ADA ratusan peserta didik (siswa) di setiap sekolah bahkan bisa lebih. Sekolah besar malah bisa mencapai jumlah antara 800 hingga 1.000 orang. Sekolah sedang bisa tidak kurang 500 hingga 600 siswa. Dan di antara sekian ratus siswa itu selalu ada beberapa orang yang memerlukan perhatian bahkan perhatian khusus.
Seperti di sekolah tempat saya bertugas, dari 432 orang siswa --kelas X, XI dan XII-- ternyata memang ada beberapa orang siswa yang selalu bermasalah. Bermasalah dalam arti selalu tercatat sebagai siswa yang melanggar tata tertib. Dari pelanggaran ringan seumpama terlambat hadir sampai ke pelanggaran setengah berat seperti ketahuan merokok bahkan yang lebih berat seumpama meminum minuman beralkohol.
Perihal siswa terlambat hadir, di sekolah ini hampir setiap hari ada saja yang tercatat di buku piket. Rata-rata 3-4 orang siswa terlambat hadir. Ketika bel dibunyikan tepat pukul 07.00 WIB dan seluruh siswa harus apel (baik di halaman sekolah maupun di depan kelas masing-masing) selalu saja satu dua orang yang terlambat ikut apel pagi itu. Sesuai ketentuan, setiap siswa yang terlambat harus melapor ke guru piket. Kaena sekolah belum berpagar, terkadang memang ada kesulitan mendeteksi siswa yang terlambat.
Untuk siswa terlambat sesuai ketentuan akan dicatat di buku piket. Lalu dilaporkan ke wali kelas masing-masing untuk mencatat poin pelanggaran yang dilakukannya. Jika jumlah poin pelanggarannya sampai batas tertentu, orang tua/ wali siswa bersangkutan akan dipanggil. Kepala Sekolah, melalui wali kelas akan meminta orang tua siswa bersangkutan hadir ke sekolah untuk mendiskusikan pelanggaran yang dilakukan putranya. Selanjutnya proses konsultasi itu akan dicatat dalam buku kasus untuk ditandatangani oleh masing-masing pihak sebagai bukti pelanggaran itu sudah diproses. Jika harus ada perjanjian, dibuat perjanjian sesuai ketentuan dan peraturan sekolah.
Untuk beberapa anak tertentu inilah terasa betapa sulitnya membina mereka. Berulang-ulang guru memproses dan menyelesaikan pelanggaran yang dialukannya tapi berulang-ulang pula dia melakukannya. Dari satu perjanjian ke perjanjian lainnya sudah ditandatangani. Dari wali kelas hingga ke guru BP sudah berusaha mencari jalan terbaik agar siswa ini terselamatkan. Sebagai sebuah institusi pendidikan, sekolah wajib membina para siswa seperti ini. Sekolah wajib berusaha agar mereka bisa berubah dari yang tidak baik menjadi baik.
Persoalannya adalah jika usaha-usaha pembinaan itu malah ditolak oleh siswa bersangkutan. Jika pun mereka berjanji (termasuk perjanjian menggunakan materai) ternyata ada saja siswa yang tetap melanggar perjanjian itu. Padahal nyata-nyata di surat perjanjian sudah disepakati bahwa jika sekali lagi melanggar tata tertib maka siswa tersebut bersedia dikembalikan kepada orang tuanya atau pindah sekolah. Di sinilah peliknya proses pembinaan itu. Mengapa? Karena tidak semua orang tua akhirnya dapat menerima konsekuensi itu.
Lebih runyam lagi, jika langkah terakhir yang disepakati itu akhirnya sampai beritanya ke Kantor Dinas Pendidikan dan atau ke Perintah Daerah. Bila akhirnya siswa tersebut harus dikembalikan kepada orang tuanya karena sudah tidak mau menaati tata tertib sekolah, ternyata persoalannya bisa juga belum selesai jika pihak Dinas Pendidikan dan atau Pemda salah memahami proses pembinaan itu. Terkadang malah sekolah juga yang dipersalahkan. Betapa sulitnya membina siswa seperti ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar