Sabtu, 16 Juni 2012

Meluruskan Sikap dalam Ujian

DILIHAT dari jenis dan tujuan test alias ujian alias evaluasi (sengaja saya sejajarkan saja walaupun bisa berbeda) yang lazmin dilaksanakan di sekolah, ada beberapa test yang kita dengar dan praktikkan. Ada test diagnostik, formatif, sumatif dan test akhir tahun. Test diagnostik dilakukan dalam usaha mencari jawaban atas kesulitan belajar yang dialami peserta didik. Seorang guru yang bijaksana tidak akan membiarkan peserta didiknya terus-menerus dalam kesulitan sewaktu pembelajaran dilangsungkan. Dalam keadaan seperti itulah diperlukan test diagnostik.

Test formatif dilaksanakan untuk mengetahui sajuh mana kemajuan belajar peserta didik sudah berjalan. Test ini disebut juga sebagai test atau ujian untuk mengukur tingkat kemajuan pemahaman peserta didik dalam pembelajaran yang sudah berjalan. Sementara test sumatif dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik kita sudah mencapai tujuan pembelajaran yang sudah kita tetapkan sebelumnya. Istilah pritest dan atau postest yang juga kita kenal, lebih dilihat dari waktu pelaksanaan test itu dalam proses pembelajaran. Pritest untuk test yang dilaksanakan sebelum pembelajaran sementara postes adalah yang dilaksanakan di akhir pembelajaran atau sesudah pembelajaran berlangsung. Instrumennya biasanya sama bisa pula berbeda.

Lalu test akhir tahun yang dilaksanakan untuk  mengetahui  pencapaian kompetensi minimal yang sudah ditentukan dan apakah terserap atau tidak oleh peserta didik. Dan test alias ujian jenis ini pula sebenarnya yang dilaksanakan ketika kita melaksanakan ujian akhir masa pendidikan di satuan pendidikan. Ujian Kenaikan Kelas atau Ujian Akhir Sekolah yang lebih populer dengan istilah UN (Ujian Nasional) pada hakikatnya adalah ujian untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik itu.
Bulan ini (Juni) dan bulan depan adalah bulan pelaksanaan ujian khususnya kenaikan kelas. Memperhatikan beberapa jenis test (ujian) yang selalu kita lakukan, terasa betul kalau gengsi UN masih dipandang sebagai ujian tertinggi berbanding beberapa bentuk ujian yang ada di sekolah termasuk jika dibandingkan dengan gengsi ujian kenaikan kelas di bulan ini. Mengapa demikian?

Kesalahan memandang UN sebagai penentu keberhasilan siswa membuat UN seolah-olah segala-galanya dalam menentukan nasib dan masa depan peserta didik. Masa pendidikan tiga tahun (SLTP/ SLTA) atau enam tahun (SD) seolah-olah akan diukur dari ujian dua atau empat hari itu. Akibatnya sekolah, orang tua dan siswa sendiri hanya berpikir tentang UN saja. Itupun hanya memikirkan nilai alias angka saja bukan kompetensi yang dituntut SKL (Standa Kompetensi Lulusan) dan SI (Standar Isi) seperti tuntutan silabus atau kurikulum.

Dari situ pula bermulanya aneka kecurangan dan penipuan baik dalam proses UN maupun dalam menentukan dan menetapkan nilai sebagai acuan kelulusan. Dari situ pula hilangnya sikap yang benar terhadap ujian atau test yang diselenggarakan sekolah.

Sesungguhnya semua ujian haruslah dipandang sama pentingnya. Tidak boleh ada anggapan seolah-olah hanya UN saja yang penting. Sikap ini hasrusnya diluruskan. Ujian-ujian dimakhir tahun pelajaran (kenaikan kelas) atau ujian di awal tahun pelajaran (semester ganjil) mestinya diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan UN juga. Atau jika dibalik, UN mestinya dianggap sama saja dengan ujian semester ganjil dan ujian semester genap itu. Bahkan ujian-ujian harian, ujian tengah semester pun harusnya disikapi secara sama seperti UN.
Dengan demikian, tidak perlu ada lagi anggapan UN yang angker, UN yang menakutkan dan lain sebagainya. Semua ujian atau test itu sama saja. Jangan dibeda-bedakan menyikapinya. Yang ingin diukur dari semua ujian itu adalah kompetensi bukan menciptakan atau mencari nilai semata.

Lagi pula kita tahu, menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (pasal 57: 1) bahwa ujian alias evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Di ayat dua dijelaskan bahwa evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

Tidak ditegaskan bahwa salah jenis ujian lebih penting dari pada lainnya. Tidak juga UN dikatakan lebih penting dari pada UKK (Ujian Kenaikan Kelas) misalnya. Atau UAS (Ujian Akhir Sekolah) juga tidak dikatakan lebih penting dari pada UKK. Sesungguhnya semua ujian sama pentingnya. Lalu mengapa UN masih dianggap yang paling penting?

Penyebab UN masih dianggap sebagai ujian maha penting tidak lepas dari perannya yang juga dianggap penting sebagai penentu dan pemutus berhasil-tidaknya seorang peserta didik dari satuan pendidikannya itu tadi. Akibatnya ya, kesalahan sikap itu tadi. Maka sebaiknya segera diluruskan sikap keliru itu.***

1 komentar:

Beri Komentar

Postingan Terbaru

Catatan Kunjungan FKUB Batam di FKUB Karimun

BEBERAPA hari menjelang rencana kedatangannya ke Kabupaten Karimun salah seorang pengurus FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) Kota Batam me...