Selasa, 07 November 2017

Belajar Membakar Al-Qur'an dari Terengganu

KEBIASAAN masyarakat (muslim) terhadap kitab suci Alquran yang dinilai sudah tak layak pakai atau simpan adalah dengan membuang begitu saja. Lazim dijumpai di tempat kita sikap dan tindakan seperti itu. Alquran yang sudah koyak, tercerai-berai satu halaman dengan halaman lainnya, biasanya dimasukkan ke tong sampah atau dibuang begitu saja. Padahal kita tahu bahwa kitab suci wajib dihormati. Kitab suci bukanlah kertas buku atau kitab biasa yang boleh diperlakukan seperti kertas biasa. Tapi itu masih selalu dijumpai.

Jika pun ada yang tidak memasukkannya ke tong sampah, paling-paling dibakar bersama kertas atau sampah lainnya. Alquran itu akan bercampur-baur dengan kertas dan sampah lainnya itu. Tidak musatahil bahkan akan bercampur-baur dengan sampah kotor dan bernajis. Betapa jelaknya perlakuan itu jika tetap dan terus begitu.

Tapi tidak dengan Malaysia, khususnya di Negeri Terengganu Darul Iman yang kebetulan pada hari Sabtu-Minggu (28-29/10/17) lalu kami (Pengurus MUI Kabupaten Karimun) berada di sana dalam kunjungan muhibah empat hari di Malaysia. Kunjungan silaturrahim ini memang bertujuan sebagai studi perbandingan dan pembelajaran dalam pengelolaan agama di dua daerah, Terengganu, Malaysia dan Karimun, Indonesia.
Alat Pembakar Alquran Terengganu

Salah satu yang dapat dipelajari dan ditiru adalah pengelolaan kitab suci Alquran oleh pejabat bersama masyarakat di sini. Bagaimana cara (memusnahkan) membakar Alquran dengan baik dan terhormat. Rombongan kami sangat terkesan dengan kebijakan penghormatan kepada alquran oleh Pemerintah bersama masyarakat (muslim) di sini.

Sesuai fatwa yang dikeluarkan para ulama Malaysia bahwa kitab suci Alquran yang wajib terpelihara kehormatan dan kesuciannya haruslah diatur pengelolaannya dari awal (pengadaan) ke penggunaan dan pemeliharaan hingga akhir masa keberadaannya. Jika harus dimusnahkan tersebab sudah tidak layak pakai atau simpan, maka harus dimusnahkan dengan cara baik.

Maka untuk pemusnahan kitab suci yang sudah tidak layak pakai atau simpan inilah Kerajaan (Pemerintah) setempat membuat kebijakan membakarnya hingga menjadi abu secara baik. Abunya juga harus dibuang dengan baik. Bahkan tidak dibenarkan untuk dijadikan pupuk dengan alasan pemanfaatan barang bekas meski sudah menjadi abu.
Dalam membakar Alquran yang tidak layak pakai atau tak layak simpan para pejabat di Jabatan Hal Ehwal Agama Terengganu menciptakan satu alat pembakar khusus. Alat itu cukup sederhana yang terbuat dari besi dan aluminium. Menurut keterangan, alat itu adalah hasil ciptaan (rekayasa) salah seorang pejabat di Jabatan Hal Ehwal Agama Negeri Terengganu sendiri. Menindaklanjuti fatwa ulama yang mewajibkan pemusnahan alquran secara baik, maka diciptakanlah alat itu agar proses pemusnahannya bisa layak dan terhormat.


Semua Al-Qur'an dan buku-buku yang ada tulisan ayat-ayat suci Al-Qur'annya dikumpulkan dengan rapi di jabatan ini. Ini juga sebuah kebijakan yang bagus. Masyarakat diminta menyerahkan semua berkas yang sama ke jabatan (kantor) ini untuk dikelola sesuai ketentuan. Masyarakat tidak dibenarkan membakar sendiri dengan caranya apa lagi dengan cara tidak baik. 
Abu Alquran diberi air untuk dibekukan

Setelah semua alquran dan buku-buku yang mengandung ayat-ayat suci alquran terkumpul, Pemerintah Terengganu melalui Jabatan Hal Ehwal Agama Negeri Terengganu menetapkan tanggal pembakarannya. Tidak bisa juga dibakar sesuka hati karena jadwal pembakaran inipun sudah ditetapkan seara resmi. Lalu dibakar hingga menjadi abu. Selanjutnya abu ini diberi campuran air dan dimasukkan ke dalam ember kosong sebagai acuan atau cetakannya.

Mengapa harus dibekukan? Ini juga satu pemikiran yang cerdas untuk mengatasi pencemaran lingkungan yang sebelumnya terjadi. Akibat abu pembakaran itu, ketika angin datang menerpa menyebabkan abu itu berterbangan. Tentu saja menyebabkan pencemaran lingkungan. Tidak mudah mengumpulkan abu itu ketika akan membuangnya. Maka timbul ide agar setelah dibakar, abunya kembali dibekukan dengan mencampurnya dengan air.
Setelah kering pada ember yang dijadikan sebagai acuan (cetakan), abu yang sudah menjadi bingkahan itu dikeluarkan dari acuannya. Selanjutnya bongkahan abu-abu itu dibuang ke laut lepas, tempat terakhir pemusnahan kitab suci itu.  Di dalam air, bongkahan itu kembali akan mencair bersama air alut.
Contoh bongkahan abu yang sudah beku

Satu hal yang menarik adalah sikap menghormati Al-Qur'an yang begitu tinggi dari masyarakat bersama pemerintahnya. Tidak ada lembaran-lembaran mushaf yang punah secara tak baik. Semua kertas atau lembaran Alquran sejak masih baru dan utuh hingga rusak dan tak bisa dipergunakan lagi tetap dihormati dengan baik.

Sikap dan tindakan ini tentu saja tidak datang tiba-tiba. Perlu pemahaman dari berbagai komponen, khususnya dari Pemerintah sendiri. Masyarakat tentu harus diberi pencerahan tentang perlunya menghormati alquran sebagai kitab suci.

Pelajaran penting dari proses pembakaran ini tentu saja tidak sekadar belajar membakar alquran dengan benar. Tapi yang utama adalah bagaimana kita menghormati alquran dengan sempurna. Tidak setengah-setengah. Sebagai kitab suci, alquran memang selayaknya diperlakukan sedara layak pula.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Ramadan, Puasakah Aku?

Sudah kutahan tidak makan seharian Sudah kutahan pula tidak minum seharian Lama, sangat lama Sedari imsak hingga ke tennggelam surya ...