KALAU ditanya siapakah orang bertitel munafiq, jawabnya bisa beragam dan tidak hendak ada yang akan mengaku. Tapi satu hal yang pasti disepakati --itupun jika mau sepakat-- bahwa tanda orang munafiq itu adalah pendusta, pembohong alias tidak jujur. Lain di mulut, lain pula di hati. Lain ditekad tapi lain dibuat.
Tanda munafiq lainnya tentu masih banyak. Sebut saja mangkir dalam janji, berkhianat (merusak) amanah alias menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan. Ini juga cirinya orang munafiq yang sudah lazim diketahui.
Nah, kalau sudah bicara orang pendusta (pembohong) sepertinya tiada yang akan berani dan sanggup mengaku kalau dia tidak pernah melakukannya. Pastinya semua kita akan pernah melakukan kesalahan seperti itu. Apalagi kalau dibawa-bawa masalah hobi mangkir janji dan suka merusak kepercayaan, rasa-rasanya semua mungkin pernah melakukannya. Entah terpaksa, tak sengaja atau memang disengaja, itu masalah lain.
Saya pikir memang benar kalau semua orang mungkin pernah berbuat salah. Salah kecil atau salah besar, pasti ada. Apalagi Nabi memang sudah menegaskan masalah manusia yang memang pasti ada salah. "Setiap anak Adam pasti ada kesalahan," itu bunyi salah satu hadits. Hanya jika saja manusia mau menyadari akan kesalahannya untuk tidak lagi melakukannya, itulah sebaik-baik manusia yang bersalah.
Persoalannya sekarang begitu masih banyaknya kita dengar atau kita lihat --entah di koran, di majalah, di telivisi, dll-- masyarakat kita, tetangga kita, bangsa kita atau jangan-jangan keluarga kita yang konsisten dan bertahan dengan kesalahannya khsusnya kesalahan berkisar di seputar dusta-mendusta ini. Artinya jika pendusta itu adalah orang munafiq, begitu masih banyak orang di negeri kita ini yang bertitel munafiq. (Maaf, jangan-jangan saya ini juga munafiq, wallohu a'lam, na'uzubillah).
Untuk meminjam dan menyebut satu contoh masih banyaknya si pendusta alias si munafiq di sekitar kita sebut saja koruptor. Ini pun kita comot sebagai sampel pendusta karena penyakit korupsi yang terbukti telah merusak dan menghancurkan sendi-sendi kebenaran dan kekuatan bangsa, tak juga kunjung berkurang apalagi hilang di negeri bersendi agama ini.
Di satu sisi bangsa ini menjadikan agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) sebagai salah satu dasar berbangsa dan bernegara. Artinya semua yang ada dalam negara kita tercinta ini mengaku agama adalah dasar untuk memperoleh pengakuan sebagai orang Indonesia. Tapi di sisi lain penyakit korupsi yang nyata diharamkan agama malah tak hendak dihilangkan. Walaupun ada isntitusi hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk diharapkan meberantas penyakit korupsi terbukti hingga 65 (enam puluh lima) tahun bangsa ini merdeka, korupsi tetap ada. Justru dari waktu ke waktu semakin berkembang. Sampai-sampai Bung Hatta menyebut penyakit korupsi sudah membudaya.
Untuk mengingatkan si munafiq yang satu ini, tidak salah kembali dikutipkan makna sepotong ayat dalam kitab suci yang berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang munafiq itu tempatnya adalah di kerak api neraka". Tuhan ternyata mengingatkan bahwa penjara orang munafiq (koruptor) itu tidak sekedar masuk neraka saja. Tapi ditegaskan bahwa tempatnya di kerak api neraka yang terdalam. Tidak cukupkah ancaman ini menakutkan? Di kerak, artinya di bagian yang peling menyeramkan.
Itu seandainya si munafiqnya telah meregang nyawa karena sampai ajalnya. Bagaimana jika belum juga dicabut nyawanya oleh Sang Pencabut nyawa? Pasti merisaukan orang-orang yang berusaha dan merasa dirinya tidak munafiq. Manusia yang paling berbahaya --dikisahkan dalam banyak riwayat-- memang orang munafiq. Orang munafiq yang bagaikan 'musang berbulu ayam' memang akan lebih berbahaya dari pada musang itu sendiri.
Ada benarnya kalau ada yang berharap sebaiknya si munafiq ini masuk nerakanya sedari sekarang saja. Selagi di dunia, alangkah adilnya kalau mereka dimasukkan ke dalam neraka. Meskipun neraka di dunia ini tidak sampai merasakan dibakar api, dengan dikurung di ruang sempit dan tak senyaman di rumahnya sendiri rasanya lumayan juga untuk sekedar merasakan masuk neraka. Neraka seperti penjara adalah tempat yang sangat layak dan adil buat mereka-mereka itu.
Persoalannya memang tidak semudah yang kita inginkan memasukkan para munafiq berjenis koruptor ini untuk dijebloskan ke neraka seumpama penjara. Setelah polisi dan jaksa tidak dapat diharapkan lalu muncul KPK (Komisi Pemberantas Korupsi) ternyata para koruptor masih terlalu tangguh untuk ditaklukkan. Begitu banyaknya cara mereka mengalahkan aparat anti korupsi itu. Faktanya, saat ini sebanyak yang disebut-sebut media dijatuhi hukuman rupa-rupanya jauh lebih banyak yang tidak atau belum tersintuh aparat hukum. Mereka masih nyaman-nyaman saja hidup mewah dengan harta-benda hasil korupsinya.
Lalu? Ya, ramai-ramai saja rakyat Indonesia lainnya --yang berani tidak korupsi-- untuk menyerukan, "Hai para munafiq, masuk nerakalah dari sekarang saja... mana tahu Tuhan berkenan mengampuni dosa dan tidak lagi mengirimkan Anda kelak ke dalam neraka, di akhirat kelak, amin". Lha, kan enak jika besok tak jadi dibenamkan ke kerak neraka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar