Beberapa cerita kita baca di media. Sebagian juga melihat dan menyaksikannya. Tetap saja duka menyelimuti perasaan kita. Disebutkan oleh seorang yang berkisah, Rumini satu malam sebelum erupsi. Katanya begitu akrabnya memeluk suami. Meski tidak ganjil tapi tidak selalu terjadi. Malam itu, suaminya menjadi saksi dan bersaksi. Hingga kita tahu, Rumini bertingkah begitu lain dari sehari-hari.
Hingga keesokan hari, ketika suami akan pergi mengais dan meraih reseki, Rumini juga berdadah-dadah kepada suami, hingga suami benar-benar pergi. Bagi sang suami, itu satu pertanda lain yang tidak pernah terjadi. Ditambahkan oleh pencerita, sampai di lokasi tempat mengais rezeki, suami tetap menyimpan was was atas tingkah-laku isteri, malam tadi hingga tadi akan meninggalkan isteri.
Ternyata, oh ternyata Rumini benar-benar ditemui dibawah balutan pasir erupsi tengah memeluk ibundanya. Pelukan malam tadi itu, adalah pelukan terakhir, kata sang suami. Kini pelukan abadinya diberikan kepada Ibundanya yang renta. Pasti tidak akan bisa berlari atau melarikan diri dari kepungan erupsi. Dan Rumini menjadi selimut terakhir dari Ibundanya di bawah selimut pasir erupsi yang berapi.
Begitulah tegarnya Rumini bertahan dengan pelukan tak tergoyahkan demi Ibundanya. Dia pergi untuk selamanya, boleh jadi sudah disadari oleh Rumini sebelum nyawanya benar-benar direnggut erupsi berapi. Tapi dia tidak gentar bertahan. Jika sekadar menyelamatkan dirinya, mungkin diizinkan Tuhan. Tapi dia tidak izin Ibundanya meregang nyawa sendiri diselimuti debu erupsi. Semoga syurga menantinya atas jihad demi Ibundanya ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar