KATA
sebuah berita sore dan seharian semalam (Minggu, 1/7) sebanyak 250.000.000 (dua
ratus lima puluh juta alias seperempat miliar) pasang mata menonton
pertandingan final sepakbola Piala Eropa 2012. Mungkin lebih. Gilanya sepaknola
tidak diragukan, telah merasuk ke mana-mana: dari kota ke desa-desa, dari
gunung ke lembah-lembah dan di mana saja. Makanya jumlahnya bisa lebih gila.
Gilanya
sepakbola (Eropa) ini juga terbukti ada nyawa yang melayang sia-sia. Gara-gara
ingin menonton babak final sepakbola –di awal dibuka tempo hari itu– seorang
warga di daerah saya mengganti antena televisinya yang berujung maut.
Memindahkan tiang antena itu dari satu tempat ke tempat lain yang dianggap
lebih baik (akan lebih terang) gambarnya tapi cara kerjanya tidak mematuhi
aturan.
Karena
ceroboh, waktu memindahkan tiangnya tidak menduga kalau tali/ kabel listrik
yang terbentang di atas rumahnya itu adalah kabel dengan tegangan tinggi. Dan
ketika tiang itu menyentuh kabel listrik, serta-merta beberapa orang yang
bergotong-royong memindahkan tiang antena itu terpelenting karena arus listrik
yang merambat ke tiang antena yang dipegang. Satu orang meregang nyawa dan
lainnya luka bakar.
Pemilik
hak siar Piala Eropa memang sengaja mengacak gambar pertandingan setiap ada
tayangan langsung. Hanya yang berhak dan mendapat izin saja yang bisa menonton
siaran langsung itu. Dan karena antene manual (bukan parabola) tidak diacak
maka ramai-ramailah masyarakat mengganti antenanya. Itulah punca kejadian
tragis tadi.
Kembali
ke bola yang membuat gila, itu benar-benar nyata. Itu tidak rekayasa. Semua
berita dan peristiwa diolah dan dijadikan berita yang berkaitan dengan
sepakbola. Informasi bola memang menarik. Bahkan di berita terbarunya
Kompasiana, pagi Senin (pasa Spanyol menggunduli Italy 4-0) ini hampir semuanya
berita sepakbola. Bola memang membuat gila.
Siapa
yang gila? Semuanya yang merasa terbawa. Penulis artikel ini pun bisa
dikategorikan gila bola. Saya memang ikut menonton dini hari Senin tadi. Tapi
saya memang tidak menghabiskan 90 menit karena ketika babak pertama belum
habis, Italy sudah kebobolan dua gol maka saya cukup menyaksikan babak itu
saja. Saya sudah menduga akan begitu. Bukan tak suka, tapi sedih melihat
Italy yang tak kunjung mampu menyarangkan si kulit bundar itu ke gawang
Spanyol.
Saya
memang bukan pengamat sepakbola. Tapi melihat tampilan puncak Italy di semi
final sementara Spanyol masih belum sampai ke puncaknya ketika di semi final
maka bisa diduga kalau puncak (klimaks) Spanyol itu bakal terjadi di final. Dan
Italy akan sampai pada fese antiklimaks. Maka terjadilah pembantaian itu.
Akankah
sepakbola terus membuat gila? Saya kira, ya. Piala Dunia edisi 2014 di Brazil
masih dua tahun lagi tapi di televisi sudah ada promosinya. Sebuah televisi
swasta sudah membangga-banggakan keberhasilannya sebagai televisi penyang
langsung perhelatan empat tahunan itu. Sepakbola memang dapat membuat gila.
Hati-hatilah, jangan pula rumah tangga sampai berantakan dibuatnya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar