PASCA
Ujian Nasional (UN) lazimnya ada satu kegiatan yang sepertinya sudah menjadi
kegiatan rutin yang wajib di setiap sekolah. Wajib dilaksanakan oleh sekolah
terutama oleh para peserta didik kelas akhir yang baru saja menuntaskan ujian
akhir di satuan pendidikannya. Itulah acara perpisahan atau disebut juga acara
'pelepasan' siswa kelas akhir. Benarkah acara perpisahan itu wajib? Dan apakah
sudah benar pelaksanaannya?
Semalam (Kamis, 25/ 04/ 13)
adalah acara perpisahan siswa kelas XII di sekolah tempat saya mengabdi, SMA
Negeri 3 Karimun. Pada jam dan hari yang sama juga diadakan acara yang sama
oleh SMA Negeri 4 Karimun di tempat yang berbeda, tentunya. Dan mungkin ada
belasan atau ratusan sekolah mengadakannya di tempat lainnya di Tanah Air ini.
Tiba-tiba saja saya teringat kembali memori acara yang sama di salah satu
sekolah lainnya, di kabupaten ini juga setahun yang lalu. Kebetulan saya ikut
(diundang) dalam acara itu. Acara itu sangat berkesan dalam pikiran saya karena
ada yang salah menurut pendapat saya.
Ingatan yang kembali muncul di
benak saya itu adalah acara perpisahan yang sepertinya lebih tepat sebagai
acara 'hura-hura siswa kelas tiga' yang merasa sudah terlepas dari beban berat
yang bernama UN itu. Karena UN adalah satu tahap ujian yang telah membuat beban
berat di badan dan di pikiran peserta didik maka mereka sepertinya mencari
pelampiasan emosi pasca ujian berat itu. Selain momen pengumuman kelulusan yang
mereka aplikasikan dengan coret-coretan pakaian, acara pelepasan alias perpisahan
ternyata juga mereka jadikan kesempatan untuk meluahkan perasaan yang tertekan.
Ini tentu saja menjadi salah kaprah jadinya. Perpisahan tidak harus menjadi
ajang hura-hura pelampiasan perasaan.
Saya melihat waktu itu,
kebanyakan para siswa di sekolah itu menjadikan acara perpisahan yang
seharusnya khidmat dan sakral menjadi acara tempat bersenang-ria yang cenderung
melupakan makna sebenarnya dari kegiatan acara perpisahan itu sendiri. Acara
perpisahan seharusnya adalah kegiatan yang memperkokoh hubunbgan komunikasi
antara pihak sekolah dengan orang tua yang sudah terjalin selama tiga atau enam
tahunan. Di bawah koordinasi pengurus komite sekolah selama tiga tahun para
orang tua siswa kelas IX (SLTP), kelas XII (SLTA) atau bahkan koordinasi enam
tahunan untuk siswakelas VI (SD) telah terjalin dengan baik.
Pada acara perpisahan ini
biasanya akan disampaikan review komunikasi tiga-enam tahunan itu.
Inilah pertemuan terakhir secara resmi antara pihak sekolah dengan orang tua
yang telah berjalan dengan baik selama ini. Biasanya pihak sekolah kembali akan
mengulas secara ringkas kemajuan dan kendala yang dihadapi sekolah. Sementara
perwakilan orang tua biasanya menyampaikan rasa terima kasih atas telah dididik
dan dibimbingnya putra-putri mereka.
Bagi para peserta didik yang
akan pergi (meninggalkan sekolah karena sudah lulus dan akan pergi melanjutkan
study di tempat lain) juga akan menggunakan kesempatan ini sebagai penyampai
rasa terima kasih secara resmi di hadapan orang tua dan guru-gurunya. Jika ada
pihak Dianas Pendidikan atau pejabat lain yang ikut hadir (diundang) mereka
juga akan berkesempatan memberi sambutan dan wejangan. Jadi, acaranya sebenarnya
begitu akan khidmat dan sakralnya. Di acara salam-salaman bahkan akan ada
tangisan haru antara anak-anak yang akan pergi dengan para guru yang akan
mereka tinggalkan. Di situlah puncak haru hubungan emosional antara guru dan
peserta didik.
Maka ketika ada tradisi peserta
didik yang menjadikan acara perpisahan sebagai acara pelepasan rasa tertekan
gara-gara ujian, di sinilah salah kaprah akan timbul. Bayangkan jika dalam
acara perpisahan ada peserta didik (siswa yang akan pergi) berjoget-ria dan
berjingkrak-jingkrak dengan hentakan irama music saat acara hiburan, apakah
kekhidmatan acara perpisahan masih ada? Ini sangat tidak baik karena sebenarnya
acara perpisahan bukan acara hiburan. Kalaupun ada bagian hiburannya,
seyogyanya hiburan itu juga disesuaikan dengan nuansa acara yang seharusnya
lebih mengharukan dari pada menggembirakan.
Salah kaprah ini kemungkinannya
ada banyak terjadi di banyak sekolah. Tentu saja kesalahan ini tidak terjadi
karena kesalahan sepenuhnya pada peserta didik atau panitia acara. Sekolah
sebagai penyelenggara adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Maka kepada
para guru atau panitia pelaksana perpisahan sudah seharusnya memperhatikan masalah
ini. Jika ada indikasi kesalahan setting acara disebabkan panitia atau sekolah,
maka tentu saja Kepala Sekolahn yang wajib mengawasinya. Kepala Sekolah jangan
membiarkannya. Tapi jika kesalahan itu hanya ada pada tataran siswa saja maka
panitia atau guru harus meluruskannya. Kebiasaan buruk sebagian siswa yang
cenderung larut oleh riang-gembira yang berlebihan pada saat acara perpisahan
hendaklah diubah. Itu harusnya menjadi tanggung jawab semua, termasuk anak itu
sendiri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar