HARI Rabu (05/09) lalu itu adalah acara Halal
Bilhalal Pasca Idul Fitri di Lingkungan Dinas Pendidikan Karimun yang
disejalankan dengan mengantar purnabhakti tugas Kepala
Dinas. Dihadiri bupati, wakil bupati, sekretaris daerah dan pejabat
teras Pemda Karimun lainnya, acara itu lebih bernuansa duka dan sedih
karena berakhirnya tugas dinas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten
Karimun, H. Haris Fadilla dari pada gembira karena menikmati ‘hari
kemenangan’ Idul Fitri.
Di spanduk yang terpampang di dinding bagian depan Gedung Serba Guna ‘Nilam Sari’ Komplek Kantor Bupati itu memang tertulis jelas “HALAL BILHALAL 1433 dan MENGANTAR BAPAK H. HARRIS FADILLAH MEMASUKI PURNABHAKTI” yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun. Dalam suasana Syawal, tentu saja acara itu tepat adanya.
Tepat pukul 09.35 acara dimulai. Agak terlambat dari jam undangan yang tertulis pukul 08.30 WIB. Tentu saja itu sudah biasa menurut pejabat kita. Jarang pernah ada acara yang melibatkan pejabat sebagai undangan yang benar-benar dilaksanakan tepat waktu seperti yang ditentukan. Sedih memang, lamanya bangsa ini merdeka tidak membuat rakyatnya dewasa dalam disiplin. Susahnya, yang selalu membuat acara molor adalah alasan menunggu orang tertentu (pejabat) yang belum datang.
Dimulai dengan atraksi tari persembahan oleh pelajar di Kota Tanjungbalai Karimun lalu dilanjutkan dengan wejangan tausiah singkat dalam rangka acara Halal Bilhalal itu. Sealnjutnya Kepala Dinas yang memasuki tugas purnabhakti memberi sambutan sekapur sirihnya. Baru akhirnya sambutan dan pengarahan Bupati Karimun, Nurdin Basirun. Acara diakhiri dengan bersalaman dan makan siang bersama.
Dalam sambutan dua pejabat itulah tertangkap nuansa haru nan sedih. Kepala Dinas yang harus mengakhiri jabatan yang sudah dipegang sangat lama itu tampak berusaha tegar dan riang. Dari sambutannya pula didapat informasi bahwa setelah satu priode tugasnya selesai, bupati kembali mengangkatnya dalam jabatan yang sama walaupun sebenarnya dia sudah waktunya pensiun sesuai umur pejabat struktural. Tapi tenaga dan keahliannya mengelola pendidikan masih diperlukan, maka perpanjangan masa penisunnya bahkan dijalaninya sampai dua kali. Dan tahun 2012 ini –setelah enam tahun menduduki jabatan yang sama– adalah masa terakhir jabatan itu dipegang. Sudah tidak boleh lagi diperpanjang. Begitu disampaikan.
Setiap pejabat dan siapapun dalam tugas apapun, memang pasti akan ada ujungnya. Itu memang benar. Hanya terkadang yang ditemukan di lapangan tidak selalu seperti itu. Yang menurut peraturan harus pensiun ternyata tidak juga kunjung pensiun dengan alasan peraturan membolehkan untuk diperpanjang masa pengabdiannya. Alasan itulah yang dipakai oleh bupati/ wali kota kepada beberapa pejabat yang dianggap layak diperpanjang pengabdiannya itu.
Hanya saja, masyarakat melihat fenomena bupati/ wali kota mempertahankan pembantunya lebih kepada hubungan pertemanan dan atau kekeluargaan belaka dari pada pertimbangan skill. Sulit memahami kebijakan menunda purnabhakti seorang pegawai negeri semata karena skill yang dimilikinya tidak ada pada orang lain. Sama sekali bukan sepenuhnya karena skilnya yang tak dimiliki oleh orang lain sehingga harus diperpanjang. Itu pandangan subyektif masyarakat. Tapi bupati/ wali kota tentulah punya penilaiannya sendiri.
Bagi pejabatnya sendiri, lazim pula berkeinginan untuk meneruskan kursi empuknya dalam dudukannya. Kata anekdok, “kalau sudah duduk sulit berdiri lagi.” Itu benar, seseorang yang duduk di kursi empuk sering tidak ingin berdiri atau bangkit lagi. Fasilitas yang berlebih dari pada jabatan lain serasa membuat perasaan tidak ingin melepas jabatan. Di situlah sedih dan duka akan muncul.
Sebaliknya, pejabat dengan integritas yang lebih baik biasanya tidak ingin meneruskan memegang jabatan tersebut jika saatnya memang harus sudah pensiun. Tidak perlu kasak-kusuk melakukan pendekatan kepada pihak-pihak tertentu bila saat pensiun memang sudah dekat. Tidak perlu juga membuat permintaan atau tindakan berlebihan agar mendapat perhatian demi jabatan. Sikap ini pula yang biasanya melahirkan rasa bahagia di ujung jabatan.
Sikap terakhir ini membuat rasa bahagia jauh lebih besar pada saat mendekati masa pensiun. Bukan karena tidak ingin melaksanakan lagi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan tapi lebih kepada perasaan dan kesadaran akan peralihan generasi yang memang sudah merupakan sunnatullah. Tidak perlu melawan kodrat itu. Kesempatan yang sudah diterima hingga sempurna tugas dan tanggung jawab sampai ke ujung tugas itu sendiri, sudah merupakan hidayah dan ma’unah yang tak tepermanai nilainya.
Jadi, mampunya seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya hingga ke level purnabhakti (kesempurnaan pengabdian) haruslah dipandang sebagai prestasi luar biasa yang mampu diraih. Ditambah keadaan pisik dan pikiran yang masih sehat dan segar ketika akan memasuki masa purnabhakti itu, subhanallah itulah kenikmatan yang membahagiakan. Bahwa ada rasa sedih, bukanlah karena berakhirnya jabatan.***
Di spanduk yang terpampang di dinding bagian depan Gedung Serba Guna ‘Nilam Sari’ Komplek Kantor Bupati itu memang tertulis jelas “HALAL BILHALAL 1433 dan MENGANTAR BAPAK H. HARRIS FADILLAH MEMASUKI PURNABHAKTI” yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Karimun. Dalam suasana Syawal, tentu saja acara itu tepat adanya.
Tepat pukul 09.35 acara dimulai. Agak terlambat dari jam undangan yang tertulis pukul 08.30 WIB. Tentu saja itu sudah biasa menurut pejabat kita. Jarang pernah ada acara yang melibatkan pejabat sebagai undangan yang benar-benar dilaksanakan tepat waktu seperti yang ditentukan. Sedih memang, lamanya bangsa ini merdeka tidak membuat rakyatnya dewasa dalam disiplin. Susahnya, yang selalu membuat acara molor adalah alasan menunggu orang tertentu (pejabat) yang belum datang.
Dimulai dengan atraksi tari persembahan oleh pelajar di Kota Tanjungbalai Karimun lalu dilanjutkan dengan wejangan tausiah singkat dalam rangka acara Halal Bilhalal itu. Sealnjutnya Kepala Dinas yang memasuki tugas purnabhakti memberi sambutan sekapur sirihnya. Baru akhirnya sambutan dan pengarahan Bupati Karimun, Nurdin Basirun. Acara diakhiri dengan bersalaman dan makan siang bersama.
Dalam sambutan dua pejabat itulah tertangkap nuansa haru nan sedih. Kepala Dinas yang harus mengakhiri jabatan yang sudah dipegang sangat lama itu tampak berusaha tegar dan riang. Dari sambutannya pula didapat informasi bahwa setelah satu priode tugasnya selesai, bupati kembali mengangkatnya dalam jabatan yang sama walaupun sebenarnya dia sudah waktunya pensiun sesuai umur pejabat struktural. Tapi tenaga dan keahliannya mengelola pendidikan masih diperlukan, maka perpanjangan masa penisunnya bahkan dijalaninya sampai dua kali. Dan tahun 2012 ini –setelah enam tahun menduduki jabatan yang sama– adalah masa terakhir jabatan itu dipegang. Sudah tidak boleh lagi diperpanjang. Begitu disampaikan.
Setiap pejabat dan siapapun dalam tugas apapun, memang pasti akan ada ujungnya. Itu memang benar. Hanya terkadang yang ditemukan di lapangan tidak selalu seperti itu. Yang menurut peraturan harus pensiun ternyata tidak juga kunjung pensiun dengan alasan peraturan membolehkan untuk diperpanjang masa pengabdiannya. Alasan itulah yang dipakai oleh bupati/ wali kota kepada beberapa pejabat yang dianggap layak diperpanjang pengabdiannya itu.
Hanya saja, masyarakat melihat fenomena bupati/ wali kota mempertahankan pembantunya lebih kepada hubungan pertemanan dan atau kekeluargaan belaka dari pada pertimbangan skill. Sulit memahami kebijakan menunda purnabhakti seorang pegawai negeri semata karena skill yang dimilikinya tidak ada pada orang lain. Sama sekali bukan sepenuhnya karena skilnya yang tak dimiliki oleh orang lain sehingga harus diperpanjang. Itu pandangan subyektif masyarakat. Tapi bupati/ wali kota tentulah punya penilaiannya sendiri.
Bagi pejabatnya sendiri, lazim pula berkeinginan untuk meneruskan kursi empuknya dalam dudukannya. Kata anekdok, “kalau sudah duduk sulit berdiri lagi.” Itu benar, seseorang yang duduk di kursi empuk sering tidak ingin berdiri atau bangkit lagi. Fasilitas yang berlebih dari pada jabatan lain serasa membuat perasaan tidak ingin melepas jabatan. Di situlah sedih dan duka akan muncul.
Sebaliknya, pejabat dengan integritas yang lebih baik biasanya tidak ingin meneruskan memegang jabatan tersebut jika saatnya memang harus sudah pensiun. Tidak perlu kasak-kusuk melakukan pendekatan kepada pihak-pihak tertentu bila saat pensiun memang sudah dekat. Tidak perlu juga membuat permintaan atau tindakan berlebihan agar mendapat perhatian demi jabatan. Sikap ini pula yang biasanya melahirkan rasa bahagia di ujung jabatan.
Sikap terakhir ini membuat rasa bahagia jauh lebih besar pada saat mendekati masa pensiun. Bukan karena tidak ingin melaksanakan lagi tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan tapi lebih kepada perasaan dan kesadaran akan peralihan generasi yang memang sudah merupakan sunnatullah. Tidak perlu melawan kodrat itu. Kesempatan yang sudah diterima hingga sempurna tugas dan tanggung jawab sampai ke ujung tugas itu sendiri, sudah merupakan hidayah dan ma’unah yang tak tepermanai nilainya.
Jadi, mampunya seseorang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya hingga ke level purnabhakti (kesempurnaan pengabdian) haruslah dipandang sebagai prestasi luar biasa yang mampu diraih. Ditambah keadaan pisik dan pikiran yang masih sehat dan segar ketika akan memasuki masa purnabhakti itu, subhanallah itulah kenikmatan yang membahagiakan. Bahwa ada rasa sedih, bukanlah karena berakhirnya jabatan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar