FENOMENA Jokowi membuat banyak tokoh politik bagaikan merana. Tidak hanya
lawan-lawan PDI-P, partai pengusung Jokowi yang tidak suka tapi di
internal partai merah itu juga tidak kurang yang sewot melihat Jokowi bak
meteor di blantika perpolitikan Indonesia. Syukurlah, kekuatan Mega dengan
pengaruhnya yang masih dominan berhasil membuat keberadaan Jokowi di internal
PDI-P tidak menimbulkan riak apapun. Dugaan Mega merasa tersaingi oleh Jokowi
juga tidak dibesar-besarkan media.
Sementara (Nenek) Mega tidak juga menegaskan bahwa dia tidak lagi akan maju
sebagai Capres PDI-P padahal mandat partai 'wong cilik' itu diserahkan
sepenuhnya ke dia untuk menunjuk, penggemar Jokowi terus-menerus melambungkan
gubernur berbadan kurus itu. Di berbagai media, terutama media sosial, Jokowi
terus dipuji-puja walaupun juga ada yang menghina. Yang pasti nama Jokowi terus
berkibar di atas puncak elektabilitas para calon yang sudah mendeklarasikan
dirinya. Bahkan jauh meninggalkan elektabiltas Mega sendiri.
Di satu sisi, isteri almarhum Taufik Kiemas itu tentu senang karena
partainya secara tidak langsung akan terbawa nama 'hebat' Jokwi tapi di sisi
lain, di hati terdalamnya juga gusar karena ternyata keberadaan Jokowi dalam
gerbong PDI-P tidak serta-merta mengerek nama bosnya di elektabiltas Capres.
Jokowi berkibar di puncak memang karena dirinya sendiri. Nama Jokowi malah jauh
lebih di atas dari pada Megawati. Ini jelas tidak mudah diterima oleh pemilik
kuasa tunggal partai itu.
Belakangan, berita hangat yang disuburkan media adalah kemungkinan Jokowi
diduetkan dengan Mega dalam Capres-Cawapres 2014 nanti. Artinya Jokowi akan
diplot saja sebagai Cawapres. Padahal nama Jokowi itu naik justeru dalam posisi
Capres. Elektabilitas Jokowi sebagai Capres yang tidak pernah tertandingi oleh
siapapun membuat fenomena Jokowi semakin fenomenal saja. Berita dan analisis
tentang Jokowi, baik sebagai Gubernur DKI yang diulas bersama Ahok maupun
sebagai pribadi yang digadang-gadang pendukungnya untuk maju sebagai presiden
RI nanti, membuat nama Jokowi terus melambung tinggi.
Jika para pendukung Jokowi saat di tanya, apakah mendukung Jokowi sebagai
Capres atau sebagai Cawapres, dapat dipastikan bahwa yang diinginkan adalah
Jokowi sebagai Capres. Bukan sebagai Cawapres. Bahkan diduetkan dengan Megawati
sekalipun, pendukung Jokowi akan kecewa karena yang diharapkan adalah posisi
RI-1. Hanya di posisi itu Jokowi akan berkekuatan penuh mengelola negara ini
sebagaimana dia mengurus DKI yang penuh masalah itu.
Mega yang di satu sisi sudah diharapkan sebagian besar para
pendukungnya untuk lengser secara terhormat namun di sisi lain sang Ketua
Umum ini juga tidak secara eksplisit menyatakan akan lengser demi partai atau
akan maju terus, membuat peta Capres-Cawapres di PDI-P memang masih mengambang.
Dan Mega sepertinya memang sengaja mengambangkan keputusan tentang hal penting
ini. Dia selalu mengatakan bahwa Capres PDI-P akan diumumkan setelah Pemilu
Legislatif nanti. Akan ada Munas partai lagi untuk memutuskannya. Sampailah opini
seperti saat ini berkembang ke arah kemungkinan dia berduet dengan Jokowi. Itu
semua disebabkan dia belum membuat ketegasan. Kelihatannya dia menikmati
suasana politik seperti itu.
Jika Golkar dengan beraninya memutuskan Abu Rizal Bakri (ARB) sebagai jagonya
tanpa Cawapres, Hanura mendeklarasikan Wiranto- Hari T sebagai Capres-Cawapres
dan Gerindra memutuskan Prabowo tanpa Cawapres tinggal PDI-P dan Partai
Demokrat, partai relatif besar yang belum memutuskan. Hanya saja strategi
keduanya juga berbeda. Partai Demokrat melakukan konvensi terbuka untuk
memutuskan jagonya sementara PDI-P malah sepenuhnya diserahkan ke Mega untuk
menunjuk siapa calonnya. Akankah menunjuk orang lain atau dirinya sendiri,
anggota dan pengurus partai lainnya tidak berhak menggugatnya. Itulah khasnya
PDI-P.
Tapi jika mengikuti arus suara di media, sepertinya tingkat keterpilihan
Mega memang tidak akan bisa lagi diatas para capres lainnya. Fakta dua kali dia
maju dan tidak pernah dipilih rakyat secara mayoritas, akan menjadi kartu mati
Mega di Pemilu 2014 nanti. Apakah karena itu lalu muncul ide menggandengkannya
dengan Jokowi yang namnaya lagi di atas awan? Boleh jadi begitu cara pandang
pendukung Mega. Bagaimanapun, orang-orang sepuh di partai banteng seperti
Tjahjokumolo, dkk selalu mengatakan Bu Mega masih pemimpin terbaik. Apakah
karena sekedar 'ambil muka' atau benar-benar di hatinya? Itulah politik.
Sebagai penyuka Jokowi, saya memandang tidak tepat jika Mega memaksakan
kehendaknya untuk maju menjadi Capres dengan memaksakan Jokowi sebagai
Cawapres. Itu akan menjadi bumerang buat partai. Sebagian anggota dan pengurus
begitu ramai yang berharap Mega turun terhormat, nanti akan terang-terangan
memberontak. Belum lagi penggemar Jokowi non partai yang juga akan balik kanan
mencari Capres lain yang lebih muda dan fresh untuk memimpin negara besar ini.
Jadi, jika Jokowi ingin digandengkan dengan Ibu Dyah Permata Megawati Setyawati
Sukarnoputri alias Ibu Mega yang sudah berusia hampir kepala tujuh (lahir
23.01.47) itu, aduh janganlah. Paling tidak menurut saya. Kasihan Jokowi dan
PDI-P sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar