SETELAH mengunjungi dua SMA unggul di Jogjakarta, beberapa hari yang lalu terasa ada yang mengkhawatirkan. Sekurang-kurangnya bagi saya pribadi. Tujuan studi banding para Kepala Sekolah SMA/ MA se-Kabupaten Karimun adalah untuk mempelajari bagaimana pengelolaan sekolah di sekolah-sekolah yang sudah maju, di Jawa sana. Tapi kini justeru membuat rasa takut saya. Bisakah pengalaman dua sekolah itu diterapkan di sekolah kita, di Karimun ini?
Pertanyaan itu muncul setelah secara langsung para Kepala Sekolah yang tergabung dalam MKKS SMA/ MA se-Kabupaten Karimun datang berkunjung ke SMA Negeri 2 dan SMA Muhammadiyah 1 Jogjakarta. Dua sekolah di Ibu Kota DIY itu adalah sekolah unggulan yang dulunya melaksanakan program SBI (Sekolah Berstandar Internasional) sebagai program sekolah unggulan oleh Pemerintah Indonesia.
Ternyata kemajuan-kemajuan yang diraih oleh dua sekolah itu sangat erat kaitannya dengan ketersediaan dana dalam usaha pengelolaan sekolah. Khusus untuk program pengembangan sekolah, kedua sekolah ini mempunyai dana yang sangat besar yang disupport oleh orang tua siswa. Walaupun salah satu sekolah itu adalah sekolah negeri (Pemerintah) namun ternyata pembiayaan oleh orang tua sangatlah besar.
Di SMA Negeri 2 Jogjakarta, selama ini mendapat support dana dari setiap siswa. Mulai dari dana investasi yang dibayar sekali dalam setiap tiga tahun sampai ke iyuran SPP yang sangat besar. Tidak kurang 200-an ribu rupian per siswa per bulan yang dimanfaatkan sekolah untuk usaha peningkatan mutu sekolah. Sementara di SMA Muhammadiyah 1 malah jauh lebih besar lagi. Mungkin karena sekolah ini adalah sekolah swasta yang hampir 100 persen dana operasionalnya disumbangkan oleh orang tua siswa. Rata-rata 1 juta rupiah (bahkan lebih) setiap siswa membayar setiap bulannya.
Lalu bagaimana dengan sekolah di Karimun yang cenderung orang tua siswanya ingin gratis. Bahkan sejak dikjucurkannya dana BOS ke setiap sekolah SLTA sejak enam bulan lalu, para orang tua menuntut untuk digratiskan biaya sekolah anak-anaknya. Susahnya, pihak Dinas Pendidikan pun ikut menyokong sikap orang tua yang ingin gratis ini. Beberapa sekolah yang masih menerima sumbangan rutin bulanan dari orang tua siswa, malah cenderung dipersoalkan oleh Dinas Pendidikan.
Lalu bagaimana sekolah akan mencontoh sekolah-sekolah yang dijadikan sasaran studi banding itu jika tidak ada support dana yang memadai dari orang tua? Di pihak lain, Pemerintah tidak juga memberikan dana yang cukup dalam usaha pengembangan sekolah di sini. Akankah studi banding itu menjadi sia-sia belaka? Itulah kekhawatiran sesingguhnya dari saya dan atau kami yang berangkat 'belajar' mengelola sekolah ke Tanah Jawa. Adakah jalan untuk menerapkan strategi dan pendekatan yang diterapkan sekolah-sekolah di sekolah-sekolah kami? Hanya sejarah yang akan mencatatnya nanti. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar