KETIKA saya menuju ke Bandara Changi, Singapura bersama isteri saat menjemput adik ipar (Sabariah), di dalam teksi yang kami tumpangi kami meraakan ada kenyamanan berjalan di jalan raya negara pulau itu. Saya dan isteri ngobrol kecil memuji bersihnya jalan yang kami lalui menuju bandara. Walaupun begitu lebatnya daun pepohonan di sepanjang jalan, sepertinya tidak tampak sampah daun atau sampah lain di sepanjang jalan itu.
Ingin rasanya kita mempunyai jalan-jalan yang bersih juga di negeri kita, kata saya dalam hati. Tapi perasaan itu saya utarakan juga ke isteri yang duduk di sebelah kiri saya dalam taksi yang dikemudikan oleh seorang bernama Melayu tapi berwajah Eropah itu. Dia mula-mula diam saja mendengar kami ngobrol berdua. Saya yakin dia pasti mendengar obrolan kami berdua.
Sepuluh menit taksi berjalan, sopir itu masih diam. Saya sempat menangkap pandangannya melirik saya lewat kaca di atas kepalanya itu. Akhirnya saya beranikan menyapanya. "Singapura, aman-aman aja, Nchik?"
Dia menjawab, alhamdulillah. Selepas itu dia diam lagi. Saya tak tahu apakah dia tersenyum atau tidak ketika menjawab tadi. Dia memang tidak melirik kami. Pandangannya tetap ke depan dengan kenderaan lumayan kencang. Dia mungkin merasa perlu agak cepat karena tadi kami sudah memberi tahu jadwal pesawat yang akan kami tunggu.
"Nchik, sepanjang jalan ini bersih dan rapi. Banyak pokok dan daunnya lebat. Tapi saya tak lihat ada sampah daun atau sampah lain di sepanjang jalan yang kita lalui ini?"
Dia menjelaskan kalau petugas kebersihan jalan raya itu bertugas sepanjang siang dan malam. Mereka bergantian menjaga kebersihan jalan. Begitu dia memberi penjelasan.
"Tapi dari tadi kami tak melihat ada petugas yang sedang bekerja? Bagaimana mau bekerja kalau kendaraan begini banyak di jalan ini?" tanya saya lagi.
Akhirnya dia menjelaskan bahwa petugas ini bekerja umumnya malam hari. "Saat kendaraan tidak terlalu padat," jelasnya. Tapi jika mereka akan bekerja siang begini juga bisa. Mereka menyapu jalan ini tidak lagi pakai sapu tangan. Mereka menggunakan lori yang langsung menyedot sampah-sampah itu. Jadi kita tahu itu petugas kebersihan maka kita pun harus hati-hati.
Saya masih memberikan pujian kepada sopir ini. Saya mengatakan kalau Singapura dikatakan aman dan nyaman. Lalu dia menjawab agak merendah. "Negeri kami ini kecil, Pak. Pulaunya kecil sahaja," katanya. dia menambahkan kalau kita naik kendaraan dari ujung ke ujung hanya perlu waktu satu jam saja. Kira-kira begitu dia memberi penjelasan. "Kalau Batam memang lebih besar dan susah diurus," katanya.
Saya terkejut menyebut Batam. Apakah karena dia tahu kota madya di Provinsi Kepri itu memang agak kotor berbanding Sinmgapura atau karena dia selalu mendengar Batam tidak begitu aman? Entahlah. Yang pasti, di negeri kita memang pulau-pulaunya sangat besar dan luas. Tentu saja sangat berbeda tingjkat kesulitan mengurusnya.
Karimun saja yang mungkin tidak terlalu besar, masih belum mampu menjadi daerah yang bersih, teratur dan rapi. Kendaraan, walaupun belum sebanyak di Batam apalagi Singapura, tapi sudah mulai semraut membuat macet jalan. Sampah-sampah juga berserakan di banyak tempat. Sangat berbeda dengan Singapura. Tapi sopir ini tetap merendah bahwa Singapura mudah diurus kaena memang daerahnya kecil. Mungkin juga, kata saya menutup catatan perjalanan ini.
Kurang lebih setengah jam kami pun sampai di bandara Changi. Kami diantarkannya ke Terminal 3, sesuai permintaan kami. Kami pun masuk ke ruangan tunggu di dalam gedung yauangng dikelilingi kaca bening itu. Hah, sejuknya di ruangan ini, kata saya dalam hati. Kami duduk di kursi tunggu, di pintu 46 Terminal 3, sesuai pesan Sabariah, adik isteri saya yang sebentar lagi akan mendarat dari Jepang sana.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar