga lain yang menyelenggarakan pelatihan menulis buku.
Pak Ihsan juga mengisahkan Pak Candra, seorang guru yang ahli membuat media pembelajaran hingga bisa masuk TV. Belakangan guru ini ternyata sakit dan bahkan meninggal dunia. Syukurnya, sebelum meninggal (dalam keadaan sakit itu) dia sempat bercerita dan menceritakan ilmunya dan kehidupannya. Termasuk dia mengisahkan kesalahannya, katanya. "Saya dihukum Tuhan, karena diberi kekayaan dan kesehatan tapi saya meracuni diri saya." Itu kata-kata Pak Candra yang diulang Pak Ihsan saat menjadi narasumber hari ini. Saat akan meninggal dia sempat menulis pengalamannya yang akhirnya menjadi buku. Buku itu bisa diunduh untuk dibaca. Demikian Pak Ihsan menjelaskan.
Ada banyak pengetahuan dan pengalaman yang disampaikan oleh bos MGI ini. Tentang statistik usia anggota MGI yang didominasi oleh guru-guru muda; tentang jenis kegiatan (program) MGI yang dapat diikuti para guru atau masyarakat yang cinta literasi; tentang konsep SaguSabu yang dikatakannya Dari Guru, Oleh Guru dan Untuk Guru; tapi kini juga mulai banyak orang-orang di luar guru yang ikut kegiatan Media Guru. Sungguh sangat beruntung mengikuti webinar kali ini. Yang pasti, Media Guru benar-benar melecut guru untuk terus menulis dan menulis.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar