Foto Republika |
GADIS manis, itu bernama Dessy. Lengkapnya Dessy Fransisca. Tadinya seorang non muslim. Kini jadi mualaf. Berganti keyakinan menjadi seorang muslimah. Seperti ditulis Republika (04/04/2021) dan dishare kembali oleh Hajinews.id (06/04/2021) ternyata gadis ini sempat bermimpi memakai jilbab sebelum benar-benar berpindah keyakinan. Kini bunga tidur itu menjadi kenyataan hidupnya.
Kita sama-sama tahu di keyakinan Islam bahwa setiap muslim berdoa. Dan ada doa yang selalu dipanjatkan seiring shalat lima waktu, yakni ayat dari surah al-Fatihah: “Ihdina ash-shirath al-mustaqim” (tunjukilah kami jalan yang lurus). Kata hada yang merupakan akar dari ihdina dalam ayat tersebut berarti ‘menunjuk’. Ini seakar dengan hidayah yang berarti petunjuk dari Allah.
Ternyata hidayah, itu tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang sudah beriman (Islam) saja. Atas izin Allah, orang-orang yang tidak atau belum berislam pun dapat menerimanya. Petunjuk Allah Swt menyinari siapapun yang dikehendaki-Nya. Itulah fakta yang selalu dapat ditemukan dalam kehidupan kita.
Catatan ini sebagaimana dishare Hajinews.id yang bersumber dari Republika membuktikan adanya hamba Tuhan yang belum muslim/ muslimah tapi juga mendapat hidayah Allah. Inilah kisah Dessy Fransisca yang mengaku bersyukur lantaran telah mendapatkan hidayah Allah Ta’ala. Hatinya sudah menerima cahaya kebenaran. Dua kalimat syahadat yang diucapkannya saat berikrar masuk Islam tidak hanya mengawali babak baru dalam kehidupannya, yakni sebagai seorang pemeluk agama tauhid, tapi jauh lebih hebat dari pada itu.
Lebih dari itu, ikrar tersebut juga menjadi pengingat baginya agar terus berupaya istiqamah dalam iman dan Islam. Karena itu, salah satu langkah pertamanya sejak menjadi muslimah ialah meninggalkan dunia malam yang sarat hal-hal syubhat, bahkan kebanyakannya haram.
Perempuan yang kini berusia 21 tahun itu lahir dari kedua orang tua yang non-Muslim di Pekanbaru, Riau. Sejak masih anak-anak, dia cukup longgar dalam hal agama. Diakuinya, waktu itu ia bukanlah penganut yang taat. Beberapa ritual yang diikutinya hanya perayaan-perayaan besar tahunan. Itu pun masih berpadu dengan kebiasaan umumnya warga keturunan Tionghoa.
Sejak lulus SMA pada 2018, Dessy memutuskan untuk pergi merantau ke luar daerah demi mencari penghasilan. Syukurlah, dia mendapatkan pekerjaan dalam bidang pariwisata di sebuah biro perjalanan di Bali.
Selama bekerja di Pulau Dewata, dia cenderung mudah terseret dalam dunia malam. Meskipun demikian, wanita ini merasa hatinya tidak nyaman akan lingkungan kerjanya. Gelisah kerap membayanginya lantaran ingin keluar dari lingkaran pergaulan tersebut.
Ada saatnya dia ingin menjauh dari dunia malam, tetapi itu sering berkaitan dengan pekerjaannya. Namun, Dessy akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja di sana. Selanjutnya, ia pun pergi merantau ke daerah lain.
Harapannya, ia akan menemukan lingkungan yang lebih berterima di hati dan pikiran. Berbekal pengalaman yang ada, sektor pariwisata masih menjadi pilihannya sebagai mata pencaharian.
Dari Bali, Dessy bertolak ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Di ibu kota provinsi tersebut, ia cukup lama mencari-cari lowongan pekerjaan. Dalam pikirannya, Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata favorit di Indonesia seharusnya menyediakan banyak lowongan terkait turisme. Tapi dia tidak menemukan itu.
Saat itu Dessy memang kurang beruntung. Sudah beberapa lama dia mencari pekerjaan, tidak dapat juga. Apalagi, pandemi Covid-19 semakin parah sehingga pembatasan sosial terjadi di mana-mana. Lowongan kerja kian sulit ditemukan. Dessy kemudian memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya. Dia pun mendapat pekerjaan sebagai pegawai administrasi.
Namun, posisi ini tak lama dipertahankannya. Sebab, perusahaan tempatnya bekerja terancam gulung tikar. Perempuan ini menjadi salah satu “korban” pemutusan hubungan kerja atau PHK demi kelangsungan perusahaan. Ia pun kembali menjadi seorang tuna karya.
Di saat berupaya menjauhi pergaulan yang tidak sehat, Dessy justru merasakan pahitnya kesulitan mencari pekerjaan. Penghasilan nyaris tiada, sedangkan uang tabungan terus tergerus. Bahkan, saking depresi dan putus asanya, sempat dia berniat melakukan bunuh diri. “Saya merasa kosong. Rasa-rasanya, kok masalah terus-menerus menimpa saya? Jadi saya putus asa saat itu.”
Selama di kampung halaman, Dessy terus dikuatkan mentalnya, termasuk oleh teman-teman dekatnya. Kebetulan, mereka seluruhnya beragama Islam. Dari kawan-kawannya itu, Dessy melihat adanya semangat hidup. Apalagi, ia merasa, mereka tak pernah depresi walaupun berbagai persoalan mendera hidup masing-masing.
“Seorang Muslim akan berserah diri kepada Allah SWT ketika masalah menghampiri. Dengan begitu, jauh dari rasa putus asa,” ucap dia menirukan perkataan seorang kawan Muslimnya.
Catatan kisah tentang Dessy yang dimuat di Republika dan Hajinews.id dengan judul, "Mengharukan, Mualaf Dessy, Depresi Hidupnya Hilang Usai Bersyahadat," sesungguhnya adalah iktibar paling berharga bagi kita. Siapa saja. Bahkan tidak hanya seorang mukmin-muslim. Karena hidayah Tuhan memang diperlukan manusia maka iktibar perolehan hidayah bagi Dessy adalah iktibar yangf penting bagi siapa saja. Seperti
kisah Dessy, dia sempat depresi tapi tidak pergi. Pergi merusak diri, misalnya***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar