MENULIS bagi guru bukanlah tak bisa. Akan tetap lebih karena belum
atau tidak mau memulainya saja. Begitu juga bagi masyarakat lainnya.
Keterampilan menulis tidaklah ditentukan oleh bakat atau garis keturunan
seseorang. Menulis lebih ditentukan oleh keinginan dan kebiasaan-kebiasaan
saja. Guru atau bukan, masyarakat awam atau pejabat berpaham, sama saja dalam
kreativitas menulis. Kalau mau menulis, tetap bisa menulis. Kalau tak ingin
pasti juga tidak akan bias menulis.
Kebutuhan menulis memang kelihatan
lebih penting bagi seorang guru dari pada orang awam, walaupun saya tidak
memandangnya begitu. Menurut saya, seharusnya semua orang perlu menulis.
Bukankah dengan menulis, apalagi dilengkapi dengan membaca, seseorang itu akan
dapat memperlambat pikunnya? Apakah harapan untuk tidak cepat pikun bukannya
harapan kita semua? Bahwa bagi guru itu tampak lebih perlu, itu lebih karena
perannya sebagai pendidik yang mesti meneruskan ilmunya kepada peserta
didiknya. Guru adalah pemberi dan pengembang ilmu bagi peserta didik sekaligus
pemotivasi mereka. Itu artinya akan sangat berguna keterampilan menulis baginya.
Sayangnya, kenyataan yang ada begitu masih sangat banyaknya guru yang tidak mau
menulis. Padahal seharusnya tidak begitu.
Terasa ada sesuatu yang terputus
antara masa-masa seorang guru menjadi mahasiswa dengan masa-masa setelah
mengabdi menjadi guru. Seperti kita tahu hampir semua guru --karena tuntutan
Undang-undang Guru dan Dosen-- adalah pemilik ijazah selevel S1 sebelum menjadi
guru. Atau sekurang-kurangnya ketika dan selama menjadi guru, mereka sekaligus akan
menempuh pelajaran kesetaraan atau kuliah tambahan untuk mencapai tingkat
pendidikan yang diwajibkan bagi seorang guru. Artinya seorang guru sudah
melalui pendidikan di Perguruan Tinggi.
Coba kembalikan memori masa-masa
kuliah itu. Tentu masih akan teringat betapa seringnya kita menulis. Baik atas
kesadaran sendiri maupun sekedar melaksanakan tugas-tugas wajib yang diberikan
dosen. Hampir setiap dosen mata kuliah yang kita ikuti akan meminta
mahasiswanya membuat semacam karya tulis minimal satu karya tulis dalam satu
semester. Jika dalam satu semester kita mendapatkan 5-7 mata kuliah untuk
menyelesaikan 18-22 kredit, misalnya berarti ada kurang lebih lima karya tulis
yang wajib dib uat.
Kalau begitu menulis bagi mahasiswa
memang sudah menjadi bagian rutin kegiatannya. Bahwa kemungkinan ada yang
memanfaatkan jasa lain dalam menyelesaikan tugas-tugas karya tulisnya bisa
jadi. Tapi yang melakukannya mungkin lebih sedikit dari pada mahasiswa yang
melakukannya sendiri. Begitu jugalah tentunya mahasiswa calon guru yang saat
ini sudah menjadi guru. Pada umumnya ketika mahasiswa dulu pastilah sudah
pernah atau sudah biasa melakukan aktivitaas menulis.
Lalu mengapa masih banyak
sahabat-sahabat guru yang enggan menulis setelah menjadi guru? Ketika aktivitas
menulis sebenarnya semakin dibutuhkan oleh seorang guru, maka sikap positif
terhadap aktivitas menulis itu harus terus dikembangtumbuhkan. Bukankah sebelum
seorang guru memulai proses pembelajaran di kelas, dia harus terlebih dahulu
menyiapkan materinya dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
atau bentuk skanario lainnya? Dan untuk keperluan ini otomatis diperlukan
keterampilan menulis. Jika tidak maka seorang guru akan cenderung melakukan
copy paste saja terhadap segala kebutuhan perangkat pembelajarannya itu. Tentu
saja ini sesuatu yang tidak baik bagi seorang guru.
Kini, di tengah begitu banyaknya
faktor pendukung bagi seseorang untuk memperlancar keterampilan menulisnya maka
selebihnya tergantung juga kepada sikap seseorang itu sendiri. Apakah menulis
itu akan dikembangkan sebagaimana pentingnya mengembangkan kebiasaan membaca,
terserah sepenuhnya kepada masing-masing orang. Tepuk dada, tanya selera. Kita
jualah yang tahu jawabannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar