Yang menyaksikan berita sore semalam di salah satu televisi swasta dengan topik khusus wawancara bertitel eksklusif dengan seorang bandar narkoba pasti akan ikut gundah. Walaupun tokoh itu disamarkan nama dan tidak diperlihatkan wajahnya (karena diatur membelakangi pemirsa) tapi suaranya jelas. Tutur bahasanya tegas dan nyata apa yang dia sebutkan. Setiap pertanyaan yang diajukan reporter televisi dia jawab dengan jelas dan terang.
Banyak juga penjelasan dari beberapa
pertanyaan yang dilontarkan pewawancara perihal peredaran narkoba di Tanah Air.
Satu pertanyaan ikutan dari banyak pertanyaan sebelumnya, dengan cerdik
pewawancara bertanya, “Apakah, kalau begitu aparat berarti tahu dan boleh jadi
terlibat?” Dengan mantap lelaki yang di layar televisi ditulis sebagai bandar
narkoba menjawab, “Ya, tahu. Pasti tahu. Bos, mengatakan aparat ikut
mengamankan. Berarti, ya terlibat.”
Inilah pernyataan yang menyentak
perasaan pemirsa, menurut saya. Penegasan itu melengkapi penjelasan bandar
narkoba yang disamarkan itu tentang bagaimana narkoba beredar di Indonesia,
dari mana narkoba didatangkan dan bagaimana prosesnya. Dari wawancara itu dapat
dipahami betapa ternyata aparat negara kita ikut bermain dalam pusaran
peredaran narkoba yang katanya sudah sangat akut dan dapat disamakan dengan
kejahatan teroris dan korupsi. Tapi bagaimana memberantas kejahatan mahaberat
ini jika aparat negara yang mesti memberantasnya malah ikut terlibat bermain?
Dua negara yang disebut si bandar
adalah China dan Nigeria. Dari luar negeri barang-barang haram itu masuk ke
Indonesia dengan berbagai modus. Salah satu yang dijelaskannya adalah lewat
laut. Nah, ternyata perjalanan dari laut ini saja sudah diketahui oleh aparat.
Ternyata si Bos bandar ini sudah koordinasi dulu dengan aparat untuk
mengamankan perjalanan barang itu hingga sampai ke darat. Di darat pun,
barang-barang ini tetap diamankan. Istilah yang dipakai si bandar adalah
jalan-jalan yang akan dilewati itu harus ’steril’. Duh, mengingatkan kita
kepada istilah yang dipakai dalam pengamanan perjalanan pejabat negara atau
presiden negara asing. Benarkah?
Bandar samaran itu juga mengatakan
kota-kota utama yang di jadikan star peredarannya. Dia menyebut, selain kota
Jakarta ternyata juga diedarkan lewat kota-kota seperti Jogja, Bandung,
Surabaya. Dari kota-kota ini barang ‘celaka’ ini didistribusikan ke banyak
tempat lainnya. Kerja mereka benar-benar rapi dan tidak mudah terendus aparat.
Rakyat ternyata tertipu, kalau perang melawan narkoba itu tidak sepenuhnya
kompak diberantas oleh aparat kita.
Jika pun ada beberapa kasus peredaran
yang tertangkap, itu hanyalah kesilapan ‘aparat pengaman’ itu saja. Dan jika
pun apes, aparat yang konon terlibat itu tidak pernah dapat ditangkap. Yang
ditangkap, lazimnya hanyalah pemain (bandar) kecil dan para pengguna saja.
Kasus Raffi Ahmad cs dan beberapa kasus sebelumnya, itu hanyalah kasus sangat
kecil yang beritanya sengaja dibesar-besarkan. Penangkapan pengedar dan
atau pengguna narkoba selama ini hanya besar dalam berita tapi tidak menyintuh
bandar besar yang sesungguhnya.
Lalu sampai kapan pemberantasan
narkoba di negeri kita dengan model-model begini. Belum jugakah benar-benar
tersadar para penguasa bangsa ini terhadap bahaya narkoba yang
digembak-gemborkan sangat kejam ini? Di media dikatakan kalau narkoba itu
sangat berbahaya. Di sekolah, di masjid dan di gereja atau di masyarakat selalu
diingatkan agar menjauhi narkoba. Tapi nyatanya peredaran narkoba terus saja
ada. Tidakkah ini memang benar apa yang dituturkan sang bandar samaran di
televisi itu bahwa aparat memang terlibat dalam carut-marut peredaran ini?
Beginikah hukum berjalan di negeri kita? Entahlah!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar