GONJANG-ganjing perlu tidaknya mencabut subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) terus bergulir. Berita pro-kontra tentang itu selalu muncul. Satu pihak menginginkan subsidi BBM dicabut karena dianggap sudah tidak tepat. Subsidi itu dikatakan lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang seharusnya tidak menerima: orang-orang kaya. Konon, 80 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh para pejabat (politisi dan birokrasi) yang ekonominya menengah ke atas.
Alasannya jelas karena para orang kaya itulah yang memiliki kendaraan roda empat. Satu keluarga bahkan bisa memiliki lebih dari satu mobil. Belum lagi mobil-mobil para pejabat itu adalah mobil dengan cc yang besar. Pasti saja penggunaan BBM-nya sangat boros. Selain itu, dengan subsidi BBM tarif listrik juga tidak terlalu mahal karena juga mendapat subsidi. Sementara daya listrik yang tinggi itu ada di rumah-rumah orang-orang kaya dan pejabat itu. Rumah mereka ber-AC yang tentu saja menyedot tenaga listrik sangat besar. Bandingkan dengan rumah-rumah rakyat miskin.
Karena keadaan seperti itulah para penentang subsidi BBM berkesimpulan kalau subsidi itu tidak tepat sasaran. Rakyat jelata hanya menerima sedikit sekali dari subsidi itu. Oleh karena itu, sudah saatnya subsidi BBM dicabut saja. Jika akan membantu rakyat, harus diubah caranya. Harus ada mekanisme yang tepat agar subsidi itu tidak dinikmati oleh orang-orang yang mampu.
Selain yang kontra subsidi, ternyata masih banyak pula yang meminta agar subsidi BBM tetap diberlakukan seperti saat ini. Rakyat sangat berharap dengan subsidi itu. Rakyat tidak kuat membeli BBM tanpa subsidi. Yang kuat menyuarakan agar subsidi tetap dipertahankan itu adalah para politisi yang konon membela kepentingan rakyat. Secara kasat mata, para politisi dari partai yang berseberangan dengan pemerintah selalu terdengar menentang dicabutnya subsidi. Benarkah itu demi rakyat? Atau sebenarnya demi mempertahankan harga murah yang terus dapat mereka nikmati?
Pemerintah sendiri, dengan alasan tidak mendapat persetujuan dari anggota DPR, cnderung pula mempertahankan subsidi seperti yang sekarang ada. Padahal sesungguhnya alasan tidak berani menaikkan harga BBM adalah karena khawatir tidak populer di mata rakyat. Pemilu 2014 adalah alasan yang sebenarnya mengapa pemerintah tidak berani mencabut subsidi BBM. Mereka takut partainya tidak akan dipilih rakyat lagi nantinya.
Jika saja pemerintah dan para pejabat itu tahu bahwa sebenarnya rakyat sudah duluan mencabut subsidi BBM tentunya mereka akan terkejut. Datanglah ke daerah-daerah yang penyaluran BBM (terutama premium) dibatasi. Apa yang terjadi? Rakyat malah membeli minyak jauh lebih mahal.
Di Karimun misalnya, SPBU hanya dibuka dari pukul 07.00 hingga 17.00. SPBU hanya ada satu saja. Pengisiannya pula hanya satu-satu (kiri-kanan) saja. Sehingga jumlah kendaraan yang mampu terlayani hanya dalam jumlah terbatas saja. Maka terjadilah antrian panjang yang berkepanjangan. Setiap hari tetap antrian kendaraannya akan mengular karena berebut ingin mendapatkan minyak.
Celakanya, yang ikut antri itu ternyata para pedagang jalanan yang menjual minyaknya kembali dengan harga dua kali lebih mahal. Mereka akan menangguk untung karena cadangan minyak di SPBU juga dibatasi. Dalam setiap pekan selalu ada masa-masa kosong minyak di pangkalan itu. Pada saat itulah mereka akan panen. Mereka tidak khawatir menjual harga dengan sangat mahal. Satu liter mereka jual Rp 10.000 (sepuluh ribu ruoiah). Padahal di SPBU mereka hanya membeli dengan harga Rp 4.500 (empat ribu lima ratus rupiah) saja.
Dua hari atau tiga dalam sepekan minyak akan putus di SPBU. Maka rakyat harus membeli premium jalanan itu. Di situlah sesungguhnya subsidi BBM itu sudah tercabut secara tidak langsung. Malah harganya jauh lebih mahal dari rencana pemerintah yang hanya Rp 6.000 (enam ribu rupiah). Tidakkah lebih baik subsidi itu dicabut saja? Dengan itu sisa harga itu bisa dikembalikan ke rakyat dalam bentuk lain seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Dua bidang ini sangat penting bagi rakyat namun terkadang tidak dapat dijangkau oleh rakyat.
Rakyat miskin masih kesulitan untuk sekolah walaupun anggaran pendidikan katanya sudah besar. Begitu pula untuk membeli dan keperluan kesehatan lainnya. Tidakkah duit subsidi itu lebih baik dikembalikan ke mereka yang membutuhkan?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar