Minggu, 03 Mei 2020

Biarpun Covid, Ku Tak Ingin Merasa Terhimpit

SATU hal yang tidak dapat ditolak dari covid-19 ini adalah begitu berbahayanya virus ini menyerang manusia. Jika tidak hati-hati saat dia menjangkiti kita, maka sangatlah fatal akibatnya bagi kita. Awalnya covid ini tidak kelihatan dalam keseharian. Tidak ada keluhan dari kita jika anti bodi kita masih mampu menjaga. Tapi dalam lima hingga dua belas hari ke depan, gejalanya mulai muncul: filek, radang tenggorokan dengan keluhan gatal dan batuk, demam, dan akhirnya akan sesak nafas. Kematian pun mengintai.

Penularan covid sangatlah cepat jika kita lalai. Ini benar-benar fakta yang ada di banyak kejadian. Pesan agar menjaga jarak, memakai masker saat bepergian, selalu mencuci tangan, tidak pergi ke tempat-tempat kerumunan dan beberapa rahan lainnya adalah bentuk protokoler pengelolaan virus corona yang lebih dikenal sebagai covid-19 ini kepada semua orang. Maka karena covidlah kini kehidupan menjadi semakin sempit. Malah terasa bagaikan menghimpit. Orang-orang menyebut istilah 'karena covid hidup menjadi sempit' sudah tidak salah lagi. Sungguh membuat ngeri dan khawatir.

Bagi seorang karyawan sebuah perusahaan yang baru saja dirumahkan karena arahan Pemerintah untuk menutup sementara perusahaan, saya adalah salah satu korban covid yang terasa menghimpit itu. Sejak dua pekan lalu semua karyawan di perusahaan tempat saya mencari makan diminta diliburkan. Malangnya, tidak ada uang makan apalagi gaji bulanan sebagaimana biasanya selama kami tidak masuk bekerja. Itu sudah ketentuan, kata manajemen perusahaan kepada kami. Hanya ada beberapa orang saja yang kabarnya ditugaskan mengurus perusahaan agar tidak terjadi sabotase.

Ramadhan seperti sekarang ini, seharusnya saya bersiap menghitung tabungan untuk mudik di akhir Ramadhan. Biasanya saya dan beberapa teman akan pulang mudik dua hari menjelang lebaran, ketika perusahaan memberikan cuti mudik. Tapi tahun ini sungguh covid membuat perasaan dan pikiran terhimpit. Sudahlah tabungan terkuras untuk makan dan sewa kontrakan, namun pulang mudik pun kini tidak bisa diwujudkan karena daerah ini menetapkan peraturan masyarakat tidak boleh keluar-masuk karena pengelolaan covid. Jadinya, saya tetap terkurung di rantau dan hidup seadanya.

Seperti sore ini, saat akan berbuka puasa begini, hati ini terasa sedih. Orang tua masih ada di sana. Tapi tahun ini sudah pasti tidak akan bisa menyalami tangan mereka. Sesungguhnya setiap tahun saya bisa mudik karena hidup sendiri sebagai bujangan di rantau memang tidak terlalu repot mau pulang ke kampung untuk menjenguk Mak-Ayah. Tapi tidak di tahun ini. Saya harus tetap membujang di rumah sewaan ini.

Ah, saya tidak boleh sedih, kata saya dalam hati sambil menatap perbukaan yang sudah tergeletak di atas lantai tanpa alas tikar itu. Saya menatap satu per satu piring berisi perbukaan itu. Ada nasi, lauk goreng tempe, sayur urab serta goreng bakwan serta gulai ayam dalam satu rantang. Hmm, baunya sudah mengunjungi hidung saya. Saya pastikan saya tidak akan merasa sedih dengan berbuka sendiri di kamar ini. Jujur, sejak puasa pertama hingga hari ke-10 puasa ini sepertinya saya sudah menikmati suasana yang setiap sore saya rasakan ini.

Saya ingin berpesan kepada siapapun. Dalam keadaan covid membuat ramai orang terjepit dan terhimpit terutama ekonomi, mari kita menikmati dan mensyukuri apa yang saat ini ada sama kita. Terima kasih, ya Allah. Engkau masih memberi saya rasa lapar dan akan menikmati makanan perbukaan ini dengan baik penuh syukur.***
Tbk, 03052020

2 komentar:

Beri Komentar

Postingan Terbaru

RLH Baznas Karimun Diresmikan Wabup

BELUM lama ini, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kabupaten Karimun meresmikan sekaligus menyerahkan Rumah Layak Huni (RLH) kepada mustahik...