BARU saja mendapat kiriman video dari seorang teman. Dishare di WA Grup Keluarga Kito Silaturrahmi. Tersindir juga rasanya oleh isi video singkat itu. Sepertinya video ini dibuat dalam rangka menyambut atau memperingati HUT RI ke-76 tahun 2021 ini. Tertulis di situ nama Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, MA. Tertulis juga judulnya 'Jangan Mau Ditikuskan Orang- Hikmah di Balik Kisah'. Geli-geli seram membaca judulnya dan mendengar tutur videonya.
Diawali dengan sebuah dialog antara seorang yang membawa karung (goni) dengan seorang lainnya. Begini --kurang lebih-- inti dialognya:
"Apa itu?"
"Tikus."
"Berapa?"
"Banyak."
"Untuk apa?"
"Ada yang memesan untuk bahan penelitian di laboratorium."
"Mengapa Anda terus menerus menendang-nendang dan menggoyang-goyang goni itu?"
"Agar tikusnya berbenturan."
"Maksudnya?"
"Tikus-tikus ini sehat. Giginya kuat. Agar kemampuannya itu tidak dipakainya untuk menggigit karung dan melepaskan diri dari karung maka dia harus berbenturan sesama dia. Kubuat mereka berkelahi sesama mereka. Dibuat mereka tidak sadar kalau mereka berada dalam karung. Dibuat mereka lupa dengan potensi yang mereka miliki sampai nanti mereka diserahkan kepada pemesannya."
Dialog itu diteruskan dengan narasi yang menceritakan kisah itu seolah menyindir bangsa kita. Begitu kata penuturnya dalam video itu. Katanya, saat ini kita ini seperti diadu antara satu orang atau satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kita tidak sadar kalau kita seolah sudah berada dalam karung yang tidak bisa lagi bebas berbuat. Dikatakan juga oleh penuturnya, kita ini ibarat sedang menumpang kapal amat besar dengan penumpang begitu banyak, kita sesama kita justeru berantuk. Nakhoda jalan sendiri-sendiri. Katanya, jika ini terus begini, tinggal menunggu kapalnya oleng lalu pecah dan penumpangnya berserak di laut maha luas. Tinggal menunggu disantap hiu dan ikan paus.
Kisah dan cerita itu layak untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi kita. Jangan mau ditikuskan sebagaimana kisah tikus dalam karung itu. Itulah pesan utamanya. Kita setuju pesan itu. Caranya, tentu saja dengan memperkuat persatuan kita. Menjauhkan silang-sengketa karena perbedaan. Kita memang berbeda-beda dalam naungan bhinneka tunggal ika. Jadi, tidak perlu dipersoalkan perbedaan itu. Kita harus tetap bersatu. Para pemimpin yang menakhodai negara ini juga tidak boleh berjalan masing-masing. Kita sangat setuju pesan itu. Satu Indonesia dengan satu falsafah meskipun kita ada perbedaan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar